Jadi buronnya Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak menambah panjang daftar pencarian orang di KPK menjadi lima orang. Selain Ricky, masih ada Harun Masiku, Surya Darmadi, Izil Azhar, dan Kirana Kotama.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Rabu (13/7/2022) malam menjadi hari yang panjang bagi Kepolisian Daerah Papua ketika akan menangkap Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, tersangka kasus suap dan gratifikasi yang kasusnya saat ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Usaha polisi untuk menangkap Ricky di rumahnya gagal karena informasi penangkapan telah bocor.
Terungkap belakangan bahwa Ricky telah kabur ke Papua Niugini. Ia diantar seseorang ke Pasar Skouw di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Pos Lintas Batas Negara Skouw. Tempat itu merupakan gerbang keluar-masuk dari Indonesia ke Papua Niugini. Ricky diduga dibantu oleh empat oknum anggota Polri, yakni Ajun Inspektur Dua AI, Brigadir Kepala (Bripka) JW, Bripka SM, dan Bripka EW. Keempatnya merupakan ajudan Ricky dan telah ditahan di tempat khusus Polda Papua.
Buntut gagalnya penangkapan Ricky, KPK mengirimkan surat perihal daftar pencarian orang (DPO) atas nama Ricky Ham Pagawak pada 15 Juli 2022. Surat yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri tersebut diserahkan kepada Kepala Kepolisian Negara RI dengan tujuan Sekretariat National Central Bureau-Interpol Indonesia.
Di dalam surat itu disebutkan, Ricky selaku Bupati Mamberamo Tengah periode 2013-2018 dan 2018-2023 menjadi tersangka atas dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait proyek pengadaan barang/jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah dan penerimaan lainnya. Adapun laporan kejadian dugaan korupsi yang dilakukan Ricky tertanggal 27 April 2022 dan surat perintah penyidikan dikeluarkan pada 30 Mei 2022.
Buronnya Ricky menambah panjang DPO di KPK. Sebelum Ricky, ada empat buronan yang belum ditangkap. Mereka adalah Harun Masiku, Surya Darmadi, Izil Azhar, dan Kirana Kotama.
Harun merupakan tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024. Adapun Surya Darmadi, pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2019 terkait kasus dugaan suap perizinan pengubahan aturan kawasan hutan yang melibatkan bekas Gubernur Riau Annas Maamun pada 2014.
Sementara itu, Izil Azhar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2018 terkait dugaan gratifikasi proyek Dermaga Sabang 2006-2011 bersama dengan bekas Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Untuk Kirana Kotama, ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 2017 berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pemberian hadiah terkait penunjukan perusahaan perantara dari Filipina, Ashanti Sales Incorporation, sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan kapal berjenis strategic sealift vessel (SSV) untuk Pemerintah Filipina pada 2014. Suap diduga diberikan kepada General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana dan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar.
Pihak KPK dalam berbagai kesempatan mengaku terus berupaya mencari para buronan itu. Memasukkan nama mereka dalam DPO menjadi salah satu bagian dari ikhtiar itu, selain bekerja sama dengan kepolisian. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda para buronan itu akan ditangkap. Justru buronan KPK kemungkinan bertambah menyusul ”menghilangnya” bekas Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Mardani H Maming, tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu. Upaya jemput paksa dilakukan KPK pada Senin (25/7/2022). Salah satu apartemen di Jakarta digeledah untuk memburunya, tetapi Mardani tak tampak.
Meski banyak yang belum tertangkap, tak sedikit pula kisah keberhasilan KPK menangkap buronan. Dalam kurun 2020 sampai 2021, buronan yang berhasil ditangkap adalah bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi beserta menantunya, Rezky Herbiyono. Kemudian Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto serta Direktur PT Borneo Lumbung Energy dan Metal Samin Tan. Dari para buronan yang tertangkap ini, hanya Samin Tan yang lepas dari hukuman. Pengadilan tingkat pertama dan saat kasasi memvonisnya tidak bersalah.
Tidak mudah
Mantan penyidik KPK yang kini menjabat Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute, Mochamad Praswad, menceritakan sulitnya memburu buronan. Tim pemburu, misalnya, harus intens menyadap orang-orang yang dekat dengan buronan. Tak hanya itu, pengawasan langsung harus pula ditempuh. Mata-mata harus ditempatkan di lokasi-lokasi yang memungkinkan didatangi oleh buronan. Dengan banyaknya hal yang harus dilakukan, kerja tim pemburu bisa memakan waktu lama.
Ketika ia masih menjadi penyidik KPK dan ditugasi menyidik kasus Harun Masiku, segenap daya itu telah dilakukan. Tak hanya melakukan pencarian di dalam negeri, tetapi juga hingga ke luar negeri. Tim satuan tugas pemburu Harun bahkan telah mendatangi beberapa negara di Asia Tenggara untuk mencarinya. Kerja dari tim ini hampir berbuah hasil. Tim hampir menangkapnya di suatu tempat di Indonesia. Namun, tim satgas yang memburu Harun justru dinonaktifkan lantaran tidak lolos tes wawasan kebangsaan yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
”Waktu terakhir kami, sih, masih di Indonesia. Cuma dia (Harun) berpindah-pindah. Yang membuat kami gagal, ya, lagi dalam proses pengejaran, kami harus dinonaktifkan. Buru-buru sekali itu. Bahkan, sebelum diberhentikan harus dinonaktifkan itu. Saat itu, detik itu juga, kami tidak bisa bekerja lagi. Tidak memiliki kewenangan apa-apa lagi. Bukan penyidik lagi,” tutur Praswad.
Selain harus kerja total dan kerja serius untuk memburu para buronan, menurut mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, dibutuhkan pula komitmen moral kelembagaan yang utuh dari KPK, terutama pimpinan KPK, jika ingin berhasil menangkap para buronan. Kunci lain yang penting, sinergi dengan Polri untuk ikut membantu KPK mencari buronan-buronan itu.
Hal-hal ini yang disebutnya menjadi kunci KPK di era kepemimpinannya bisa menangkap bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang terlibat perkara suap Wisma Atlet ketika kabur ke Kolombia. Sinergi itu pula yang membuat KPK bisa menangkap Nurhadi.
Busyro melihat komitmen dan sinergi itu kian menipis saat ini. Ego sektoral justru terlihat menonjol. Padahal, jika semua aparat penegak hukum bersatu, tak sulit mencari buronan.