Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej membenarkan soal penundaan pengesahan RKUHP pada masa sidang ini. Alasannya, pemerintah saat ini masih memperbaiki draf RKUHP yang ada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP belum akan disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (5/7/2022). Pemerintah masih membutuhkan waktu untuk memperbaiki draf RKUHP tersebut.
Sebelumnya, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan pengesahan RKUHP dilakukan pada masa sidang V Tahun Persidangan 2021-2022. Artinya, RKUHP akan disahkan sebelum masa sidang V berakhir pada 7 Juli 2022 (Kompas.id, 23/6/2022).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat dihubungi, Senin (4/7/2022), mengatakan, sejauh ini, ia belum mendapat informasi terkait pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR. Namun, ia memastikan, tidak ada jadwal pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna pada Selasa. ”Belum ada (jadwal terkait pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna),” ujar Dasco.
Rapat paripurna akan dilaksanakanSelasa (5/7/2022) pukul 13.00 WIB. Ada dua agenda dalam rapat tersebut.
Pertama, meminta pandangan fraksi di DPR atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021.
Kedua, meminta persetujuan perpanjangan waktu pembahasandua RUU, yakni RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dihubungi secara terpisah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej membenarkan soal penundaan pengesahan RKUHP pada masa sidang ini. Alasannya, pemerintah masih memperbaiki draf RKUHP yang ada.
”Benar sekali (ditunda pengesahan RKUHP). Kami sedang perbaiki draf (RKUHP),” ujar Eddy.
Jika draf sudah rampung diperbaiki, pemerintah akan menyerahkannya kepada DPR. Namun, ia tidak mendetailkan target penyerahan itu.
Eddy melanjutkan, setidaknya ada lima hal yang akan diperbaiki dalam RKUHP.
Pertama, merevisi beberapa pasal berdasarkan masukan masyarakat. Kedua, poin-poin pasal harus diubah lantaran ada beberapa pasal yang dihapus. Namun, ia tidak merinci pasal-pasal yang direvisi ataupun dihapus tersebut. Ketiga, perbaikan salah ketik. Keempat, sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan. Kelima, perbaikan soal sanksi pidana.
RUU PDP
Terkait RUU PDP, Ketua Panitia Kerja RUU PDP Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan, pemerintah dan DPR sepakat meminta perpanjangan waktu pembahasan RUU PDP karena masih diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi. ”Sinkronisasi dan harmonisasi, kan, menjadi bagian tak terpisahkan dari pembahasan RUU,” katanya.
Anggota Komisi I DPR, Yan Permenas Mandenas, menambahkan, perkembangan pembahasan RUU PDP pada masa sidang ini sebenarnya sangat signifikan. Salah satunya, DPR dan pemerintah kini sudah mencapai titik temu soal otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Kedua pihak telah sepakat membentuk kelembagaan dari otoritas tersebut diberikan sepenuhnya kepada Presiden. ”Kewenangannya juga sudah diatur,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Yan Permenas Mandenas, menambahkan, perkembangan pembahasan RUU PDP pada masa sidang ini sebenarnya sangat signifikan. Salah satunya, DPR dan pemerintah kini sudah mencapai titik temu soal otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Kedua pihak telah sepakat bahwa bentuk kelembagaan dari otoritas tersebut diberikan sepenuhnya kepada Presiden.
”Kewenangannya juga sudah diatur,” ucap Yan.
Selama ini terjadi kebuntuan dalam pembahasan RUU PDP karena terdapat perbedaan pendapat terkait kedudukan otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menginginkan otoritas di bawah kementeriannya. Adapun mayoritas fraksi di DPR ingin otoritas itu independen.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, pembahasan RUU PDP pada masa sidang ini memang mengalami kemajuan yang cukup besar, seperti adanya kesepakatan terkait dengan otoritas pengawas dan pengaturan sanksi.
Namun, ia memberikan sejumlah catatan. Pertama, pembahasan RUU PDP pada periode ini cenderung dilakukan secara tertutup sehingga publik tidak bisa mengetahui sejauh mana pembahasan yang dilakukan dan materi-materi krusial yang diperdebatkan.
Untuk itu, Wahyudi berharap, pada masa sidang mendatang, pembahasan RUU PDP dapat dilakukan secara terbuka sehingga publik bisa ikut terlibat secara penuh dan secara bermakna. Publik pun diberi ruang untuk memberikan saran dan masukan terkait substansi RUU.
”Jadi, tidak menggunakan mekanisme seperti pada masa sidang kali ini, tetapi proses dilakukan secara terbuka,” ujar Wahyudi.
Ia juga memberi catatan terkait pembentukan otoritas pengawas perlindungan data pribadi yang sepenuhnya diberikan kepada Presiden. Menurut dia, pembahasan mengenai otoritas itu belum optimal karena belum diatur secara lebih jelas dan lebih eksplisit terkait kewenangannya di dalam RUU PDP.
”Ini, kan, yang perlu didiskusikan kembali untuk memastikan RUU PDP bisa diimpelementasikan secara efektif, salah satunya dengan adanya sebuah lembaga otoritas perlindungan data pribadi yang kuat,” ujar Wahyudi.
Dengan melihat perkembangan pembahasan RUU PDP yang ada, Wahyudi berharap perpanjangan masa pembahasan RUU PDP pada periode mendatang ini menjadi perpanjangan yang terakhir. RUU tersebut penting segera dituntaskan pada masa sidang mendatang karena pada November 2022 akan dimulai pertemuan G20.
”Harapannya, kan, kemudian nanti saat pertemuan G20, Indonesia sudah memiliki RUU PDP yang komprehensif sebagai salah satu rujukan penting untuk proses-proses pembicaraan terutama terkait bagaimana perlindungan data pribadi dalam konteks ekonomi digital atau transfer data lintas batas negara,” kata Wahyudi.
Namun, jika RUU PDP itu tak juga selesai, publik patut mempertanyakan kembali komitmen pemerintah. ”Ini kemudian menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah, bagaimana komitmen mereka untuk melindungi data pribadi sebagai pilar utama dalam konteks pengembangan ekonomi digital ke depan karena, kan, potensi atau risiko eksploitasi terhadap data pribadi dalam konteks pengembangan ekonomi digital ke depan itu sangat besar,” ujarnya.