Langkah Pembuka Jokowi di Mandala Perang Ukraina-Rusia
Upaya mendamaikan perang membutuhkan proses panjang. Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia dinilai menjadi langkah pembuka mendamaikan kedua negara.
Konflik antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung 4 bulan lebih tak kunjung reda. Korban jiwa pun berjatuhan dari kedua negara. Pada situasi penuh risiko seperti ini, Presiden Joko Widodo menyambangi dua negara yang tengah berseteru tersebut guna membuka ruang dialog. Akankah Rusia dan Ukraina mampu didamaikan melalui kunjungan Presiden Jokowi?
Topik ini menjadi bahasan dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Mampukah Jokowi Damaikan Rusia-Ukraina” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (29/6/2022) malam. Pada diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut hadir di studio pakar hubungan internasional Dinna Prapto Raharja, pengamat ekonomi Prasetyantoko, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin, dan pengamat militer Connie Rahakundini.
Selama diskusi berlangsung, Budiman sesekali tersambung secara daring dengan wartawan Kompas, Harry Susilo, yang sedang bertugas di Kyiv, Ukraina, untuk mendapatkan laporan perkembangan terkini. Pada saat yang sama, wartawan Kompas, Kris R Mada, berada di lokasi konferensi pers untuk memperoleh informasi terbaru hasil pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Istana Mariinsky, Kyiv.
Baca juga: Misi Jokowi ke Ukraina-Rusia Jadi Momentum Tinggalkan Sikap ”Inward Looking”
Dalam perspektif hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja menuturkan, negara-negara melihat Ukraina sangat tidak diuntungkan dan berada dalam posisi sangat dirugikan. ”Betul terjadi pelanggaran terhadap integritas teritorial. Tetapi, masalah penyelesaiannya, apalagi masalah sanksi-sanksinya, itu tidak semua pihak sepakat bahwa cara yang dipakai oleh negara-negara NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) dan EU (Uni Eropa) adalah cara yang tepat untuk mengubah perilaku Rusia,” katanya.
Baca juga: AS-UE Kembali Beri Pengecualian Sanksi ke Rusia
Harapan dari semua sanksi sebenarnya adalah perubahan perilaku Rusia. Namun, sekarang mulai terlihat ada pemecahan pandangan, yakni bahwa antara Rusia dan Presiden Vladimir Putin itu dua hal yang berbeda. Hal ini karena, meski sanksi telah diberikan ke Rusia dengan seluruh masyarakatnya, ternyata Putin tetap bertahan dan tidak mengubah strateginya.
”(Hal ini) Karena sistemnya beda. Saya melihat bahwa (negara-negara) Barat ini cenderung melihat cara-cara yang ampuh diterapkan pada dirinya akan ampuh pula diterapkan di negara lain. Dan, kita lihat metode ini, kan, enggak pernah berhasil sebenarnya, sama (seperti metode yang diterapkan terhadap) Iran, China, dan Korea Utara,” ujar Dinna.
Lantas, saat ditanya mengenai langkah seperti apa yang mestinya diambil Presiden Jokowi untuk, minimal, menurunkan eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina, Dinna berpendapat, hal pertama yang dibutuhkan adalah distraksi. Distraksi ini untuk menyadarkan semua pihak bahwa penopang stabilitas dan ekonomi dunia itu tidak hanya Rusia, Ukraina, ataupun negara-negara Barat.
Suara independen
Begitu perang ini usai, negara-negara harus kembali lagi membangun semuanya bersama-sama yang lain. Di sisi lain, terlihat pula bahwa polarisasi sedang didorong. Di titik ini Dinna mengapresiasi kunjungan Presiden Jokowi kali ini yang memperlihatkan suara berbeda yang independen dari Asia.
”Saya senang melihat bahwa Pak Jokowi ini ingin menunjukkan bahwa Asia itu punya suara berbeda, independen, dan enggak bisa ditarik ke sana kemari gitu. Itu yang bagus menurut saya. Ini menunjukkan kembali Gerakan Non-Blok sebelum ada perang dingin. (Hal ini) Karena sudah ada yang bilang ini sekarang perang dingin. (Tapi) Saya bilang belum sampai situ dan mudah-mudahan tidak terjadi (perang dingin),” kata Dinna.
Pak Jokowi ingin menunjukkan bahwa Asia itu punya suara berbeda, independen, dan enggak bisa ditarik ke sana kemari ’gitu’. Itu yang bagus, menurut saya. Ini menunjukkan kembali Gerakan Non-Blok sebelum ada perang dingin.
Saat ini dinilai masih terlalu dini untuk menghitung tingkat probabilitas keberhasilan Presiden Jokowi mendorong gencatan senjata. Namun, Dinna memiliki optimisme cukup besar karena beberapa faktor. Pada situasi di mana Rusia dan Ukraina sama-sama panas, sebenarnya di dalam hati kedua belah pihak menyimpan keinginan untuk meredakan ketegangan.
Baca juga: Diplomasi Jokowi dari Kyiv ke Moskwa, Indonesia Siap Damaikan Ukraina-Rusia (Bagian 24)
Namun, setiap pihak, baik Rusia maupun Ukraina, tentu tidak mungkin membicarakannya karena itu akan dipandang sebagai kekalahan atau kelemahan oleh pihak lawan. Hal ini menjadi kesempatan atau peluang bagi Presiden Jokowi.
”Dan, lebih keren lagi kalau kemudian pulang ke Tanah Air, ada pertemuan lagi dengan negara-negara yang lebih luas, mungkin di Asia atau di ASEAN, sehingga dukungannya kelihatan semakin luas. (Sehingga akan terlihat) Bahwa ini bukan cuma suara Indonesia lho, tapi kawasan kita ini betul-betul peduli untuk mencoba menciptakan perdamaian di bawah leadership dari Indonesia, (kepemimpinan dari) Presiden Jokowi,” kata Dinna.
Ketika ditanya soal pertimbangan Presiden Jokowi mengambil risiko politik dan keamanan untuk datang ke mandala peperangan di Ukraina, Siti Ruhaini Dzuhayatin menuturkan bahwa patut diingat posisi Presiden Jokowi secara pribadi, sejak awal, adalah stop perang. Pertimbangan lain, tentu saja, mandat konstitusi.
”Kita punya legacy juga tentang non-blok. Dan, yang juga tidak bisa dilepaskan adalah posisi strategis Indonesia sebagai pemegang Presidensi G-20 yang melibatkan negara-negara yang sekarang sedang berkonflik. Nah, oleh sebab itu, keempat hal ini mendorong Bapak Presiden, seperti yang disampaikan oleh Bu Menlu, tidak diam. Setidaknya, secara aktif untuk bisa memberikan kontribusi,” kata Siti Ruhaini.
Baca juga: Kunjungan Kemanusiaan Jokowi di Kyiv
Langkah yang kemudian diambil Presiden Jokowi adalah mengunjungi Ukraina dan Rusia. Hal yang akan ditawarkan kepada Presiden Zelenskyy dan Presiden Putin adalah penyampaian soal dampak perang, termasuk dampak kemanusiaan dan masalah aliran sumber daya. Ukraina adalah negeri pemasok beberapa komoditas dan Rusia juga pemasok bahan dasar pupuk sehingga perang keduanya akan memengaruhi kondisi pangan dunia.
Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa berlangsungnya konflik memengaruhi banyak negara, tidak hanya Indonesia. ”Oleh sebab itu, Presiden, saya kira, memberikan pesan bahwa Asia mempunyai pandangan sendiri dan juga mempunyai penilaian sendiri terhadap konflik ini. Dan, Presiden menempatkan posisinya sebagai true friend (teman sejati),” ujar Ruhaini.
Presiden memberikan pesan bahwa Asia mempunyai pandangan dan penilaian sendiri terhadap konflik ini. Dan, Presiden menempatkan posisinya sebagai ’true friend’(teman sejati).
Connie Rahakundini menuturkan, selama ini seolah ada yang berpandangan bahwa Indonesia harus berpihak. ”Ada suara-suara begitu, seolah-olah berpihak Amerika-lah, berpihak ke mana. Nah, (kunjungan) ini meluruskan bahwa Presiden Jokowi tidak berpihak ke mana-mana, tetapi berpihak kepada keputusan kita untuk (mempertahankan) non-aligned movement. Itu yang kita pertahankan,” katanya.
Presiden Jokowi tidak berpihak ke mana-mana, tetapi berpihak kepada keputusan kita untuk (mempertahankan) ’non-aligned movement’. Itu yang kita pertahankan.
Langkah pembuka
Menurut Connie, upaya mendamaikan negara yang tengah berperang adalah sebuah proses panjang. Kunjungan Presiden Jokowi adalah langkah pembuka yang mesti diapresiasi karena sebenarnya merupakan gerakan menciptakan keseimbangan di dunia dalam arti sesungguhnya.
”(Hal ini) Karena setahu saya, dari pembicaraan saya dengan Ibu Menlu, yang sangat beliau (Presiden Jokowi) concern adalah ketika laporan World Bank (menyebutkan) akan terjadi negara-negara gagal sebanyak 60 (negara). Nah, itu yang kemudian beliau langsung bersemangat untuk menyelesaikan itu ke sana (Rusia dan Ukraina),” ujar Connie.
Terkait dengan perbedaan posisi dan pendekatan Presiden Jokowi, Connie membandingkannya dengan penawaran dari pihak Barat terkait dengan perang Rusia dan Ukraina selama ini yang berkisar dua hal: kalau tidak sanksi, ya pembelian senjata. ”Nah, Presiden (Jokowi) sekarang, kan, beda posisinya. Karena kita negara non-aligned, (ya mari kita ajak mereka) duduk, pikirin dunia,” katanya.
Prasetyantoko menuturkan arti penting posisi Ukraina sebagai negara kecil, tetapi kaya sumber daya alam nasional. Ukraina adalah pemilik cadangan terbesar titanium di Eropa, produsen global di bermacam produk, eksportir utama gandum dunia, serta penghasil terbesar bunga matahari dunia.
”Jadi, bisa dibayangkan kalau Ukraina itu sekarang perang, dan perang itu tidak hanya negaranya tidak bisa bekerja, tetapi juga diblokir, tidak bisa mengeluarkan produksinya, (maka perang) itu punya impact: satu, harga komoditas, (dan) dua harga pangan,” ujar Prasetyantoko.
Baca juga: Bersiap Menghadapi yang Terburuk
Selain itu, menurut Prasetyantoko, hal yang juga harus diwaspadai adalah lebih dalamnya tingkat kedalaman perang secara ekonomi. Umumnya, konflik hanya berupa perang dagang. Namun, perang Rusia-Ukraina sampai ke tahap pembekuan aset dan pemutusan sistem pembayaran. Terkait dengan hal itu, dampak perang ini secara global sangat signifikan.
”Kalau situasi berangsur mulai pulih sekalipun, sistem tatanan ekonomi tidak akan balik seperti sebelum perang. Jadi, ini sesuatu yang perlu diantisipasi. Ada suatu lanskap situasi global yang berubah,” kata Prasetyantoko.
Meski secara global berdampak negatif, dampak perang untuk tiap negara bervariasi tingkatannya. Indonesia, dalam beberapa hal, tidak seburuk negara lain. Akibat kenaikan harga komoditas, misalnya, Indonesia dalam jangka pendek justru mendapatkan tambahan pendapatan karena juga merupakan negara penghasil komoditas. ”Tetapi, kalau (perang Rusia-Ukraina) ini berkepanjangan, lama-lama kita juga akan kena,” katanya.
Kalau situasi berangsur mulai pulih sekalipun, sistem tatanan ekonomi tidak akan balik seperti sebelum perang. Jadi, ini sesuatu yang perlu diantisipasi. Ada suatu lanskap situasi global yang berubah.
Artinya, secara agregat, Prasetyantoko menuturkan, ekonomi Indonesia—dalam tanda kutip—diuntungkan. Namun, dampak perang secara sektoral pun bervariasi. Beberapa sektor, semisal yang terkait dengan gandum, tentu saja terkena dampak negatif perang Rusia-Ukraina. Intinya, semua negara, termasuk Indonesia, akan rugi akibat perang Rusia-Ukraina, terlebih ketika krisis yang diakibatkannya berkepanjangan.