Misi Jokowi ke Ukraina-Rusia Jadi Momentum Tinggalkan Sikap ”Inward Looking”
Indonesia sebagai negara yang netral harusnya bisa menggaungkan ajakan agar pihak-pihak bertikai duduk bersama dan melakukan gencatan senjata dalam perang Ukraina-Rusia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia adalah momentum yang baik untuk mengumandangkan berbagai pesan perdamaian. Apalagi, Indonesia merupakan negara netral yang tidak memiliki kepentingan politik atas Ukraina maupun Rusia. Ini bisa menjadikan Indonesia sebagai pihak yang dipercayai oleh kedua negara yang tengah bertikai.
Selain itu, kunjungan tersebut juga diapresiasi sejumlah pengamat di Tanah Air. Selain membuktikan peran aktif Indonesia dalam mengupayakan perdamaian dunia, kemauan Presiden untuk berkunjung ke dua negara yang sedang berperang dinilai menjadi awal baik bagi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi meninggalkan sikap dan pendekatan lama yang terlalu mengutamakan penanganan urusan domestik, atau yang dikerap disebut dengan istilah inward looking.
”Pastinya, Indonesia tidak bisa meminta Ukraina untuk berhenti membela diri karena ini adalah hak dan kewajiban bangsa Ukraina mempertahankan kemerdekaan serta kedaulatan mereka dari invasi Rusia,” kata Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar di Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Ia menjelaskan, Indonesia bisa berempati terhadap perjuangan Ukraina mengingat Indonesia juga berpengalaman mengangkat senjata demi memerdekakan diri dari penjajahan. Akan tetapi, Indonesia juga harus terus mengajak Ukraina untuk kembali kepada hukum internasional, yaitu dengan tidak meningkatkan eskalasi perang.
”Kita bisa meminta agar Ukraina menjamin tidak menyerang wilayah Rusia karena itu jelas melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai hukum internasional. Demikian pula meminta Ukraina menjamin tidak menyakiti warga negara mereka yang memilih bersikap pro kepada Rusia,” tuturnya.
Hal ini serupa dengan permintaan negara-negara Barat yang membantu Ukraina dengan memberi persenjataan serta dana. Mereka turut melarang agar senjata itu dipakai untuk memulai penyerangan karena bantuan senjata hanya untuk mempertahankan diri.
Dewi menerangkan, Indonesia tunduk kepada hukum internasional yang sepenuhnya melarang segala jenis penjajahan, invasi, pelanggaran kedaulatan, dan pencaplokan wilayah. Oleh sebab itu, Indonesia tidak melegitimasi segala jenis pelanggaran kedaulatan itu, apa pun alasannya.
”Presiden Jokowi juga sebaiknya mendengarkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengenai kebutuhan mereka. Mungkin saat ini yang paling bisa dibantu ialah membuka akses ekspor gandum dan komoditas lain dari Ukraina karena hal itu langsung berdampak kepada ketahanan pangan global,” ujarnya.
Kestabilan global
Menurut Dewi, ketika Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin patut ditekankan bahwa invasi Rusia ke Ukraina merusak kestabilan global dan menghilangkan kepercayaan antarbangsa. Hal ini karena hukum internasional yang menjunjung perdamaian seolah digantikan dengan hukum rimba. Negara besar seolah bisa sewenang-wenang menginvasi negara tetangganya yang lebih kecil. Negara-negara kecil dilanda ketakutan.
”Kita selama berpuluh-puluh tahun mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan global. Semuanya bisa rusak ketika bangsa-bangsa bersikap saling curiga. Bukannya ada kerja sama, malah akhirnya perlombaan kekuatan militer di kawasan,” kata Dewi.
Ini membuat tidak ada semangat bahu-membahu mengatasi berbagai persoalan inheren tingkat dunia seperti pandemi Covid-19, mitigasi krisis iklim, dan ketahanan pangan. Bahkan, perang Rusia-Ukraina sudah jelas memperparah permasalahan kelaparan global karena sebagai produsen 30 persen gandum dunia, Rusia dan Ukraina merosot ekspornya.
Negara-negara berkembang dan miskin yang langsung terpukul. Harga pangan naik hingga tiga kali lipat. Di Afrika, secara kumulatif, jumlah pangan berkurang 30-50 persen. Dewi memaparkan, krisis pangan akan berkembang menjadi krisis politik dan sosial. Artinya, akan pecah konflik-konflik baru di dalam suatu negara ataupun di dalam kawasan.
”Ini akan melahirkan masalah gelombang pengungsi dan kemiskinan global baru. Seperti yang kita ketahui, isu pengungsi selalu menimbulkan perkara di negara tujuan maupun negara transit. Perang mungkin terjadi di Ukraina yang jauh dari Indo-Pasifik, tetapi tidak ada satu pun wilayah di dunia yang tidak terkena getahnya,” ujar Dewi.
Rangkul semua pihak
Sementara itu, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, memaparkan, Indonesia memiliki kemampuan untuk merangkul semua pihak yang terlibat dan mengajak mereka untuk duduk bersama. Masalah membahas pihak yang salah ataupun yang benar adalah urusan belakangan karena hal terpenting ialah melakukan gencatan senjata agar tidak ada lagi korban berjatuhan.
”Negara-negara Barat mengambil sikap mengisolasi dan menghukum Rusia. China bersikap mendukung Rusia. Indonesia memiliki kearifan untuk tidak melakukan keduanya karena kita harus belajar dari sejarah. Mengisolasi dan membangkrutkan pihak yang dianggap bersalah, seperti kasus Jerman setelah Perang Dunia I, justru membangkitkan ekstremisme luar biasa yang melahirkan konflik lebih besar, yaitu Perang Dunia II,” terangnya.
Muhadi menuturkan, dalam sebuah perundingan, semua pihak harus duduk bersama dan mengetahui bahwa tidak ada hasil zero-sum atau satu pihak yang dinyatakan sepenuhnya bersalah. Perang adalah fenomena yang kompleks. Penyebab, proses, dan akibat peperangan ini harus dibahas secara mendalam. Artinya, hasil dari perundingan adalah kesepakatan yang di dalamnya mencakup kompromi. Rusia harus dilibatkan dalam proses mencari jalan keluar agar perdamaian bisa tercapai.
”Berbagai embargo dan sanksi hanya akan memperpanjang konflik dan membuat perang yang berkelanjutan. Ini adalah perang yang kian rumit karena diwariskan kepada generasi berikutnya dengan isu maupun aktor berbeda dengan penyebab aslinya. Kita harus mencegah perang berkepanjangan ini terjadi,” kata Muhadi.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy ketika berbicara di Dialog Shangri-La Singapura melalui siaran jarak jauh berjanji bahwa Ukraina tidak akan menyerang wilayah Rusia. Alasannya, jika melakukan serangan ke dalam batas geografis Rusia, Ukraina akan melakukan kejahatan penjajahan negara lain.
”Bagi Ukraina, membuka Laut Hitam sangat penting untuk memastikan ekspor gandum dan minyak biji bunga matahari berjalan lancar. Jika tidak, krisis pangan akan semakin parah,” ucapnya. Ukraina sejatinya mampu mengirim 10 juta ton gandum setiap bulan. Akibat ditutupnya Laut Hitam, mereka hanya bisa mengirim 2 juta ton per bulan.
Tak lagi ”inward looking”
Terkait kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan bahwa misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal agar bumi lebih damai dan jauh dari perang. Ia menyebut upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti, melainkan nanti dilanjutkan oleh menteri di bawahnya.
”Setelah hampir delapan tahun Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saatnya yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945,” kata Didik melalui pernyataan yang diterima Kompas. ”Citra dan kesan bahwa Jokowi inward looking (terlalu sibuk mengurusi dalam negeri) mulai pupus karena sering tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional.”
”Ini adalah permulaan yang sangat baik, cukup mengejutkan Jokowi mengambil keputusan ini, tentu dengan risiko bahaya yang tidak kecil, apalagi bersama Ibu Negara. Setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20 sendiri, utamanya China, yang sekarang tetap menahan diri,” ujar Didik.
Sementara pada Selasa (29/6/2022), dalam pertemuan terbatas dengan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, Perkumpulan Alumni Margasiswa Republik Indonesia (PATRIA), organisasi resmi untuk alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), mendorong upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina agar kedua negara ini bisa berdamai demi kebaikan rakyat kedua negara tersebut. Pertemuan itu berlangsung di kediaman Dubes Rusia di Jakarta. (*/SAM)