Menlu Rusia Dijadwalkan Datang ke Pertemuan G20 di Bali
Kehadiran Menlu Rusia ini langkah awal sebelum rencana Presiden Putin hadir dalam KTT G20 November mendatang. Partisipasi Rusia dalam acara-acara G20 telah memicu ketegangan dengan sejumlah negara, terutama Barat.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov akan menghadiri pertemuan G20 di Bali minggu depan, kata seorang pejabat Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia pada Selasa (28/6/2022). Itu merupakan langkah awal setelah Kremlin sebelumnya menyebutkan, Presiden Vladimir Putin direncanakan hadir dalam pertemuan puncak G20 pada November mendatang.
Invasi Rusia ke Ukraina, yang disebut Rusia sebagai operasi militer khusus, membayangi dinamika G20 tahun ini. Beberapa negara Barat mengancam akan memboikot pertemuan puncak jika Putin hadir.
Partisipasi Rusia di acara-acara G20 telah menjadi sumber ketegangan, termasuk aksi keluar ruangan pejabat AS, Inggris, dan Kanada, pada pertemuan keuangan G20, April. Indonesia selaku Ketua G20 tahun ini mencoba untuk menyatukan kelompok tersebut dan telah mengundang para pemimpin Rusia dan Ukraina ke KTT November.
Denis Tetiushin, juru bicara Kedubes Rusia di Jakarta, mengonfirmasi kepada Reuters bahwa Lavrov akan bergabung dalam pertemuan 7-8 Juli di Bali. Sejauh ini belum ada indikasi Lavrov batal menghadiri pertemuan tersebut.
Sebelumnya, penasihat Kremlin, Yuri Ushakov, mengatakan, Putin berencana menghadiri KTT G20 di Indonesia pada November. ”Kami telah menerima undangan resmi dan menanggapi positif. Kami tertarik untuk datang,” katanya kepada wartawan.
Ushakov mengatakan, dengan masih banyak waktu sebelum KTT pada 15-16 November di Bali, mungkin ada perubahan dalam cara Rusia berpartisipasi. ”Tapi, untuk saat ini, undangannya adalah untuk partisipasi secara langsung,” tambah Ushakov. Saat KTT G20 di Roma pada Oktober 2021, Putin bergabung melalui tautan video.
Terkait kehadiran Rusia, Indonesia mendapat tekanan Barat. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengundang Rusia menimbulkan pro dan kontra. Negara-negara Barat, yang dipimpin Amerika Serikat, telah menekan Jakarta untuk mengecualikan Moskwa menyusul serangan Rusia di Ukraina dan tuduhan kejahatan perang.
Presiden Jokowi tengah dalam perjalanan dari Polandia menuju Ukraina untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan misi perdamaian. Setelah dari Ukraina, Presiden Jokowi akan bertemu Presiden Putin di Moskwa dengan misi sama.
Pengungsi
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan lebih dari 6,2 juta orang terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya. Mereka tidak pergi ke luar negeri, tetapi tetap bertahan di Ukraina, sebut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Jumlah pengungsi bertambah, dari sebelumnya 5,26 juta orang yang telah mengungsi dari Ukraina dan terdaftar sebagai pengungsi di negara-negara Eropa lainnya sejak perang dimulai.
IOM mengatakan, jumlah pengungsi mencapai puncaknya, yaitu sekitar 8 juta orang, dalam survei keempat yang diterbitkan pada 3 Mei. Survei terbaru menemukan bahwa 5,55 juta orang yang awalnya mengungsi, baik di dalam Ukraina maupun di luar negeri, kini telah kembali ke rumah mereka.
”Kebutuhan yang paling mendesak untuk pengungsi maupun non-pengungsi, antara lain, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan, serta rehabilitasi rumah yang rusak,” kata IOM.
Sekitar 65 persen pengungsi saat ini diperkirakan adalah perempuan. Adapun 61 persen dari semua pengungsi (3,8 juta orang) berasal dari Ukraina timur, tempat pertempuran saat ini terkonsentrasi. Sebanyak 15 persen berasal dari Ukraina utara, sementara 11 persen masing-masing berasal dari Kyiv dan Ukraina selatan.
Arus perpindahan terbesar adalah orang-orang dari Ukraina timur pindah ke tempat lain di timur, dan sisanya ke Ukraina tengah dan barat. Sekitar 44 persen pengungsi tinggal di rumah kontrakan, sementara 29 persen tinggal bersama keluarga atau teman.
Dari para pengungsi itu, sebanyak 13 persen di antaranya merasa benar-benar aman di tempat mereka berada sekarang, sedangkan 63 persen mengatakan mereka merasa cukup aman. ”Di antara pengungsi, 15 persen mengindikasikan mereka berencana kembali ke tempat tinggal mereka dalam dua minggu mendatang,” kata survei tersebut.
Survei menemukan, hampir satu dari empat orang di Ukraina harus berhenti menggunakan obat yang selama ini dikonsumsi selama perang karena obat tidak tersedia atau terlalu mahal.
IOM menyebutkan, di antara para pengungsi, sebanyak 20 persen merupakan keluarga, termasuk anak-anak berusia 1-4 tahun. Sebanyak 51 persen termasuk warga lanjut usia dan 36 persen orang dengan penyakit kronis. Hanya 12 persen dari mereka yang kembali lalu mempertimbangkan untuk meninggalkan rumah mereka lagi.
IOM melakukan survei keenam pada 17-23 Juni dengan mewawancarai 2.000 responden anonim berusia di atas 18 tahun melalui telepon dan dipilih secara acak. (REUTERS/AFP)