Bersiap Menghadapi yang Terburuk
Ketidakpastian global terjadi akibat pandemi Covid-19 yang belum usai serta perang Rusia-Ukraina. Disparitas mesti ditekan terutama dengan menjaga segmen masyarakat paling terdampak agar tak timbul gejolak sosial.

Tenda-tenda semi permanen dengan latar gedung-gedung bertingkat di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (2/6).
Dampak pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, dalam dua tahun lebih ini tak pelak merangsek ke berbagai sendi kehidupan. Di sisi ekonomi kondisi ini tergambar, antara lain, pada penambahan jumlah penduduk miskin dan pengangguran. Imbasnya kesenjangan melebar.
Belakangan, di kala pandemi Covid-19 belum usai, kestabilan global kian diguncang perang Rusia-Ukraina. Rentetan dampak ikutannya pun menambah kompleksitas permasalahan.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2021 sebanyak 26,5 juta orang atau secara persentase 9,71 persen. Apabila dibandingkan posisi September 2020, jumlah penduduk miskin ini turun 1,05 juta orang (dari 27,55 juta orang) dan persentasenya turun 0,48 persen poin (dari 10,19 persen). Meskipun trennya membaik, namun jumlah dan persentase penduduk miskin di masa pagebluk ini masih lebih tinggi dibanding kondisi sebelum pandemi Covid-19. Pada September 2019, misalnya, jumlah penduduk miskin 24,78 juta orang atau 9,22 persen.
Warga yang berada pada kondisi miskin ekstrem pada 2021, seperti dicatat BPS, mencapai 10,87 juta orang atau 4 persen dari total penduduk. Kondisi ini menggunakan standar keseimbangan daya beli (purchasing power parity) 1,9 dollar AS atau setara Rp 360.000.
Baca juga: Inflasi dan Pengangguran Bayangi Tren Positif Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia
Jumlah dan tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2020 – beberapa saat sebelum Covid-19 diumumkan secara resmi masuk Indonesia – terdata sebanyak 6,93 juta orang (4,94 persen). Pada Februari 2021 jumlah dan tingkat pengangguran meningkat menjadi 8,75 juta orang (6,26 persen) dan menurun menjadi 8,4 juta orang (5,83 persen) di Februari 2022.
Indikator rasio Gini digunakan BPS untuk mengukur ketimpangan atau kesenjangan pendapatan penduduk yang didekati dengan pengeluaran penduduk. Angkanya berkisar 0 sampai 1; kalau mendekati satu berarti ketimpangan semakin tinggi dan, sebaliknya, ketika mendekati nol relatif semakin tidak terdapat ketimpangan. Angka rasio Gini nasional pada September 2021 sebesar 0,381. Rasio Gini nasional pada September 2020 tercatat 0,385. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi Covid-19, rasio Gini nasional pada September 2019 sebesar 0,380.
Baca juga: Kesenjangan Sosial di Masa Pandemi Covid-19
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menuturkan sampai sekarang masih ada kesenjangan struktural di Indonesia. Kondisi ini terjadi karena tidak dijalankannya sistem demokrasi ekonomi sebagaimana diamanahkan konstitusi. “Kondisinya pun lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata dunia sekalipun,” ujarnya.
Suroto merujuk laporan Suissie Credit tahun 2020 yang melaporkan bahwa 83 persen orang dewasa di Indonesia punya kekayaan rata-rata di bawah Rp 150 juta. Sedangkan, rata-rata dunia hanya 58 persen. Orang Indonesia dengan kekayaan di atas Rp 1,5 miliar pun jumlahnya hanya 1,1 persen sedangkan rata-rata dunia 10,6 persen. Orang-orang kaya di saat pandemi tabungannya meningkat. Sementara itu, Suroto menuturkan, sekitar 30 juta rakyat Indonesia tiba-tiba menjadi penerima santunan sosial dari negara akibat krisis ekonomi pandemi.

Kelas Menengah dan Ketimpangan Ekonomi
Apabila dilihat dari struktur penggajian, gaji seorang presiden direktur di Amerika Serikat sekitar 350 kali lipat dibandingkan gaji pekerja. Adapun di Indonesia, perbandingan gaji antara seorang presiden direktur dengan pekerja bisa sampai 2.200 kali lipat.
Pada kondisi seperti ini, menurut Suroto, negara harus hadir, termasuk dalam bentuk regulasi. Pajak yang didapat dari sisi bisnis dapat digunakan untuk promosi sosial dalam wujud kesehatan gratis dan seterusnya. “(Istilahnya) Pajak dari tangan kanan untuk menyantuni tangan kiri, tetapi harus didasarkan kepada reformasi struktural dan spirit solidaritas, bukan karitas. Prinsip karitas berkonsekuensi mendikte secara politik, ada pihak yang disubordinasikan secara kemanusiaan,” katanya.
Pajak dari tangan kanan untuk menyantuni tangan kiri, tetapi harus didasarkan kepada reformasi struktural dan spirit solidaritas, bukan karitas. Prinsip karitas berkonsekuensi mendikte secara politik, ada pihak yang disubordinasikan secara kemanusiaan.
Sedangkan melalui spirit solidaritas manusia dianggap setara, bukan semata disantuni negara. Seperti diungkapkan Jean-Jacques Rousseau, hubungan terburuk dari kemanusiaan adalah belas kasihan karena melaluinya bisa terjadi hegemoni politik.
Di titik ini, Suroto berpendapat prinsip seperti pemberlakuan pajak harta bagi mereka yang memiliki nominal kekayaan sedemikian besar, pembatasan rasio gaji, dan alokasi fiskal untuk menjamin pendapatan minimum warga merupakan gagasan ekonomi solidaritas atau gotong royong.

Pekerja informal menyelesaikan proyek konstruksi tol baru di kawasan Cilenggang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (16/4/2022).
Secara terpisah, pengusaha Sofjan Wanandi ketika dihubungi, Kamis (23/6/2022) menilai awal tahun 2022 hingga sekarang, perekonomian Indonesia mulai bergerak seiring melandainya kasus Covid-19 Indonesia. Namun, meski banyak kalangan berpikir semua sudah membaik di awal tahun, perang Rusia-Ukraina mulai berdampak. Ketidakpastian membesar dengan kenaikan harga minyak, energi, dan pangan.
Subsidi sosial
Pemerintah pun memberikan subsidi, menahan laju inflasi, serta menjaga suku bunga yang dinilai Sofjan sebagai upaya untuk mempertahankan keadaan. Sementara itu, beberapa negara di dunia sudah terpaksa menaikkan bunga. Resesi tampak tidak terhindarkan.
“Menurut saya akan mulai kita rasakan akhir tahun ini akibat-akibat (dari) ini semua. Sampai seberapa jauh pemerintah bisa menahan ongkos sosialnya? Ini yang saya takutkan. Sebab, ya, terpaksa sekarang ini tentu (upaya) menambah penerimaan pajak, menaikkan (harga) minyak, itu semua untuk the have not (mereka yang tak berpunya),” kata Sofjan.

Sofjan Wanandi, pengusaha.
Harga minyak yang masih disubsidi tidak dinaikkan. “Tapi, yang dinaikkan itu yang mahal, (bagi mereka) yang bisa belilah. Itu oke, menurut saya sih baik-baik saja, ya, dinaikkan harga minyak untuk mobil-mobil tertentu dan segala macam sehingga orang tidak mau kembali ke minyak subsidi,” kata Sofjan.
Namun, menurut Sofjan, hal ini sementara, tidak mungkin dilakukan terus-menerus, karena besaran subsidi sosial tersebut bukan main besarnya. “Ya, terpaksa You (pemerintah) lakukan (ini) untuk tidak timbul gejolak, karena ini selalu ada hubungan dengan politik, dengan popularitas, dan segala macam. Nah, saya enggak tahu sampai berapa jauh ketidakpastian politik menghadapi 2024, popularitas, dan lain-lain,” tuturnya.
Baca juga: Beban Fiskal Berat, Presiden Tetap Komitmen Beri Subsidi untuk Rakyat
Masalahnya, ketika kondisi semakin sulit, prioritas semestinya diatur ulang. “Pemerintah menjalankan business as usual, yang, menurut saya, ini bahayanya. Seperti Istana Ibu Kota mau diteruskan dengan (keadaan) begini, dan macam-macam itu. Jadi, kayak enggak ada apa-apa, gitu. Infrastruktur kita kebut terus dan segala macamnya,” ujar Sofjan.

Mural tentang pemilu menghiasi tembok di Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (26/1/2022). Jadwal pemilu yang telah disepakati, 14 Februari 2024, diharapkan akan membuat persiapan pelaksanaannya lebih matang agar persoalan yang terjadi pada Pemilu 2019 tak terulang.
Menurut Sofjan hal ini yang dikhawatirkan di tahun depan. “Sampai seberapa jauh pemerintah bisa menahan? Kalaupun bisa ditahan satu dua tahun ini karena pemilu dan lain-lain, ya, saya pikir pemerintah yang akan datang tahun 2024 itu jebolnya (dalam menanggung kemampuan anggaran) lebih hebat lagi. Jadi, saya khawatirnya (itu hal yang) belum terjadi, tapi akan terjadi,” ujarnya.
Kondisi dapat lebih parah apabila semua tidak mempersiapkan diri. Apalagi, kasus harian Covid-19 pun belakangan terus naik sehingga perlu waspada. Walaupun, dibandingkan sebelumnya, subsidi sosial yang dikeluarkan biayanya lebih murah daripada saat pandemi Covid-19 memuncak.
Para pengusaha pun terus melakukan kalkulasi di tengah segala ketidakpastian ini. “Maka kalau kita lihat sementara ini investasi, ya, apakah di-delay atau diperlambat segala macam, (kalkulasi) ini (memang) sedang dilakukan karena semua orang menjaga dia punya cashflow (arus kas) supaya nanti tidak perlu lagi melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja), melakukan macam-macamnya, untuk menahan ini semua,” kata Sofjan.
Baca juga: BI Percaya Diri Tak Naikkan Suku Bunga
Pemerintah dan Bank Indonesia, dia melanjutkan, tentu juga membuat kalkulasi semisal dengan menjaga supaya bunga tidak naik dan sebagainya. “Tapi pemerintah, kan, saya pikir, ya, biarpun dia khawatir cuma tidak kelihatan. Mungkin dia (pemerintah) melakukan diam-diam, kita enggak tahu juga. Pak Jokowi sudah melakukan, selalu wanti-wanti dalam kabinetnya, ada beberapa negara sudah bangkrut, dan macam-macam. Itu, kan, seharusnya menjadi contoh (bagi) kita supaya tidak terjadi pada Indonesia,” ujar Sofjan.
Pak Jokowi sudah melakukan, selalu wanti-wanti dalam kabinetnya, ada beberapa negara sudah bangkrut, dan macam-macam. Itu, kan, seharusnya menjadi contoh (bagi) kita supaya tidak terjadi pada Indonesia.

Aktivitas warga membeli kebutuhan sehari-hari di Pasar Kranji Baru, Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (4/4/2022).
Kekhawatiran ini menjadi beralasan karena krisis berkepanjangan bisa membawa masalah. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, ketika dihubungi Jumat (24/6/2022) menuturkan, orang yang kelaparan atau kesulitan untuk bertahan hidup secara normal biasanya akan mengalami deprivasi atau merasa ada yang terampas dari hidupnya dan itu diakibatkan perlakuan orang lain.
“Jadi, orang yang mengalami deprivasi secara relatif menganggap bahwa kemiskinan yang dia terima atau marginalisasi yang dia alami itu diakibatkan orang lain, dalam hal ini pemerintah atau negara. Tapi itu secara teoritik. Semua tahu bahwa pandemi ini bukan perbuatan negara,” kata Hotman.
Orang yang mengalami deprivasi secara relatif menganggap bahwa kemiskinan yang dia terima atau marginalisasi yang dia alami itu diakibatkan orang lain, dalam hal ini pemerintah atau negara.
Oleh karenanya, semua negara di seluruh dunia berjuang mati-matian berupaya mengendalikan pandemi dan mengurangi orang yang tertular. Kemampuan negara mengatasi kemiskinan dan mengurangi jurang kesenjangan akan mencegah terjadinya ketegangan sosial. “Kalau negara tidak berbuat, mereka akan marah, akan terjadi gesekan-gesekan, dan bisa terjadi perlawanan masyarakat. Setidaknya, kalau pun tidak bisa menambah pendapatan warga, maka pengeluaran warga harus (dibantu untuk) dikurangi,” kata Hotman.

Mengurangi disparitas
Pemerintah mesti terus mengurangi disparitas di tengah masyarakat. Meski mungkin tidak dapat dicapai secara ideal, tapi setidak-tidaknya masyarakat bawah yang mengalami penderitaaan, marginalisasi, atau proses pemiskinan harus diberi peluang dan harapan.
Terkait hal itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan tiga strategi pemerintah untuk mengatasi kemiskinan ekstrem dan mengurangi jurang kesenjangan. Pertama, mengurangi pengeluaran dengan memberikan bantuan sosial melalui program-program yang ada seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), dan lainnya.
Kedua, meningkatkan pendapatan melalui pemberdayaan masyarakat yang programnya ada di berbagai kementerian. Ketiga, membangun zona atau area dengan memastikan akses kesehatan, kebersihan, dan fasilitas umum terjangkau. Hal ini dilakukan dengan membangun atau memperbaiki embung/bendungan, infrastruktur pertanian, atau sarana kesehatan lain.

Moeldoko
Presiden Joko Widodo menargetkan tidak ada lagi warga dalam kondisi miskin ekstrem pada 2024. Oleh karenanya, program untuk mengatasi kemiskinan ekstrem sudah dimulai pada 2021 dengan fokus pada 35 kabupaten/kota sasaran dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai koordinator.
Baca juga: Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Butuh Orkestrasi Kebijakan
Namun, dalam catatan BPS, pergeseran warga miskin ekstrem menjadi tidak miskin ekstrem relatif tidak signifikan. Pada Maret 2021, jumlah warga miskin ekstrem hanya menurun tipis dari 7,24 persen menjadi 7,06 persen di 35 kabupaten/kota sasaran.
Ketepatan sasaran penerima bantuan sosial rutin pun sangat rendah. Pada Maret 2021, sekitar 57 persen warga yang berada di kelompok paling miskin menerima bansos. Namun, di Desember 2021, kelompok warga paling miskin yang menerima bansos tak lebih dari 10 persen.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin rapat terbatas mengenai kemiskinan ekstrem di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/11/2021) sore.
Presiden Jokowi pun menerbitkan Instruksi Presiden nomor 4 tahun 2022 pada 8 Juni lalu. Inpres mengenai Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem ini memerintahkan 22 kementerian dan lembaga untuk mendukung langkah menghilangkan kemiskinan ekstrem.
Salah satu yang juga ditekankan Inpres ini yakni penyiapan data penerima dengan nama dan alamat sasaran. Hal ini ditangani Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Kementerian Sosial; Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri); Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan BPS.
Moeldoko mengakui penanganan kemiskinan ekstrem sepanjang 2021 menghadapi kendala pendataan. Karenanya, data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) akan ditangani BPS dan Kemendagri. “Ke depan, akan ada perbaikan atas DTKS yang ada melalui resosek (registrasi sosial ekonomi),” tambah Moeldoko.
Penanganan kemiskinan ekstrem sepanjang 2021 menghadapi kendala pendataan. Karenanya, data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) akan ditangani BPS dan Kemendagri. Ke depan, akan ada perbaikan atas DTKS yang ada melalui resosek (registrasi sosial ekonomi).
Setelah data rapi dan program pengentasan warga miskin ekstrem betul-betul dieksekusi, barulah mungkin ada sedikit perbaikan kondisi masyarakat. Tak pelak, negara harus semaksimal mungkin memfasilitasi mereka yang sangat terdampak krisis. Selain bantuan langsung yang bersifat jangka pendek, penciptaan lapangan kerja atau penumbuhan kewirausahaan juga mesti dilakukan agar manfaatnya lebih berkelanjutan.