KPK Terus Kembangkan Penyidikan Kasus Korupsi Eks Wali Kota Yogyakarta
KPK terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait perizinan apartemen yang menjerat mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. KPK akan mendalami apakah Haryadi menerima suap dari proyek-proyek lain.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — KPK terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait perizinan apartemen yang menjerat mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. KPK akan mendalami apakah Haryadi menerima suap dari proyek-proyek lain. Kemungkinan Haryadi terlibat dalam kasus korupsi selain suap juga akan didalami.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron seusai Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi, Kamis (30/6/2022), di Yogyakarta. ”Ketika mengungkapkan tindak pidana, kami selalu mengembangkan pada dugaan-dugaan tindak pidana yang lain atau yang sebelumnya,” katanya saat ditanya terkait pengembangan penyidikan kasus Haryadi Suyuti.
Seperti diberitakan, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti pada Kamis (2/6/2022). Dalam OTT tersebut, KPK menyita uang sebesar 27.258 dollar AS. Haryadi bersama tiga orang lain kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus suap terkait penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) Apartemen Royal Kedhaton di Yogyakarta.
Pemberi suap dalam kasus itu adalah Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk Oon Nusihono. Adapun tiga penerima suap adalah Haryadi Suyuti, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Yogyakarta Nurwidihartana, dan sekretaris pribadi merangkap ajudan Haryadi, Triyanto Budi Yuwono.
Meski OTT itu berkait dengan IMB Apartemen Royal Kedhaton, Ghufron menyatakan, KPK terus mengembangkan penyidikan kasus itu untuk mencari apakah ada suap terkait proyek lain yang diterima Haryadi. KPK juga akan mengembangkan penyidikan untuk mencari tahu apakah ada dugaan korupsi dalam bentuk lain yang dilakukannya.
”Selalu KPK mengembangkan pada dugaan-dugaan tindak pidana lainnya, bukan hanya suap saja. Mungkin pintunya suap, mungkin kemudian ada suap-suap sebelumnya. Mungkin ada gratifikasi-gratifikasi, pemerasan-pemerasan, atau bahkan ada (tindakan) melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang yang lain. Sedang kami kembangkan,” ungkapnya.
Akan tetapi, ia menuturkan, KPK belum bisa mengungkapkan dugaan korupsi lain yang terkait dengan Haryadi Suyuti. Hal ini karena kasus tersebut masih dalam penyelidikan. ”Apa itu, tentu kami masih proses penyelidikan dan pada saatnya kalau sudah proses penyidikan, tentu kami akan ekspos kepada masyarakat,” ujarnya.
Ghufron memaparkan, dalam kasus dugaan korupsi terkait IMB Apartemen Royal Kedhaton, jelas terjadi pelanggaran hukum oleh Haryadi dan para tersangka lain. Dalam kasus itu, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta awalnya menemukan beberapa syarat yang tidak terpenuhi sehingga seharusnya IMB Apartemen Royal Kedhaton tidak bisa diterbitkan.
Syarat yang tidak terpenuhi itu, antara lain, berkaitan dengan tinggi bangunan dan posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan. Namun, Haryadi yang mengetahui masalah itu kemudian menerbitkan surat rekomendasi yang menyetujui tinggi bangunan Apartemen Royal Kedhaton melebihi batas aturan maksimal. Dengan begitu, IMB Apartemen Royal Kedhaton pun bisa terbit.
”Ini menunjukkan, ketika ada kepentingan, maka kemudian ketentuan peraturan perundang-undangan diterabas. Itu faktanya,” papar Ghufron.
Takhta untuk rakyat
Belajar dari kasus Haryadi, Ghufron mengingatkan para pejabat di DIY untuk berkomitmen menaati regulasi yang telah dibuat. Sebab, jika seorang pejabat melanggar regulasi yang ada, hal itu bisa menjadi salah satu indikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi.
”Kami berharap ada komitmen ketika ada regulasi yang dibuat, itu harus ditegakkan dan ditaati. Kalau peraturan dibuat tapi tidak ditaati, ketidaktaatan itu menunjukkan ’ada apa-apanya’. ’Ada apa-apanya’ itu yang merupakan indikasi ada korupsi,” katanya.
Ghufron menambahkan, dalam Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Yogyakarta, dirinya juga mengingatkan slogan ”Takhta untuk Rakyat” yang dulu diperkenalkan Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX. Slogan tersebut diharapkan bisa dihayati para pejabat sehingga mereka tidak melakukan korupsi.
”Semangat yang kami ingin revitalisasi adalah sebagaimana semangat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yakni Takhta untuk Rakyat. Kalau sudah motivasi dan komitmennya untuk rakyat, saya yakin tidak akan ada korupsi, tidak akan ada penyalahgunaan wewenang maupun penerimaan gratifikasi, suap, maupun pemerasan,” paparnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, para pejabat di DIY telah menandatangani kesepakatan untuk tidak menyalahgunakan kewenangan dan tidak melakukan korupsi. Selain itu, mereka juga telah mengucapkan sumpah jabatan saat diangkat.
”Mereka sudah menandatangani kesepakatan untuk tidak menyalahgunakan (wewenang) dan korupsi. Dia sudah bersumpah juga pada waktu diangkat. Jadi, itu jangan dikhianati,” kata Sultan Hamengku Buwono X, yang juga Raja Keraton Yogyakarta.
Sultan menuturkan, apabila pejabat di DIY terlibat korupsi, mereka harus berhadapan dengan proses hukum. Selain itu, Sultan juga tidak akan membantu para pejabat yang melakukan korupsi tersebut. ”Begitu dikhianati, ya,berhadapan dengan hukum. Itu konsekuensi dan saya tidak akan melakukan apa pun untuk membantunya. Mereka sudah tahu semua,” ujarnya.