Bekas Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti Diduga Berulang Kali Terima Suap Perizinan
KPK menahan bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, karena diduga menerima suap dalam pengurusan IMB sebuah apartemen di Maliboro. Selain itu, KPK tengah mendalami dugaan dia menerima suap di penerbitan izin lainnya.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, karena diduga menerima suap atas pengurusan perizinan di wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta. Tak hanya sekali, Haryadi Suyuti diduga menerima suap dari beberapa penerbitan izin mendirikan bangunan lainnya.
Setelah melalui proses pengumpulan berbagai informasi dan data, KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perizinan di wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta. Empat tersangka itu terdiri dari satu pemberi suap dan tiga penerima suap.
Pemberi suap adalah Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk Oon Nusihono. Adapun tiga penerima suap adalah bekas Wali Kota Yogyakarta periode 2017-2022, Haryadi Suyuti; Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta Nurwidhihartana, dan sekretaris pribadi merangkap ajudan Haryadi, Triyanto Budi Yuwono. Mereka kemudian langsung ditahan selama 20 hari pertama mulai Jumat (3/6/2022).
Baca Juga: Diduga Terkait Suap Izin Apartemen, KPK Tangkap 9 Orang di Yogyakarta
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Yogyakarta dan Jakarta, Kamis (2/6/2022) sekitar pukul 12.00, tim KPK menangkap 10 orang. Dalam OTT tersebut, tim telah mengamankan sejumlah barang bukti, seperti uang tunai dalam bentuk mata uang dollar AS serta dokumen perizinan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, mengatakan, OTT ini merupakan tindak lanjut atas laporan masyarakat terkait adanya dugaan penerimaan sejumlah uang untuk Haryadi melalui Triyanto sebagai salah satu orang kepercayaannya. Sejumlah uang itu diberikan oleh pihak PT Summarecon Agung.
Tim KPK pun bergegas untuk mengamankan sejumlah pihak. Pada Kamis kemarin, tim yang terbagi menjadi dua langsung menuju ke lapangan dan mengamankan beberapa pihak yang diduga telah melakukan pemberian dan penerimaan sejumlah uang. Pemberian uang tunai dalam bentuk pecahan mata uang asing tersebut dilakukan di rumah dinas jabatan wali kota Yogyakarta dan diterima langsung oleh Triyanto. Uang diberikan oleh Oon. ”Dalam kegiatan tangkap tangan ini, KPK mengamankan bukti berupa uang dalam pecahan mata uang asing sejumlah sekitar 27.258 dollar AS yang di kemas dalam tas goodiebag,” ujar Alexander.
Menabrak aturan
Kasus yang melibatkan Haryadi ini diduga bermula terjadi pada sekitar tahun 2019. Oon selaku Vice President Real Estate PT Summarecon Agung melalui Dandan Jaya selaku Direktur Utama PT Java Orient Property mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) mengatasnamakan PT Java Orient Property untuk pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang berada di kawasan Malioboro dan termasuk dalam wilayah cagar budaya ke Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta. Untuk diketahui, PT Java Orient Property adalah anak usaha dari PT Summarecon Agung.
Proses permohonan izin pun kemudian berlanjut di tahun 2021. Untuk memuluskan pengajuan permohonan tersebut, Oon dan Dandan Jaya diduga berkomunikasi secara intens serta melakukan kesepakatan dengan Haryadi. Diduga, ada kesepakatan antara Oon dan Haryadi, antara lain Haryadi berkomitmen akan selalu ”mengawal” permohonan izin IMB yang diminta dengan memerintahkan kepala dinas perumahan umum dan perumahan rakyat (PUPR) untuk segera menerbitkan izin IMB dan dilengkapi dengan pemberian sejumlah uang selama proses pengurusan izin berlangsung.
Dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan dinas PUPR, ditemukan adanya beberapa syarat yang tidak terpenuhi, antara lain terdapat ketidaksesuaian dasar aturan bangunan, khususnya terkait tinggi bangunan dan posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan. Haryadi yang mengetahui ada kendala tersebut kemudian menerbitkan surat rekomendasi yang mengakomodir permohonan Oon dengan menyetujui tinggi bangunan melebihi batas aturan maksimal sehingga IMB dapat diterbitkan.
”Selama proses penerbitan izin IMB ini, diduga terjadi penyerahan uang secara bertahap dengan nilai minimal sekitar sejumlah Rp 50 juta dari ON (Oon) untuk HS (Haryadi) melalui TBY (Triyanto) dan untuk NWH (Nurwidhihartana),” ucap Alexander.
Selanjutnya, di tahun 2022, IMB pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang diajukan PT Java Orient Property akhirnya terbit dan pada 2 Juni 2022, Oon datang ke Yogyakarta untuk menemui Haryadi di rumah dinas jabatan wali kota. Dalam kesempatan itu, Oon menyerahkan uang sejumlah sekitar 27.258 dollar AS yang di kemas dalam tas goodiebag melalui Triyanto sebagai orang kepercayaan Haryadi dan sebagian uang tersebut juga diperuntukkan bagi Nurwidhihartana.
”Selain penerimaan tersebut, HS (Haryadi) juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa penerbitan izin IMB lainnya dan hal ini akan dilakukan pendalaman oleh tim penyidik,” kata Alexander.
Berdasarkan laporan dari masyarakat, lanjut Alexander, diketahui sudah cukup lama adanya proses perizinan yang bermasalah di Yogyakarta. Apalagi, Yogyakarta merupakan kota pariwisata di mana pembangunan hotel ataupun apartemen sangat marak.
Untuk itu, KPK akan menaruh perhatian dalam proses penerbitan izin semasa Haryadi menjabat sebagai wali kota. Ini untuk mengetahui apakah ada atau tidak kesepakatan yang berujung pada tindak pidana korupsi sebagaimana diungkap KPK kali ini.
”Nanti kami cek di sepanjang Jalan Malioboro, juga. Itu, kan, masuk kawasan cagar budaya, di mana ada aturan-aturan pembatasan terkait ketinggian ataupun sudut kemiringan dari ruas jalan. Kalau misal ada bangunan hotel yang didirikan pada periode yang bersangkutan menjabat wali kota ternyata melanggar aturan, ya, nanti kami cek apakah ada sesuatu,” tutur Alexander.
Tak hanya itu, Alexander pun menyampaikan, pihaknya tidak akan segan-segan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Haryadi apabila ditemukan bukti yang kuat dalam proses penyidikan nanti. ”Tentu akan kami lihat sejauh mana TPPU bisa diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Dalam proses penyidikan nanti pasti akan didalami kalau ternyata ada aset-aset yang lain, misal dari informasi masyarakat, lalu kami lihat aset tersebut apakah berasal dari tindak pidana,” katanya.
Menurut Alexander, korupsi perizinan telah mengakibatkan ongkos produksi menjadi lebih tinggi. Dampaknya, harga yang harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen menjadi lebih mahal. Di lain sisi, praktik korupsi pada sektor perizinan mengakibatkan persaingan bisnis menjadi tidak sehat. ”Perizinan menjadi salah satu modus korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Oleh karenanya, kami memberikan fokus khusus dalam upaya pencegahannya,” kata Alexander.
KPK melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) akan terus melakukan aksi pembenahan sistemik pada tata perzinan dan tata niaga. Kemudian, melalui Unit Koordinasi dan Supervisi, KPK juga memasukkan sektor perizinan dalam fokus area monitoring for prevention (MCP). ”KPK mendorong tahapan dan mekanisme perizinan harus lebih transparan dan sederhana. Karena perbaikan ini pada akhirnya adalah untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat,” ucap Alexander.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan, terjadinya kembali korupsi di sektor perizinan ini menunjukkan mekanisme perizinan penting untuk dievaluasi. Tak hanya itu, sistem pengawasan juga harus harus dicek ulang untuk mencegah sektor perizinan tak terus-menerus menjadi ladang korupsi.
Jika berbicara soal perizinan, menurut Herman, setidaknya ada tiga hal yang perlu dievaluasi, yakni regulasi, kelembagaan, serta sistem pelayanan digital. Berkaitan dengan regulasi, misalnya, ia melihat, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Online Single Submission Risk Based Appoarch (OSS RBA) atau OSS Berbasis Risiko, dan PP No 16/2021 tentang Bangunan Gedung, belum memberikan jaminan kepastian pelayanan perizinan, baik dari sisi prosedur, waktu, maupun biaya yang pasti.
Baca Juga: Celah Korupsi Masih Menganga di Perizinan
Kedua, dari sisi kelembagaan, masih terjadi ego sektoral, dan sumber daya manusia yang belum mumpuni. Ketiga, OSS RBA belum terintegrasi optimal dengan sistem kementerian/lembaga lain dan sistem pendukung pemda.
Jika ketiga hal itu dibenahi, Herman meyakini praktik suap perizinan bisa diminimalisir. Selain itu, jika berbicara soal OSS RBA, sistem pengawasannya juga perlu diperketat. Untuk diketahui, dalam OSS RBA terdapat tiga subsistem, yakni subsistem informasi, subsistem perizinan, dan subsistem pengawasan.
”Yang perlu didorong dan perlu dapat perhatian seluruh pemda itu soal pengawasan. Ini harus ada kolaborasi. Tidak boleh hanya oleh pemda, tetapi juga melibatkan pengawas eksternal lain dan publik. Kalau tidak, ya, kasus suap perizinan seperti ini akan berulang terus,” ujarnya.