Hilangkan Gap Persepsi Korupsi, KPK dan MA Perlu Duduk Bersama
KPK memandang kekalahan KPK di MA bukan terletak pada persoalan kualitas pembuktian, melainkan konsistensi hakim pada perkara Samin Tan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menilai ada inkonsistensi dalam putusan majelis hakim atas perkara yang melibatkan Samin Tan, terdakwa pemberi gratifikasi kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Untuk mencegah kejadian ini berulang, KPK berharap bisa duduk bersama dengan Mahkamah Agung dalam melihat korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa.
Sebelumnya, MA mengukuhkan putusan bebas atas Samin Tan dengan menolak permohonan kasasi jaksa KPK. Dalam resume putusan, majelis hakim kasasi berpendapat, tidak terungkap apakah bawahan Samin Tan, yakni Nenie Afwani, telah diperintahkan oleh Samin Tan untuk memberikan uang kepada Eni Maulani Saragih. Meskipun setiap komunikasi yang disampaikan selalu dikomunikasikan dengan Samin Tan, hal tersebut tidak dapat dijadikan pertimbangan Nenie telah diperintah oleh Samin Tan untuk memberikan uang kepada Eni.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/6/2022), mengatakan, kekalahan KPK di MA bukan terletak pada persoalan kualitas pembuktian, melainkan konsistensi hakim pada perkara Samin Tan. Ia melihat, seluruh pembuktian di surat dakwaan sebenarnya telah terbukti di mana ada pemberian sejumlah uang kepada penyelenggara negara, yaitu Eni.
Namun, hakim justru berpendapat, pemberi gratifikasi tidak dapat dipidana. Padahal, di Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi itu bisa dianggap suap apabila tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja. Artinya, jika Eni sebagai penyelenggara negara tidak melaporkan pemberian gratifikasi dalam batas waktu yang ada, maka itu bisa dianggap sebagai suap.
Kekalahan KPK di MA bukan terletak pada persoalan kualitas pembuktian, melainkan konsistensi hakim pada perkara Samin Tan. Seluruh pembuktian di surat dakwaan sebenarnya telah terbukti di mana ada pemberian sejumlah uang kepada penyelenggara negara, yaitu Eni.
”Faktanya ada meeting of minds di perkara ini, sudah ada kesepakatan antara Eni melalui orang kepercayaannya dengan Samin Tan. Jadi, masuk kategori suap. Karena itu, kami akan pelajari terlebih dahulu, seperti apa pertimbangannya hakim MA, karena kami melihat tidak ada konsistensi dari putusan pengadilan,” ujar Ali.
Baca Juga: Upaya Kasasi KPK Kandas, MA Kukuhkan Pembebasan Samin Tan
Ali menyebut, di beberapa putusan perkara lain terkait pembuktian Pasal 12B nyatanya dapat diterapkan dan dinyatakan bersalah. Misalnya, perkara di Tasikmalaya dan di Labuhanbatu Utara.
Terlepas dari itu, KPK tetap menghormati putusan pengadilan. Ia pun berharap, MA segera mengirimkan salinan putusan sehingga KPK dapat segera melakukan evaluasi internal dan menentukan upaya hukum lanjutan atas perkara Samin Tan.
”Kami harus membaca putusan hakim secara lengkap, termasuk putusan di tingkat pertamanya. Ternyata tingkat pertamanya saja kami belum terima lho salinan putusannya. Makanya, selalu saya bilang, salinan putusan segera disahkan. Padahal, salinan lengkap itu yang bisa kami analisis,” ucap Ali.
Duduk bersama
Kasus Samin Tan ini tercatat bukan kekalahan pertama KPK di tingkat MA. Akhir Desember 2021, kasasi KPK terkait dugaan penerimaan suap mantan Sekretaris MA Nurhadi juga ditolak MA. Ditolaknya kasasi itu, baik Nurhadi maupun menantunya, Rezky Herbiyono, tak dibebankan uang pengganti seperti diminta KPK.
Atas fenomena kekalahan KPK di tingkat MA ini, Ali menilai, dibutuhkan semangat yang sama dari hulu hingga hilir terkait upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai musuh bersama dan kejahatan yang luar biasa. Untuk itu, dalam penegakan hukumnya pun harus out of the box dan melihat dari segi kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukumnya.
”Kalau sekadar text bookdalam upaya pemberantasan korupsi, ya, itu benar, tetapi dalam konteks kejahatan luar biasa harus melihatnya secara lebih luas. Disebut extra ordinary crime,penanganannya juga harus ekstra,” tutur Ali.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pun sependapat dengan Ali, setidaknya KPK dan MA perlu duduk bersama sehingga memiliki persepsi yang sama dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan begitu, ukuran korupsi sebagai kejahatan luar biasa itu sama antara MA dan KPK.
”Bagaimanapun, kami menghormati kekuasaan MA. Kami perlu duduk bareng agar persepsinya sama. Kalau persepsinya sama, saya yakin, kan, bisa kemudian akuntabilitasnya terukur, bukan hanya dalam pandangan KPK, tetapi publik juga bisa menilainya,” ucap Ghufron.
Menyuburkan gratifikasi
Secara terpisah, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman melihat, putusan hakim yang menolak kasasi KPK atas vonis bebas Samin Tan menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara pemberi dan penerima gratifikasi. Putusan tersebut juga dapat melukai rasa keadilan.
Meski UU Tipikor hanya mengatur pidana untuk penerima gratifikasi, semestinya hakim bisa melakukan penemuan hukum, yakni dengan memberikan pidana kepada pemberi gratifikasi. Sebab, gratifikasi tidak bisa terjadi tanpa adanya peran dari kedua pihak.
”Jika putusannya seperti itu, hanya membebankan pidana bagi penerima gratifikasi, maka itu bisa menyuburkan praktik pemberian gratifikasi. Putusan seperti ini akan sangat berbahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi,” kata Zaenur.
Baca Juga: Pengusaha Batubara Samin Tan Divonis Bebas
Menurut dia, untuk mengantisipasi munculnya putusan serupa, diperlukan revisi UU Tipikor untuk memperjelas hukuman pidana bagi pemberi gratifikasi. Namun, sembari menunggu revisi tersebut, penemuan hukum dengan mempertimbangkan asas keseimbangan dan keadilan dapat dilakukan.
Selain itu, Zaenur mengingatkan agar KPK memperhatikan dan mengevaluasi kekalahan demi kekalahan yang terjadi atas dakwaannya di pengadilan. Pembuktian adanya suap pada setiap perkara gratifikasi yang dibawa ke pengadilan harus diperkuat. Sebab, selain kasus Samin Tan, kekalahan serupa juga beberapa kali terjadi, misalnya pada kasus mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, dan mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.
”Publik khawatir kekalahan KPK ini menjadi awal dari kekalahan-kekalahan yang lain. Sebab, orang jadi sudah semakin tahu strategi apa yang harus digunakan ketika bertransaksi,” kata Zaenur.