DPR dan Pemerintah Bahas Persoalan Penjabat Kepala Daerah Pekan Depan
Komisi II DPR mengagendakan rapat dengar pendapat dengan Kemendagri soal penjabat kepala daerah pekan depan. Pemerintah pusat diharapkan melaksanakan rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi dengan membuat aturan teknis.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR telah mengagendakan untuk rapat dengar pendapat atau RDP dengan Kementerian Dalam Negeri pada pekan depan. Dalam rapat tersebut, Komisi II DPR akan mendorong pemerintah pusat untuk membuat aturan teknis sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah jelas harus ada aturan pelaksana dalam pengangkatan penjabat kepala daerah agar bisa dilakukan secara demokratis dan transparan. Ia berharap pemerintah pusat melaksanakan rekomendasi dari MK tersebut.
”Putusan MK itu final dan mengikat. Pekan depan diagendakan (RDP). Kami akan menyampaikan kepada Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) pentingnya membuat aturan turunan,” kata Mardani dalam webinar bertajuk ”Ruang Gelap Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah” yang diselenggarakan Transparency International Indonesia, Kamis (9/6/2022).
Hadir juga sebagai pembicara Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola, Peneliti Centra Initiative Sajida Humaira, serta pengajar Fakultas Hukum dan Deputi Direktur Bidang Organisasi Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Charles Simabura.
Menurut Mardani, pemerintah pusat perlu membuat aturan teknis sesuai rekomendasi dari MK karena penjabat kepala daerah yang diangkat saat ini sangat banyak dan durasinya panjang, yakni hingga dua tahun ke depan. Situasi Pilkada 2024 akan sangat berpengaruh dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah ini.
Ia mengungkapkan, penjabat kepala daerah tersebut tidak menutup kemungkinan menjadi kepala daerah. Proses ini tidak sehat dan membuat kondisi demokrasi menjadi sangat berat.
Alvin Nicola menilai penunjukan penjabat kepala daerah yang telah berlangsung dilakukan secara tidak transparan dan tidak partisipatif. Penunjukan tersebut berpotensi melanggar undang-undang karena tak ada ruang bagi masyarakat menelaah rekam jejak calon dan mengabaikan masukan publik. Bahkan, tidak ada keterlibatan DPRD dalam penunjukan tersebut.
Pemerintah pusat perlu membuat aturan teknis sesuai rekomendasi dari MK karena penjabat kepala daerah yang diangkat saat ini sangat banyak dan durasinya panjang, yakni hingga dua tahun ke depan.
Ia mengingatkan, penjabat kepala daerah sangat rentan politisasi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN). Berdasarkan data Komisi aparatur sipil negara (KASN) pada 2020-2021 terdapat 2.034 ASN yang dilaporkan melakukan dugaan pelanggaran netralitas. Dari jumlah tersebut, 1.596 ASN terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi dan 1.373 di antaranya telah dieksekusi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).
Pelanggaran netralitas ASN tersebut berdampak secara internal dan berpengaruh pada kepentingan publik. Pada saat bersamaan, korupsi oleh kepala daerah masih banyak terjadi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, ada 138 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak 2004 hingga 2022. Sebanyak 64 persen berstatus bupati, 24 persen berstatus wali kota, dan 22 persen merupakan gubernur.
Alvin menegaskan, potensi korupsi politik terhadap penjabat kepala daerah sangat tinggi melalui suap dan tim pelobi. Sebab, menjadi penjabat kepala daerah tak perlu keluar dana yang besar. Selain itu, para penjabat akan memimpin daerah sendiri karena tidak ada wakil, sehingga kewenangannya akan sangat besar.
Sajida Humaira mengatakan, prajurit aktif yang menempati jabatan sipil tidak bisa disamakan dengan ASN atau non-ASN yang menempati jabatan yang sama. Sebab, tugas dan kewajibannya sebagai prajurit TNI tetap melekat.
Menurut Sajida, menunjuk prajurit aktif sebagai penjabat kepala daerah bukan hanya menyalahi undang-undang, tetapi juga menunjukkan kontrol pemerintahan sipil masih lemah terhadap militer.
Menurut Charles Simabura, perlu ada penambahan beberapa syarat di luar amanat putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam aturan pelaksana, perlu ada penegasan bahwa pengisian penjabat kepala daerah hanya diperbolehkan bagi anggota TNI/Polri yang sudah tidak aktif dan menjabat sebagai pimpinan tinggi pratama atau madya.
”Terhadap pejabat pimpinan tinggi pratama ataupun madya yang akan diangkat setidaknya telah menduduki jabatan tersebut dalam kurun waktu tertentu misalnya dua tahun,” kata Charles.
Perlu ada pembatasan wewenang bagi penjabat kepala daerah agar tidak mengambil keputusan yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, lanjut Charles, perlu ada pembatasan wewenang bagi penjabat kepala daerah agar tidak mengambil keputusan yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Perlu juga penegasan fungsi pengawasan hingga pemberhentian yang dapat diajukan oleh DPRD kepada presiden maupun Kemendagri.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian menegaskan, ia akan menjelaskan kewenangan, aturan, dan mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR.