Pembahasan masih dimungkinkan setelah pemerintah mengajukan ulang RKUHP dengan mekanisme luncuran atau carry over. Pembahasan terbatas pada isu tertentu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pintu pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP disebut masih terbuka. Pembahasan yang terbatas pada poin-poin perubahan di RKUHP bisa ditempuh setelah pemerintah mengajukan kembali RKUHP dengan mekanisme rancangan undang-undang luncuran (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Masih terbukanya ruang pembahasan itu disambut baik karena sejumlah pasal di RKUHP masih berpotensi bermasalah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, keputusan rapat yang membahas RKUHP antara pemerintah dan Komisi III DPR pada 25 Mei lalu sama sekali tidak menutup kemungkinan pembahasan kembali RKUHP. ”Yang disepakati dalam rapat kemarin ialah DPR akan membuat surat kepada presiden. Isinya meminta pemerintah untuk mengajukan kembali RKUHP itu dengan mekanisme carry over atau luncuran,” katanya di Jakarta, Jumat (3/6/2022).
Setelah menerima jawaban dari presiden, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan memprosesnya dan kemungkinan besar RKUHP akan diserahkan kembali pada Komisi III DPR untuk menindaklanjutinya. ”Nanti akan dilakukan klarifikasi atau pembicaraan kembali dengan Komisi III. Akan ada dinamika dari fraksi yang setuju atau tidak setuju dengan redaksional atau rumusan pasal-pasal dalam RKUHP. Namun, pada prinsipnya pembahasan itu tidak dari nol,” katanya.
RKUHP sudah sempat disetujui disahkan di tingkat pertama oleh pemerintah dan Komisi III DPR periode 2014-2019. Hanya saja, RKUHP batal dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk pengambilan keputusan tingkat kedua atau persetujuan pengesahan RUU menjadi undang-undang karena unjuk rasa penolakan pengesahan RKUHP di sejumlah daerah pada September 2019. Pembahasan RKUHP lantas disepakati dilanjutkan pemerintah dan DPR 2019-2024. Namun, pembahasan terbatas semata pada 14 isu krusial yang kerap disoroti oleh publik.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam rapat pada 25 Mei telah memaparkan hasil sosialisasi 14 poin krusial itu di 12 daerah. Dua poin di antaranya diputuskan dihapuskan setelah menerima masukan dari masyarakat, yakni mengenai ancaman pidana terhadap praktik dokter gigi tanpa izin dan ancaman pidana kepada advokat curang.
Untuk 12 isu krusial lainnya, beberapa di antaranya tetap diatur sesuai usulan awal, seperti pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif, serta penghinaan terhadap presiden yang menjadi delik aduan. Namun, ada juga yang dirumuskan ulang dilengkapi penjelasan, seperti living law (pengakuan atas hukum adat), pelarangan siaran langsung jalannya sidang pengadilan, dan soal norma penodaan agama.
Serap masukan publik
Arsul mengatakan, sekalipun perubahan hanya pada bagian penjelasan, setiap fraksi di Komisi III DPR tetap memiliki hak untuk mengkaji kembali dalam pembicaraan selanjutnya. Sebab, dari 14 poin krusial, beberapa di antaranya ada perubahan politik hukum. Selain itu, ada reformulasi ulang yang boleh jadi memantik keberatan, misalnya soal dihapuskannya kepala desa sebagai pihak yang dapat melaporkan kohabitasi.
”Fraksi-fraksi akan membaca lagi naskahnya dan memungkinkan ada perbaikan, termasuk mengakomodasi masukan publik. Setelahnya diambil keputusan dan dibawa ke paripurna,” kata Wakil Ketua Umum PPP tersebut.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, di internal Komisi III memang ada kesepahaman untuk tidak lagi membahas ulang RKUHP dari nol. Sebab, RKUHP telah melalui pembahasan panjang di DPR periode 2014-2019. ”Namun, idealnya ada pembahasan kembali secara terbatas terhadap beberapa poin. Setidaknya pada poin-poin krusial yang telah disampaikan oleh pemerintah,” ujarnya.
Putusan MK
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menekankan pentingnya pemerintah bersama DPR menerapkan partisipasi publik yang bermakna saat membahas kembali RKUHP. Sebab, hal itu diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi untuk diterapkan dalam setiap pembentukan undang-undang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyambut baik masih terbukanya pintu untuk pembahasan lebih mendalam sejumlah poin krusial di RKUHP. Untuk itu, ia berharap DPR bersama pemerintah membuka kembali sejumlah masukan dari publik terkait dengan substansi dalam RKUHP.
”Ada beberapa yang belum direspons, termasuk kaitan RKUHP dengan undang-undang baru, seperti UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang mesti diatur pasal peralihannya. Begitu juga untuk delik-delik bermasalah di UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), yakni Pasal 27 Ayat (3), dan Pasal 27 Ayat (1) yang seharusnya dicabut, karena sudah masuk di RKUHP,” katanya.