Pengesahan RKUHP Tinggal Tunggu Waktu, tetapi Masih Ada Persoalan Tersisa
”Kami mengakui tim perumus dan pemerintah juga menerima usulan dari masyarakat sipil. Namun, seharusnya pembahasan lebih detail dapat dilakukan,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu terkait RKUHP.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP tinggal menunggu waktu setelah Komisi III DPR menerima dan menyetujui penjelasan pemerintah terkait 14 isu krusial RKUHP hasil sosialisasi kepada masyarakat. Kendati demikian, masih terdapat sejumlah persoalan yang belum tuntas dan pasal-pasal yang rentan menimbulkan masalah di kemudian hari jika tidak dibahas lebih mendalam.
Dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah yang diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dan Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022) di Jakarta, tidak dilakukan kembali pembahasan mendetail. Komisi III hanya mendengarkan laporan dari Wamenkumham dan menyatakan dapat menerima serta menyetujui hasil sosialiasi atas 14 isu krusial di dalam RUU KUHP yang dilakukan di 12 daerah di Indonesia.
Adapun 14 isu krusial yang disosialisasikan meliputi penjelasan mengenai living law (hukum adat), pidana mati sebagai pidana alternatif, penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan, pelarangan siaran langsung jalannya proses pengadilan, dan pengaturan penodaan agama.
Isu krusial lainnya ialah soal penganiayaan hewan, pengaturan penggelandangan agar tidak mengganggu ketertiban umum, pengaturan aborsi yang dikecualikan pada situasi kedaruratan medis atau korban perkosaan, perzinahan yang dapat dilaporkan oleh suami/istri ataupun anak atau orang tua, pengecualian pelaporan kohabitasi oleh kepala desa, dan pengaturan mengenai perkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Dari 14 isu krusial yang menjadi perdebatan di masyarakat, dua poin di antaranya disepakati untuk dihapuskan setelah menerima masukan masyarakat, yakni ancaman pidana terhadap praktik dokter gigi tanpa izin dan ancaman pidana kepada advokat curang.
Ancaman pidana kepada dokter gigi dihapuskan karena sebelumnya ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menghilangkan ancaman pidana itu sepanjang praktik itu mendapatkan izin dari pemerintah. Adapun ancaman pidana kepada advokat curang disetujui untuk tidak diatur karena dikhawatirkan menimbulkan pandangan bias terhadap profesi penegak hukum tertentu, sementara ketentuan itu tidak diatur untuk penegak hukum lainnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, pemerintah dalam keterangannya memang menerima sejumlah masukan masyarakat. Hal itu diapresiasi, tetapi dia menyayangkan tidak dilakukan pembahasan lebih detail pada poin-poin krusial itu di rapat dengan Komisi III DPR.
”Konteks carry over dalam pembahasan suatu RUU seharusnya tidak dimaknai sekadar meneruskan tahap pembahasan. Sebab, ini kan ada perubahan substansi setelah mendengarkan masukan dari masyarakat dan itu seharusnya dibuka, serta ada tanggapan fraksi-fraksi,” kata Erasmus, Kamis (26/5) di Jakarta.
Menurut Erasmus, sekalipun pemerintah mendengarkan sejumlah masukan publik dalam sosialisasi poin-poin krusial RKUHP, itu belum cukup. Sebab, kesepakatan awal saat RUU itu ditunda pengesahannya pada 2019 ialah agar ada pembahasan ulang terhadap berbagai poin krusial yang kontroversial dan memantik perdebatan di publik.
Kami kecewa dengan proses itu meskipun kami mengakui tim perumus dan pemerintah juga menerima usulan dari masyarakat sipil. Namun, seharusnya pembahasan lebih detail dapat dilakukan.
Namun, pada kenyataannya, pembahasan terhadap isu-isu krusial itu tidak dilakukan secara mendetail dan persetujuan diberikan oleh DPR setelah laporan disampaikan oleh Wamenkumham. Idealnya, menurut Erasmus, ketika ada perubahan draf RUU, harus ada pembahasan kembali di tingkat panitia kerja, minimal pada poin-poin krusial tersebut, sehingga publik mengetahui apa alasannya. Sampai hari ini pun, kata dia, draf RKUHP itu belum dapat diakses oleh publik.
”Kami kecewa dengan proses itu meskipun kami mengakui tim perumus dan pemerintah juga menerima usulan dari masyarakat sipil. Namun, seharusnya pembahasan lebih detail dapat dilakukan,” ucapnya.
Salah satunya yang masih menjadi perdebatan ialah mengenai pasal perzinahan. Di dalam RKUHP, kini tidak hanya suami/istri yang dapat melaporkan perbuatan zinah, tetapi juga anak atau orangtua. Dengan ketentuan itu, menurut ICJR, orangtua dapat turut campur dalam rumah tangga anaknya.
”Misalnya, ketika terjadi perzinahan, dan suami/istri menyelesaikannya dan telah memaafkan, seharusnya kan tidak ada persoalan pidana. Namun, kalau orangtuanya tidak setuju atau tidak terima, lalu melapor ke polisi, maka suami/istri itu tetap dapat dikenai pasal perzinahan. Ini kan justru bisa merusak perkawinan,” katanya.
Proses politik
Anggota Komisi III, Taufik Basari, mengatakan, pembahasan kembali setidaknya pada isu-isu krusial itu penting agar pembentuk UU mendapatkan lebih banyak masukan dan memperkuat serta menyempurnakan draf RUU. Ia sempat mengusulkan secara terbuka agar ada pandangan fraksi-fraksi mengenai 14 poin krusial tersebut, Rabu. Namun, usulannya tidak dikabulkan.
”Karena sudah diputuskan demikian, tentu keputusan itu harus dihormati sebagai suatu keputusan politik,” kata anggota Fraksi Nasdem itu, Kamis di Jakarta.
Kalau ada penjelasan lagi, terkesan kita tidak sesuai kesepakatan yang lalu. Sosialisasi adalah wilayah pemerintah. Apakah sosialisasi itu keluar dari konteks yang ada? Jadi, tidak ada lagi pandangan fraksi-fraksi, ini harus selesai.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmod J Mahesa mengatakan, DPR akan menyampaikan surat pemberitahuan tindak lanjut pembahasan terhadap RUU KUHP kepada Presiden melalui pimpinan DPR.
”Kalau ada penjelasan lagi, terkesan kita tidak sesuai kesepakatan yang lalu. Sosialisasi adalah wilayah pemerintah. Apakah sosialisasi itu keluar dari konteks yang ada? Jadi, tidak ada lagi pandangan fraksi-fraksi, ini harus selesai,” kata Desmond.
Taufik mengatakan, mekanisme carry over (operan) bersifat administratif, yakni ketika suatu RUU diteruskan pembahasannya dari satu periode ke periode selanjutnya, tahapan administratif seperti surat presiden (surpres), naskah akademis, dan sebagainya tidak perlu lagi diulang.
”Tapi, kalau saya memaknai mekanisme ini, bukan berarti tidak boleh ada pembahasan. Yang ditiadakan adalah proses administrasi di awal saja,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesian Parliamentary Centre (IPC) Ahmad Hanafi mengingatkan, mekanisme penyelesaian RUU carry over seharusnya dilakukan di awal periode DPR menjabat. Karena RUU KUHP limpahan dari DPR 2014-2019, seharusnya segera setelah DPR 2019-2024 bersidang, RUU itu menjadi prioritas diteruskan. Artinya, seharusnya pada Prolegnas 2020 dan 2021, RUU ini jadi prioritas untuk dilanjutkan.
”Tetapi, ini kantidak begitu. RUU ini baru menjadi prioritas legislasi tahunan pada 2022. Artinya, kalau pada tahun-tahun sebelumnya tidak menjadi prioritas legislasi tahunan, kenapa disebut RUU carry over. Kalau diusulkan di tengah sesi, seharusnya pembahasannya sama dengan RUU baru,” katanya.
Hanafi mengatakan, sekalipun secara teknis RUU KUHP telah disepakati di tingkat pertama pada 2019 dan dinyatakan sebagai RUU carry over, tetapi praktiknya RUU ini tidak segera dibahas pada kesempatan pertama.
Berbeda, misalnya, dengan RUU Minerba yang juga sama-sama carry over dan segera dituntaskan menjadi UU pada 2020. Demikian pula RUU Bea Materai, yang sama-sama carry over, disahkan menjadi UU pada 2020.