Pasal-pasal Kontroversial di RKUHP Masih Perlu Direformulasi
”Ada beberapa pasal yang pasti akan kami uji ke MK. Tetapi, sebetulnya, sebelum ini disahkan ada baiknya dilakukan pembahasan detail terhadap beberapa pasal,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu soal RKUHP.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal yang memantik perdebatan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai masih perlu dibahas dan direformulasi ulang sehingga tidak menjadi persoalan di kemudian hari. Kalaupun tidak ada waktu lagi untuk membahas secara detail pasal per pasal, setidaknya pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan untuk membahas sejumlah pasal kontroversial yang menjadi perhatian masyarakat.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, melihat keputusan yang telah diambil di rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III dan pemerintah, Rabu (25/5/2022), kini upaya mengesahkan RKUHP tinggal selangkah lagi. Melihat keputusan yang diambil pembentuk UU, pintu pembahasan secara lebih mendetail seakan telah tertutup.
Melihat situasi ini, kini Mahkamah Konstitusi (MK) dipandang sebagai satu pintu hukum yang dapat ditempuh jika pasal-pasal yang kontroversial tetap disahkan masuk ke dalam RKUHP.
”Ada beberapa pasal yang pasti akan kami uji ke MK. Tetapi, sebetulnya, sebelum ini disahkan ada baiknya dilakukan pembahasan detail terhadap beberapa pasal. Kalaupun tidak semua pasal, paling tidak pasal-pasal yang memicu perdebatan. Misalnya , 14 poin yang dikemukakan pemerintah,” kata Erasmus, Jumat (27/5/2022), di Jakarta.
Namun, melihat gelagat pembentuk UU yang seolah enggan mendalami materi yang disampaikan pemerintah, Erasmus menilai, jalan pengujian ke MK itu tak terhindarkan. ”Dalam negara demokrasi, ini tentu disayangkan karena ketika pembentuk UU mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) itu sangat baik pembahasannya. Kami di ICJR juga terlibat. Tetapi, kenapa dalam pembahasan RKUHP kesannya berbeda kendati memang ada beberapa perubahan yang mendengarkan masukan publik,” ucapnya.
Dari kajian ICJR, setidaknya ada 24 poin pasal-pasal bermasalah di RKUHP yang perlu untuk dikaji dan direformulasi ulang. Poin-poin in dipetakan pada 2019. Beberapa di antaranya telah masuk ke dalam 14 poin yang telah disosialisasikan pemerintah ke 12 daerah dan dilaporkan kepada DPR, Rabu. Namun, ada pula poin-poin yang dinilai masih mengganjal sehingga sebaiknya ada pembahasan mendalam poin per poin.
Peneliti ICJR, Maidina Rachmawati, menambahkan, salah satunya yang masih mengganjal ialah mengenai pasal penghinaan terhadap Presiden. Pasal itu sebelumnya telah dibatalkan oleh MK. Namun, di RKUHP, pasal itu diatur kembali sebagai delik aduan.
Kendati demikian, hadirnya pasal ini tetap dipandang tidak perlu. ”Inti putusan MK, kan, menjelaskan tidak ada perbedaan kedudukan antara Presiden dan warga. Kalau dibuat delik aduan pun itu sama saja dengan delik penghinaan biasa, lantas buat apa urgensi pasal tersebut,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej mengatakan, terkait isu penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden, ada perubahan delik, yakni dari delik biasa menjadi delik aduan. ”Jadi, sama sekali tidak membangkitkan pasal yang dimatikan MK. Yang dimatikan MK (penyerangan martabat presiden/wapres) itu delik biasa. Ini delik aduan. Pengaduan bisa dilakukan secara tertulis oleh presiden dan wapres. Namun, ada pengecualian, yaitu tidak dilakukan penuntutan jika untuk kepentingan umum,” kata Eddy (Kompas, 27/5/2022).
Selain penghinaan terhadap Presiden, ada pula penghinaan terhadap lembaga negara. Menurut Maidina, implementasi pasal ini bermasalah. Sebab, sebagai subyek kritik publik, tidak mungkin ada pemaknaan penghinaan lembaga negara sebagai suatu personal atau pribadi. ”Karena itu pasti akan terkait dengan kinerja lembaga. Lembaga negara, kan, tidak memiliki marwah personal. Seharusnya pengaturan ini tidak boleh ada di negara demokrasi,” katanya.
Ketentuan lain yang menjadi catatan ialah mengenai pasal penodaan agama. Dari segi rumusan, pasal ini mengalami perkembangan daripada usulan awal pemerintah. Sebab, reformulasi yang disampaikan pemerintah, Rabu lalu, lebih memberikan titik tekan pada sikap permusuhan. Lebih jelas daripada frasa penghinaan yang dipakai di rumusan awal.
Hanya saja, dalam pasal penodaan agama ini, lanjut Maidina, seharusnya reformulasi lebih jauh dilakukan. Sikap permusuhan itu sebaiknya tidak dimaknai pada agama yang dianut di Indonesia, tetapi secara lebih tegas terhadap agama dan kepercayaan orang lain.
Demikian pula dalam pasal mengenai living law (hukum adat), yang ternyata rumusan pasalnya tidak berubah antara usulan awal pemerintah dan hasil sosialisasi kepada publik. Pasal mengenai living law ini dipandang rentan bertentangan dengan asas legalitas. Selain itu, dalam penerapan hukum adat yang diakui ini mesti memperhatikan hak asasi manusia (HAM).
”Kami mengkhawatirkan pengakuan kepada living law yang penerapannya tidak dijalankan sesuai prinsip HAM akan menjadi legitimasi bagi munculnya peraturan-peraturan daerah (perda) yang diskriminatif,” kata Maidina.
Sinkronisasi paradigma
Selain perlunya pasal-pasal bermasalah di RUU KUHP dirumuskan ulang, pengaturan pemidanaan di rancangan legislasi itu juga idealnya disesuaikan dengan RUU Pemasyarakatan. Dalam rapat, Rabu, Komisi III DPR juga menyetujui melanjutkan pembahasan RUU Pemasyarakatan ke tahap pembahasan selanjutnya. Artinya, selain RKUHP, RUU Pemasyarakatan (Pas) juga selangkah lagi untuk disahkan.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, mengatakan, paradigma pemidanaan di RKUHP harus sinkron dengan RUU Pas. Di RKUHP, misalnya, banyak diatur tentang pidana alternatif, seperti pidana percobaan dan kerja sosial. Namun, ketentuan pengawasan pidana alternatif itu belum diatur lebih jauh di dalam RUU Pas. Sementara pada saat bersamaan, RUU Pas juga telah disetujui masuk ke pembahasan tingkat dua.
”Dengan banyaknya pidana alternatif di RKUHP, seharusnya ada pengaturan di RUU Pas tentang siapa pihak yang menjadi pengawas pelaksanaan pidana alternatif itu. Jangan sampai pidana alternatif berjalan tanpa ada pengawasan negara,” katanya.
Sebab, selama ini belum ada pengaturan tegas tentang bagaimana pidana alternatif itu diawasi oleh negara. Idealnya, menurut Gatot, pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Balai itu yang menentukan apakah pidana kerja sosial, atau pidana percobaan, dan pidana alternatif lainnya dilakukan sesuai ketentuan. Selain itu, perlu dipantau apakah ada perubahan perilaku dari warga binaan yang menjalani pidana percobaan itu.
”Kalau tidak ada pengaturan mengenai pengawasan yang jelas, dikhawatirkan warga binaan itu tidak sungguh-sungguh menjalaninya secara efektif dan malah di kemudian hari menimbulkan persoalan di tengah masyarakat,” katanya.