Libatkan DPRD dalam Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Untuk menghindari timbulnya persoalan baru, pemerintah semestinya menunjuk penjabat kepala daerah yang dapat diterima masyarakat setempat. Dibutuhkan persetujuan DPRD sebagai representasi masyarakat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah selayaknya mengangkat penjabat kepala daerah yang direstui masyarakat setempat. Karena itu, sebagai representasi masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu dilibatkan dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Selain dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, pelibatan DPRD juga diyakini akan membuat legitimasi penjabat kepala daerah yang ditunjuk lebih kuat.
Pelibatan itu bukan berarti penjabat kepala daerah dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD, melainkan disetujui oleh para wakil rakyat di daerah setempat. ”Penjabat kepala daerah perlu setidaknya direstui oleh masyarakat lokal, bukan melalui pemilu, tetapi persetujuan dari DPRD. Ini bisa menjadi mekanisme untuk meningkatkan keterlibatan publik sehingga penunjukan kepala daerah lebih berlegitimasi,” kata Peneliti Otonomi Daerah Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko saat dihubungi, Rabu (18/5/2022).
Pada tahun 2022 ini, setidaknya ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Sebanyak lima penjabat gubernur sudah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri mewakili Presiden pada 12 Mei lalu. Menurut rencana, pemerintah akan kembali melantik penjabat kepala daerah karena masa jabatan 37 pasangan bupati-wakil bupati serta enam wali kota-wakil wali kota berakhir pada 22 Mei.
Penjabat kepala daerah perlu setidaknya direstui oleh masyarakat lokal, bukan melalui pemilu, tetapi persetujuan dari DPRD. Ini bisa menjadi mekanisme untuk meningkatkan keterlibatan publik sehingga penunjukan kepala daerah lebih berlegitimasi.
Pengisian penjabat kepala daerah diatur dalam Pasal 201 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Selain itu, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mardyanto menyampaikan, untuk memastikan legitimasi penjabat yang ditunjuk, pemerintah tetap harus menyusun peraturan teknis pengisian jabatan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Tanpa ada peraturan teknis, penunjukan penjabat kepala daerah dikhawatirkan akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga legitimasi pemilu dan pilkada serentak 2024 justru bisa menjadi taruhan.
”Tidak ada kata terlambat untuk menerbitkan peraturan pelaksana teknis. Ini untuk meningkatkan legitimasi penjabat kepala daerah yang ditunjuk karena mereka akan menjabat dalam waktu lama,” katanya.
Karena akan menjabat dalam waktu yang panjang dan beririsan dengan pemilu dan pilkada serentak 2024, para penjabat kepala daerah itu berpotensi dicurigai tidak netral. Ada pula kekhawatirkan para penjabat akan menggiring suara masyarakat maupun borokrasi untuk berpihak pada kekuatan politik tertentu pada saat pemilu dan pilkada.
Oleh karena itu, penunjukan penjabat kepala daerah harus transparan, akuntabel, dan demokratis. Sebab, akan sangat berkaitan dengan legitimasi Pemilu 2024. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengatur penunjukan penjabat kepala daerah harus melalui persetujuan DPRD.
DPRD, kata Mardyanto, bisa berperan sebagai representasi wakil masyarakat di daerah. Dengan demikian, penunjukan kepala daerah tidak hanya diputuskan oleh elite di pemerintah pusat. Keterlibatan masyarakat itu setidaknya diakomodasi melalui representasi DPRD.
”Lebih bagus lagi jika penunjukan itu melibatkan masyarakat yang lebih luas tidak hanya DPRD. Ini bisa diatur dalam peraturan pelaksana teknis. Namun, yang paling feasible saat ini ya cukup dengan melibatkan DPRD,” jelas Mardyanto.
Ketua Umum Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia Lukman Said mengatakan, hingga saat ini DPRD kabupaten tidak pernah dilibatkan dalam pemilihan penjabat bupati. Meskipun tidak diatur di dalam undang-undang, seharusnya gubernur berkoordinasi dengan DPRD kabupaten dalam memilih penjabat bupati yang diusulkan.
”Keinginan kami gubernur berkoordinasi dengan pimpinan DPRD, siapa saja yang diusulkan. Sebab, penjabat kepala daerah mitra kerja DPRD. Kita sama-sama membangun daerah. Pelaksananya bupati dengan DPRD,” kata Lukman.
Ia menegaskan, DPRD merupakan wakil rakyat. Ke depan diharapkan penjabat bupati bisa bersinergi dengan DPRD. Mengingat pekan depan ada beberapa penjabat bupati yang akan dilantik, Lukman berharap gubernur segera berkomunikasi dengan DPRD. Sejauh ini, semua DPRD kabupaten belum mengetahui nama-nama yang akan diusulkan menjadi penjabat bupati.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik yang sekarang menjadi penjabat Gubernur Sulawesi Barat, Jumat pekan lalu, menyebut bahwa penunjukan penjabat kepala daerah adalah mekanisme penunjukan secara politis (political appointed). Mekanisme ini tentu berbeda dengan pemilihan umum yang demokratis.
Namun, Kemendagri memastikan bahwa penunjukan secara politik itu sudah cukup demokratis. Sebab, penunjukan melibatkan Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara (BIN), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tim tersebut menyaring usulan nama yang diajukan sebagai penjabat kepala daerah. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan presiden dengan hak prerogatifnya.
”Tim inilah yang memberikan masukan kepada presiden sosok penjabat kepala daerah yang akan ditunjuk. Inilah proses demokrasi internalnya,” kata Akmal.
Usulan penjabat gubernur disampaikan oleh Kemendagri. Adapun, usulan penjabat bupati atau wali kota disampaikan oleh gubernur. Proses seleksi jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama yang akan ditunjuk sebagai penjabat bupati dan wali kota pada 22 Mei ini sudah dimulai sejak Maret lalu.
Kemendagri menyurati gubernur agar mengusulkan tiga nama calon. Setelah itu, nama-nama akan diajukan ke sidang tim penilai akhir (TPA) dan presiden. Presiden melalui hak prerogatifnya kemudian akan memutuskan siapa yang layak diangkat menjadi penjabat.
”Kami sudah melakukan profiling, seluruh pemda harus menyerahkan nama-nama sebelum akhir April lalu. Ternyata ada beberapa provinsi yang belum menyetor nama seperti Maluku, Sumatera Selatan, Papua. Kalau tidak ada usulan dari daerah, Kemendagri ambil alih untuk mengusulkan dari nama-nama yang ada,” kata Akmal.
Rekam jejak
Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto meminta pemerintah lebih selektif dan memperhatikan berbagai kriteria dalam penunjukan penjabat. Persyaratan yang harus diperhatikan di antaranya adalah syarat administratif, kompetensi, dan rekam jejak yang bersangkutan saat melaksanakan prinsip netralitas.
”Salah satu tugas penjabat adalah mengawal ASN dan birokrasi agar tetap bekerja netral di tengah proses tahapan Pemilu 2024. Karenanya, seorang penjabat kepala daerah perlu memiliki rekam jejak bersih dari perbuatan melanggar ASN di masa lalu,” ujar Agus.
Agus juga menjelaskan bahwa penunjukan penjabat kepala daerah akan berdampak luas serta dapat mempertaruhkan profesionalitas birokrasi dan ASN selama masa jabatannya. Oleh karena itu, sejak awal perlu dicegah kemungkinan penjabat melanggar netralitas, baik membawa misi politik maupun memolitisasi birokrasi. Terlebih, masa jabatan penjabat kepala daerah kali ini akan jauh lebih panjang ketimbang masa jabatan penjabat kepala daerah pada pilkada sebelumnya.
Untuk mencegah gangguan netralitas itu, menurut Agus, KASN juga telah mengirimkan laporan kepada Presiden maupun Mendagri nama-nama pejabat pimpinan tinggi yang memiliki rekam jejak melanggar netralitas di masa lalu. Nama-nama itu diharapkan tidak dipilih sebagai penjabat kepala daerah. Ini untuk meminimalisasi terjadinya politisasi birokrasi.
”Birokrasi dan ASN harus dilindungi agar tetap dapat bekerja secara independen dan tidak diseret dalam pusaran politisasi. Penunjukan juga perlu memperhatikan akseptabilitas publik di daerah itu,” tegas Agus.