Tanpa Peraturan Pengisian Penjabat Kepala Daerah, Legitimasi Pemilu Jadi Taruhan
Pemerintah tetap harus menyusun peraturan teknis pengisian penjabat kepala daerah sesuai dengan putusan MK. Tanpa ada aturan itu, dikhawatirkan penunjukan penjabat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Legitimasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 menjadi taruhan apabila pemerintah tidak menerbitkan aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah. Sebab, tanpa ada proses yang transparan, akuntabel, dan demokratis, penunjukan penjabat kepala daerah rentan dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu.
Pelantikan lima penjabat gubernur tanpa didahului pembentukan aturan teknis pengisian jabatan penjabat kepala daerah pada pekan lalu juga dinilai tidak demokratis, sehingga rentan dipersoalkan. Masyarakat dapat membawa keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan salah satu alasannya adalah Mendagri tidak melaksanakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang setara dengan undang-undang dalam proses pengisian penjabat tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Peneliti otonomi daerah, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Senin (16/5/2022), mengungkapkan, aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah sebagai turunan dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) sangat diperlukan. Namun, peraturan teknis terkait dengan pengisian penjabat hingga kini belum ada. Padahal, pembentukan aturan teknis juga merupakan mandat dari putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022.
”Saya termasuk yang mendorong PP (peraturan pemerintah) pengisian penjabat kepala daerah. Di situ juga diatur mengenai pengisian jabatan yang ditinggalkannya karena, kan, lama. Ini menjadi problematik. Yang di sana mengganggu efektivitas pemerintahan daerah, yang ditinggalkan akan menganggu dinamika birokrasi di pemerintahan pusat,” ujarnya.
Infografik Penjabat Kepala Daerah
Pada Kamis (12/5/2022) lalu, Mendagri Tito Karnavian mewakili Presiden Joko Widodo melantik lima penjabat gubernur. Mereka antara lain Sekretaris Daerah Provinsi Banten Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin (Kepulauan Bangka Belitung), dan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik (Sulawesi Barat). Selain itu, Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer (Gorontalo), serta Deputi Badan Nasional Pengelola Perbatasan Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw (Papua Barat).
Setelah dilantik, sebagian dari mereka mengemban dua jabatan sebagai penjabat kepala daerah dan pejabat tinggi di kementerian. Bahkan, Al Muktabar menjadi Penjabat Gubernur sekaligus Sekda Provinsi Banten.
Meskipun pemerintah telah menunjuk lima penjabat gubernur, menurut Mardyanto, penerbitan peraturan teknis pengisian penjabat kepala daerah masih bisa dilakukan. Sebab, masih ada sekitar 96 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun ini. Mereka antara lain Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang masa jabatannya berakhir pada 5 Juli 2022 dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pada 16 Oktober 2022.
Menurut Mardyanto, selain mengenai proses yang demokratis, pengisian penjabat kepala daerah juga terkait dengan upaya menghasilkan pemilu yang sah. ”Kan arahnya itu. Kalau kemudian hanya dipasang, kemudian tidak ada mekanisme di daerah sendiri untuk memilih itu, khawatirnya jadi birocratic politic. Jadi politik birokrasi yang dikhawatirkan mengintervensi pemilihan dan segala macam sehingga akhirnya pemilunya tidak legitimate,” kata nya.
Meskipun pemerintah telah menunjuk lima penjabat gubernur penerbitan peraturan teknis pengisian penjabat kepala daerah masih bisa dilakukan. Sebab, masih ada sekitar 96 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir tahun ini.
Ia khawatir, apabila pemerintah tetap bersikukuh mengangkat penjabat kepala daerah seperti yang dilakukan di lima daerah sebelumnya, publik akan semakin bertanya-tanya. ”Apalagi bagi pihak yang menggugat hasil pemilu segala macam, nanti jadi semakin kompleks,” ujarnya.
Manajer Program Perludem Fadil Ramadhanil juga mengungkapkan tantangan elektoral 2024 yang tidak mudah yang harus dihadapi penjabat kepala daerah. Pertama, penjabat tersebut harus memastikan anggaran pilkada serentak 2024 bisa direncanakan dan diadakan sesuai dengan kebutuhan. Selama ini, persoalan penganggaran pilkada tidak mudah dilakukan oleh kepala daerah karena perlu komunikasi dengan stakeholder di daerah, terutama DPRD.
”Tantangan elektoral kedua, penjabat ini wajib menjaga netralitas ASN, menjaga stabilitas politik dan sosial ditengah kuatnya pertarungan kontestasi Pemilu 2024,” kata Fadil sembari menambahkan bahwa pertaruhan untuk 2024 tersebut tidaklah mudah dan tidak ringan. Penjabat kepala daerah mesti tidak mendekatkan diri pada tarik-menarik dan gonjang-ganjing politik kontestasi 2024.
Menurut Fadil, putusan MK No 67/2022 sebenarnya ingin menjaga esensi atau amanat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 agar seorang pimpinan daerah meskipun hanya menjabat di masa transisi (sebelum pelaksaan pilkada serentak) tidak keluar dari pakem pemilihan secara demokratis. Konstitusi menyebutkan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Apabila kemudian Kemendagri memilih lima penjabat kepala daerah tanpa proses yang diketahui publik, publik tidak salah jika berpikir penunjukan penjabat dilakukan secara tiba-tiba.
”Ini masa transisional atau masa antara untuk menuju penataan pilkada. Tapi ini tidak boleh menggeser nilai-nilai dalam konstitusi yang menyebutkan secara eksplisit bahwa harus dipilih dipilih secara demokratis. Itu yang ingin dijaga MK, ingin melindungi nilai dan pesan konstitusi. Dengan tindakan seperti ini, pemerintah enggak sejalan dengan perintah MK,” katanya.
Violla Reininda dari Kode Inisiatif menambahkan, apabila putusan MK tidak dipatuhi, artinya secara terang-terangan penyelenggara negara mengesampingkan budaya berkonstitusi. Ada potensi pelanggaran konstitusi dalam penunjukan penjabat kepala daerah karena proses pemilihan tidak dilakukan secara demokratis dan terbuka.
”Ada mekanisme hukum untuk men-challenge keputusan yang dihasilkan. Proses ini terbuka melalui jalur PTUN,” katanya.
Libatkan DPRD
Dalam hitungan Fadhli Ramadhanil, para penjabat yang mulai bekerja pada Mei 2022 ini akan bertugas lebih dari dua tahun. Jika pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024, kepala definitif baru bisa terpilih pada sekitar Maret atau April 2025. Hitungan ini sudah mencakup panjangnya waktu rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada ditambah waktu penyelesaian sengketa pemilihan yang secara normatif memakan 45 hari kerja (sekitar dua bulan hari biasa).
Lamanya waktu bagi penjabat kepala daerah bertugas merupakan problema tersendiri. Menurut Fadli, jika mengacu pada putusan MK tahun 2010 tentang masa jabatan kepala daerah, lembaga peradilan konstitusi tersebut pernah mengatakan bahwa apabila seorang kepala daerah sudah menjabat selama 2,5 tahun maka bisa dihitung menjadi satu periode. Padahal, bagi daerah yang masa jabatannya berakhir di Mei 2022, maka daerah tersebut akan dipimpin penjabat hingga hampir tiga tahun.
Infografik riset aturan pengangkatan penjabat kepala daerah pada masa pemilu.
Dalam kaitannya dengan hal itu, pendiri kantor hukum Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, ada dua kondisi pengisian penjabat jika berbasiskan waktu. Ketika masa transisi masih lebih dari 1,5 tahun atau 18 bulan, penunjukan penjabat kepala daerah perlu melalui proses demokrasi melalui DPRD. Kecuali kurang dari 18 bulan, maka kementerian dalam negeri bisa melakukan penunjukan langsung. Mekanisme pemilihan penjabat secara demokratis tersebut sangat penting mengingat hal tersebut sebenarnya merupakan amanat dari Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Feri juga mengungkapkan, pengisian penjabat kepala daerah juga harus memperhatikan kompetensi dari orang yang ditunjuk dan kebutuhan di daerah. Misalnya, penjabat yang dilantik berasal dari Kementerian Pemuda dan Olahraga tetapi di daerah tersebut tidak ada persoalan olahraga. Atau, seorang yang memiliki kemampuan di bidang teknologi tetapi problematika yang terjadi di daerah adalah persoalan pertanian. ”Kan enggak nyambung,” katanya.