Dirjen Otda: Jabatan Pokok Penjabat Kepala Daerah Tetap Melekat
Jabatan pokok bagi pejabat yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah akan tetap melekat. Adapun tugas-tugasnya di jabatan pokok, menurut Dirjen Otda Akmal Malik, akan dilaksanakan oleh pelaksana harian.

JAKARTA, KOMPAS — Penjabat kepala daerah diminta fokus bekerja dan bertugas di daerah masing-masing. Meskipun demikian, jabatan mereka di instansi asal akan tetap melekat. Adapun tugasnya di instansi asal, menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Jumat (13/5/2022), untuk sementara waktu akan dilaksanakan oleh pelaksana harian atau plh.
Aturan ini, kata Akmal, berlaku tidak hanya untuk penjabat gubernur, tetapi juga penjabat bupati dan wali kota. ”(Mereka) Yang ditunjuk itu pasti orang yang kapasitasnya luar biasa. Artinya, mereka yang dianggap bisa melakukan tugas secara paralel bersama-sama,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyebutkan bahwa tidak akan ada penjabat kepala daerah yang merangkap jabatan. Mereka diminta sepenuhnya bertugas di daerah masing-masing. Agar bisa fokus melaksanakan tugasnya di daerah, jabatan mereka di pemerintah pusat akan diganti oleh pelaksana tugas (plt) sementara.
”Kita bisa plt-kan, plh juga bisa,” ujar Tito usai pelantikan lima penjabat gubernur yang habis masa jabatannya, Kamis (12/5/2022).
Dari lima penjabat kepala daerah yang telah dilantik oleh Mendagri, Kamis, dua di antaranya merupakan direktur jenderal di kementerian. Adapun tiga penjabat lainnya ada yang menjabat sebagai sekretaris daerah, staf ahli menteri, dan deputi di sebuah badan. Setelah dilantik, mereka pun mengemban dua jabatan.
Kebutuhan penjabat kepala daerah nantinya akan terus bertambah. Selama 2022-2023, total ada 271 daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatannya. Jabatan itu akan diisi oleh penjabat kepala daerah hingga pilkada serentak 2024 dilaksanakan.
Baca juga: Pejabat Kemendagri Akmal Malik Disebut Ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Sulbar

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik
Lebih lanjut disampaikan Akmal, pada dasarnya, penjabat kepala daerah adalah penugasan tambahan di luar jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya. Para JPT madya ini ditugaskan untuk mengisi jabatan gubernur karena ada kekosongan jabatan akibat pelaksanaan pemilu serentak 2024. Oleh karena itu, jabatan pokok JPT madya tetap melekat bagi pejabat yang ditugaskan sebagai penjabat kepala daerah.
Akmal pun merupakan dirjen di kementerian yang turut ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah, yaitu Penjabat Gubernur Sulawesi Barat. Karena itu, selama setahun ia akan fokus bertugas sebagai penjabat Gubernur Sulawesi Barat, sementara tugasnya sehari-hari sebagai Dirjen Otda akan dikerjakan oleh pelaksana harian.
Jabatan JPT madya tetap melekat bagi pejabat yang ditugaskan sebagai penjabat kepala daerah.
Hal serupa juga berlaku untuk penjabat bupati dan wali kota. Bagi kabupaten/kota yang masa jabatan bupati/wali kota habis di 2022-2023 akan diisi oleh penjabat dari kalangan JPT pratama. Bagi pejabat dari JPT pratama yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah, maka tugasnya akan dilakukan oleh pelaksana harian. Misalnya, pejabat dinas di provinsi yang menjadi penjabat bupati atau wali kota tetap harus fokus bertugas di daerah penugasan. Jabatannya di dinas provinsi tidak akan dicopot, tetapi hanya akan digantikan oleh plh sementara.
”Riilnya dia masih pejabat JPT pratama. Kalau dicopot, justru tidak sah jabatan penjabatnya. Orang yang diberi tugas tambahan tidak bisa mengalahkan tugas pokoknya,” kata Akmal.
Namun, Akmal juga menegaskan bahwa pengangkatan plh untuk mengisi jabatan pokok pejabat yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah, itu diserahkan sepenuhnya kepada setiap menteri atau gubernur terkait.
Akmal pun berpendapat, agar persoalan jabatan itu seharusnya tidak menjadi kendala. Sebab, para pejabat dipilih dengan kualifikasi di atas rata-rata. Nama-nama tersebut dianggap mampu melaksanakan tugas sebagai penjabat kepala daerah.
Baca juga: Lobi Intens untuk Posisi Penjabat Kepala Daerah

Komjen (Purn) Paulus Waterpauw (mengacungkan dua jari) saat mengucapkan sumpah dan janji jabatan dalam pelantikannya menjadi Penjabat Gubernur Papua Barat di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Selain Paulus Waterpauw, ada empat penjabat yang dilantik bersamaan, yaitu Al Muktabar (Banten), Ridwan Djamaluddin (Bangka Belitung), Akmal Malik (Sulawesi Barat), dan Hamka Hendra Noer (Gorontalo). Para penjabat gubernur ini akan bertugas selam satu tahun. Mereka bisa kembali dipilih menjadi penjabat berikutnya atau diganti yang lain sampai dengan dilantiknya kepala daerah definitif hasil pilkada serentak yang diselenggarakan 27 November 2024.
Saat pelantikan, Kamis, Mendagri secara spesifik berpesan kepada para penjabat gubernur agar mendukung realisasi program strategis nasional. Menurut Akmal, sejumlah program strategis nasional itu di antaranya reformasi birokrasi, penyederhanaan peraturan daerah, pembangunan infrastruktur strategis, dan pemulihan ekonomi akibat dampak Covid-19.
”Presiden mendorong agar 49 persen investasi APBN dan APBD untuk produk lokal, supaya uang berputar dalam negeri. Persoalannya, terkadang kepala daerah definitif tidak mau melaksanakan itu. Kalau kami, penjabat kepala daerah, mau tidak mau harus mau karena ditugaskan oleh presiden,” kata Akmal.
Menurut Akmal, untuk memprioritaskan program strategis nasional ini, para penjabat kepala daerah juga akan diberi kewenangan untuk melakukan mutasi jabatan aparatur sipil negara (ASN). ASN yang tidak mendukung program pemerintah pusat dapat dimutasikan walaupun secara aturan penjabat kepala daerah tak boleh melakukan mutasi jabatan. Namun, jika mendapatkan izin tertulis dari Mendagri, hal itu bisa dilakukan.
”Karena penjabat kepala daerah bukan pejabat pembina kepegawaian, tidak bisa melakukan mutasi jabatan. Namun, kami sudah bilang kepada pak menteri kemarin. Tolong berikan otoritas kepada penjabat ketika ada penghalang ASN yang tidak mendukung program strategis nasional,” ujar Akmal.
Baca juga: MK Perintahkan Pemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah

Soni Sumarsono
Ganggu efektivitas pemerintahan
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) Soni Sumarsono saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan, penjabat kepala daerah dengan masa jabatan yang lama, ini baru pertama kali terjadi. Sebelumnya, penjabat hanya diisi selama tiga hingga enam bulan. Namun kali ini, masa jabatannya bisa berlangsung hingga dua tahun jika kembali diperpanjang. Dengan demikian, seorang pejabat akan merangkap jabatan, pertama jabatan pokok di instansi awal dan jabatan tambahan sebagai penjabat kepala daerah.
Meski secara aturan diperbolehkan, rangkap jabatan itu dikhawatirkan mengganggu efektivitas manajemen pemerintahan. Mereka bisa kehilangan fokus di jabatan pokok karena harus mengurusi persoalan daerah yang sangat kompleks, apalagi situasi politik yang kian memanas menjelang Pemilu 2024. Tugas mereka di jabatan pokok bisa terabaikan, begitu pula sebaliknya.
Oleh sebab itu, menurut Soni, idealnya pejabat struktural itu dinonaktifkan sementara dan diisi oleh pelaksana tugas. Pilihan pelaksana tugas dianggap lebih efektif dibandingkan pelaksana harian karena memiliki kewenangan yang hampir sama dengan pejabat definitif. Dengan demikian, manajemen pemerintahan di jabatan pokok dan jabatan tambahan tidak akan terganggu.
Rangkap jabatan itu dikhawatirkan mengganggu efektivitas manajemen pemerintahan. Mereka bisa kehilangan fokus di jabatan pokok karena harus mengurusi persoalan daerah yang sangat kompleks.
”Bisa sementara dinonaktifkan dan diangkat pelaksana tugas dengan kewenangan penuh sehingga dua-duanya bisa berjalan efektif. Jika masih rangkap jabatan, akan kehilangan salah satu fokusnya dan tidak maksimal dalam menjalankan tugas,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menilai, tantangan dan pekerjaan yang mesti dilakukan penjabat kepala daerah dalam dua hingga tiga tahun mendatang sangat besar. Mereka harus merespons kebijakan pemerintah pusat dan mempersiapkan pemilu sehingga membutuhkan konsentrasi dan fokus yang penuh.
KPPOD mendorong agar penjabat kepala daerah tidak dibebani tugas ganda agar fokus memimpin daerah. Senada dengan Soni, Herman berharap agar pemerintah menunjuk pelaksana tugas untuk menggantikan peran yang diemban oleh pejabat struktural ketika harus menjadi penjabat kepala daerah. Aturan itu semestinya berlaku tidak hanya di instansi pemerintah pusat, tetapi di pemerintah provinsi yang sebagian pejabatnya akan ditunjuk sebagai penjabat.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman
Sementara itu, menanggapi pelantikan lima penjabat gubernur, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sejak awal KPK telah mengingatkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah. Ini untuk menghindari potensi korupsi, praktik transaksional, dan kepentingan politik.
”Para penjabat kepala daerah ini juga harus memiliki integritas yang mumpuni. Sebab, mereka akan memiliki kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif dan akan memimpin daerah dalam waktu yang relatif cukup lama sekitar satu hingga dua tahun,” kata Ali.
Kewenangan para penjabat kepala daerah ini pun tidak akan main-main. Mereka dapat menerbitkan dan menjalankan sejumlah kebijakan strategis yang akan berdampak pada jalannya pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. Penjabat berwenang menyusun dan mengajukan APBD, APBD Perubahan, hingga pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD. Selain itu, juga untuk mengelola sektor belanja dengan melakukan pengadaan barang dan jasa.
Sementara itu, data penanganan perkara KPK menunjukkan hingga Desember 2021, KPK telah menangani 170 perkara kepala daerah yang terdiri dari 148 perkara bupati dan wali kota, serta 22 perkara gubernur.
Titik rawan korupsi
Menurut Ali, titik rawan korupsi pemerintahan daerah adalah terkait belanja daerah yang meliputi pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, hibah dan bansos, pengelolaan aset, hingga penempatan modal pemerintah daerah di badan usaha milik daerah (BUMD) atau pihak ketiga. Kerawanan lainnya, korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat, korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan, benturan kepentingan, serta penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahan.
Berdasarkan hasil Survey Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021, pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang paling rawan korupsi. Responden menyatakan bahwa ada korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa di seluruh instansi peserta SPI yang berjumlah 640 instansi baik di pusat maupun daerah. Selain itu, tercatat ada 99 persen instansi korupsi dalam kegiatan promosi atau mutasi pegawai, 99 persen instansi menyalahgunakan fasilitas kantor, dan 98 persen instansi terdapat praktik suap dan gratifikasi.
”KPK berharap para penjabat kepala daerah tidak ikut terjerumus dalam praktik korupsi tersebut. KPK mengajak para penjabat kepala daerah agar menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan mengedepankan prinsip-prinsip good governance dalam memimpin daerahnya,” kata Ali.

Mardani Ali Sera
Dihubungi terpisah, anggota Komisi II, Mardani Ali Sera, menuturkan, untuk menegakkan akuntabilitas, netralitas, dan independensi, maka sebaiknya pemerintah membuat payung hukum untuk penunjukan penjabat kepala daerah. Pembuatan peraturan pelaksana teknis ini sesuai dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurut Mardani, seharusnya penunjukan kepala daerah didahului dengan dasar hukum peraturan pelaksana teknis.
”Penjabat gubernur sementara yang baru dilantik ini rawan digugat karena ditetapkan tidak mengikuti putusan MK. Semestinya didahului dengan payung hukum,” kata Mardani melalui keterangan tertulis.
Tanpa peraturan teknis pelaksana, Mardani berpandangan, kemungkinan ada lobi-lobi politik terkait dengan pengangkatan penjabat kepala daerah. Ada kepentingan politik dalam pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut. Apalagi, yang akan diisi oleh penjabat ada sebanyak 271 jabatan kepala daerah.
”Ini masif jumlahnya dan lama waktunya sehingga siapa pun yang punya kuasa sangat besar godaannya sebagai orkestrasi politik. Apalagi, di antara massa jabatan kepala daerah ini ada momen penting pemilu legislatif 14 Februari 2024 yang memungkinan peluang politisasi atau intervensi,” kata Mardani.