Abaikan MK, Kemendagri Yakini TNI/Polri Bisa Jadi Penjabat Kepala Daerah
MK memutus melarang anggota TNI/Polri aktif ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Namun, Kemendagri berpadangan siapa pun yang menjabat pimpinan tinggi pratama dan madya bisa ditunjuk, termasuk anggota TNI/Polri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri masih membuka peluang bagi anggota TNI/Polri untuk diangkat menjadi penjabat kepala daerah. Syaratnya, mereka menduduki jabatan pimpinan tinggi madya dan atau pimpinan tinggi pratama. Tak hanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, hal itu juga dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi demokrasi ataupun reformasi birokrasi.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irwan, Selasa (17/5/2022), menerangkan bahwa persyaratan pertama diangkat menjadi penjabat gubenur adalah menduduki jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya, dan JPT pratama untuk penjabat bupati dan wali kota. Siapa pun yang berada dalam posisi itu mempunyai hak untuk diangkat menjadi penjabat kepala daerah, termasuk anggota TNI dan Polri.
”Apakah itu dari TNI, Polri, asalkan dari posisi JPT madya atau JPT pratama tetap bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah,” kata Benny.
Infografik Penjabat Kepala Daerah
Pernyataan Benny itu memperkuat apa yang disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik sebelumnya. Pada Jumat lalu, ia menyampaikan bahwa pemerintah bertindak selalu pelaksana undang-undang. Sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat dengan jabatan pimpinan tinggi madya dapat ditunjuk sebagai penjabat gubernur. Adapun pejabat JPT pratama dapat ditunjuk menjadi penjabat bupati atau wali kota. Hal itu berlaku bagi seluruh pejabat, baik ASN maupun anggota TNI dan Polri.
”Sepanjang dia adalah pejabat tinggi madya atau pejabat tinggi pratama bisa diangkat sebagai penjabat kepala daerah,” ujarnya.
Pada Kamis (12/5), Mendagri Tito Karnavian mewakili Presiden Joko Widodo melantik lima penjabat gubernur. Mereka antara lain Sekretaris Daerah Provinsi Banten Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin (Kepulauan Bangka Belitung), dan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik (Sulawesi Barat). Selain itu, Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer (Gorontalo) serta Deputi Badan Nasional Pengelola Perbatasan Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw (Papua Barat).
Apakah itu dari TNI, Polri, asalkan dari posisi JPT madya atau JPT pratama tetap bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah.
Saat ini masih ada sekitar 96 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022. Mereka antara lain Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang masa jabatannya berakhir pada 5 Juli 2022 dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pada 16 Oktober 2022.
Akmal menjelaskan, walaupun berstatus sebagai TNI/Polri aktif, apabila mereka menjabat JPT madya atau pratama, masih berpeluang untuk ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah. Salah satunya Kepala BIN Daerah (Kabinda). Merujuk Peraturan Presiden No 79/2020 tentang Badan Intelijen Negara, kabinda merupakan JBT pratama setara dengan pejabat eselon IIA. Posisi Kabinda setara dengan kepala biro dan inspektur.
”Sehingga Kabinda bisa ditaruh sebagai penjabat di tingkat kabupaten/kota,” ucap Akmal menjelaskan.
Benny meminta masyarakat tidak terlalu khawatir dengan netralitas penjabat kepala daerah karena mereka merupakan aparatur negara. Aparatur negara, baik sipil maupun TNI/Polri, diatur secara ketat dengan UU agar selalu netral, tidak condong ke salah satu pihak. Selain itu, dalam proses seleksi, sidang tim penilai akhir (TPA) di Istana Kepresidenan selalu memastikan bahwa penjabat yang ditunjuk tidak bertendensi memihak kepentingan politik tertentu.
Tak bisa diabaikan
Peneliti Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Megaputri Mengko, mengingatkan, putusan MK terkait uji materi UU Pilkada khususnya pasal penunjukan penjabat kepala daerah tidak bisa diabaikan.
Di dalam putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022, dan putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022 yang dibacakan, Rabu (20/4/2022), secara eksplisit disebutkan, Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI mengatur bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. UU juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, dan intelijen negara. Selain itu, lembaga sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.
Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan yang diatur dalam UU No 5/2014 tentang ASN. UU membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif (Kompas, 21/4/2022).
Diandra menegaskan, putusan MK yang bersifat final dan mengikat tak bisa diabaikan oleh pemerintah. Terlebih, hal itu sudah diatur secara khusus di UU TNI dan UU Polri. Namun, sebagaimana terjadi dalam penunjukan penjabat Gubernur Jawa Barat tahun 2018, polisi aktif pun dapat diangkat sebagai penjabat guberbur. Kala itu, pejabat Sestama Lemhanas Komisaris Jenderal Iriawan dilantik sebagai penjabat Gubernur Jabar. Penafsiran mengenai status aktif dan tidak di kepolisian inilah menurut dia yang masih bisa diutak-atik.
”Pemerintah seharusnya patuh dan taat pada putusan MK yang secara tegas melarang TNI/Polri aktif ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah. Jika tidak dipatuhi, penunjukan itu bisa cacat hukum,” ujar Diandra.
Menurut Diandra, putusan MK yang melarang TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah bukan tanpa alasan. Sejak reformasi 1998, TNI/Polri dibatasi agar tidak masuk ke ranah politik praktis sehingga tidak merusak demokrasi dan reformasi internal.
”Justru karena kondisi politik dan keamanannya rawan menuju pemilu dan pilkada serentak 2024, jangan sampai menarik-narik aparat ke politik. Mereka harus netral dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan. Kalau terpapar politik, mereka justru akan sulit netral dalam penegakan hukum,” tuturnya.
Selain itu, masuknya TNI/Polri dalam jabatan publik juga dapat berdampak buruk bagi reformasi birokrasi. Aparat keamanan dinilai tidak familiar dengan agenda reformasi birokrasi. Padahal, hal itu adalah salah satu aspek penting untuk memastikan pelayanan publik berjalan efektif.
Jika mereka harus belajar lagi dari awal soal reformasi birokrasi, ini bisa mengganggu efektivitas pemerintahan daerah. Padahal, situasi yang harus dihadapi penjabat di daerah sangat kompleks. Mulai dari pemulihan dampak pandemi Covid-19 hingga menjaga situasi keamanan menjelang pemilu dan pilkada serentak 2024.
”Lebih baik aparat digunakan untuk membaca peta kerawanan politik dan situasi keamanan menjelang Pemilu 2024. Bukan malah menempatkan mereka di jabatan publik penjabat kepala daerah,” kata Diandra.
Diandra juga menilai, dalam konteks pilkada serentak 2024, penjabat kepala daerah akan mengisi kekosongan jabatan dalam kurun yang tak sebentar. Mereka minimal menjabat selama satu tahun, yang kemudian dapat diperpanjang lagi selama satu tahun. Mereka dapat mengisi jabatan penjabat kepala daerah selama 2,5 tahun-3 tahun. Kondisi itu juga dapat mengganggu agenda reformasi TNI/Polri.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik lima penjabat kepala daerah, Kamis (12/5/2022).
Terkait dengan kepatuhan terhadap putusan MK, Mendagri Tito Karnavian menyebutkan, tidak ada kata ”mewajibkan” dalam pertimbangan ataupun amar putusan MK. Oleh karena itu, pemerintah menilai penjabat kepala daerah yang dipilih tidak akan cacat hukum. Dalam pertimbangan putusan MK dinilai tidak ada kata ”mewajibkan” atau ”memerintahkan” sehingga ditafsirkan aturan teknis penunjukan kepala daerah adalah diskresi dari pemerintah. Pemerintah beranggapan aturan-aturan mengenai penunjukan penjabat itu sudah ada di UU tentang Pilkada dan UU ASN.
Hakim Konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengingatkan, membaca putusan MK haruslah utuh. Sebab, pertimbangan hukum suatu putusan bersifat ratio decidendi atau tidak dapat dipisahkan dengan amar putusan. Sifat amar putusan dan pertimbangan hukum sama-sama final dan mengikat bagi pembentuk UU.
Adapun Jubir MK Fajar Laksono Suroso menambahkan, karena bersifat final dan mengikat, pertimbangan hukum MK tidak boleh dikesampingkan.