Para pemohon uji formil UU IKN mempertajam kedudukan hukumnya. Contohnya, Busyro Muqoddas. Sebagai dosen, ia bingung dengan proses pembentukan UU IKN karena tak bisa dijelaskan dalam pembentukan UU yang baik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyidangkan lima perkara uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara di tiga sidang, Rabu (11/5/2022). Dalam kesempatan tersebut, para pemohon memperbaiki sekaligus mempertajam kedudukan hukum atau legal standing serta alasan permohonan, seperti diminta oleh majelis panel konstitusi pada sidang sebelumnya.
Adapun kelima perkara tersebut antara lain perkara nomor 53/PUU-XX/2022 yang diajukan Anah Mardianah, 54/2022 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 47/2022 yang diajukan Mulak Sihotang, 48/2022 yang diajukan Damai Hari Lubis, dan 49/2022 yang diajukan oleh Phiodias Marthias. Sidang untuk seluruh perkara tersebut dalam tahap perbaikan permohonan.
Menurut rencana, Kamis (12/5/2022) ini, MK juga kembali menyidangkan uji formil untuk dua perkara lain yang sudah terlebih dahulu diajukan (perkara 25/2022 yang diajukan Poros Nasional Kedaulatan Negara dan perkara 34/2022 yang diajukan Azyumardi Azra, Din Syamsuddin dkk). Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi yang diajukan oleh pemohon 34/2022.
Kuasa hukum perkara 54/2022, Ikhwan Fahroji, dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, mengungkapkan, pihaknya sudah memperbaiki berkas permohonan sesuai saran hakim sebelumnya. Beberapa perbaikan yang dilakukan di antaranya mempertajam kedudukan hukum pemohon I (Busyro Muqoddas), pemohon II(Trisno Raharjo), pemohon III (Yati Dahlia), dan pemohon IV (Dwi Putri Cahyawati).
Dalam uraiannya, ia menjelaskan kerugian konstitusional yang diderita Busyro yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Ketua Pimpinan Pusat Muhamadiyah Bidang Hikmah Kebijakan Publik Hukum dan HAM tahun 2015-2021. Sebagai dosen dan pengurus Muhammadiyah, Busyro sering mendapatkan pertanyaan terkait proses pembentukan UU IKN yang dibahas dalam waktu singkat padahal memiliki dimensi kepentingan yang sangat luas.
Menurut Ikhwan, Busyro kebingungan menjelaskan secara yuridis proses pembentukan UU IKN karena tidak dapat dijelaskan dalam perspektif asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Hal yang sama juga dialami oleh pemohon II yang juga merupakan dosen Fakultas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan pengurus Muhammadiyah.
Sementara itu, pemohon III Yati Dahlia berasal dari suku Balik, suku asli di kawasan IKN di mana tempat tinggalnya hanya berjarak 5 kilometer dari Titik Nol IKN. Yati khawatir akan digusur. Ia menolak jika harus pindah karena harus memulai kehidupan baru, berpisah dengan tetangga dan keluarga, serta tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku Balik. Yati pun juga tidak boleh mengurus tanah yang dimilikinya, demikian juga warga yang lain.
”Warga di sekitar kawasan inti IKN, terutama suku Balik, tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah tentang rencana pemindahan IKN hingga undang-undang disahkan,” kata Ikhwan.
Hak Yati Dahlia untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin di dalam Pasal 28H UUD 1945, serta Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 28F di mana tiap individu berhak mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Pemohon III, Yati Dahlia, berasal dari suku Balik, suku asli di kawasan IKN di mana tempat tinggalnya hanya berjarak 5 kilometer dari Titik Nol IKN. Yati khawatir akan digusur.
Kuasa hukum pemohon lainnya, Tommy Indriadi, mengatakan, pemohon V (AMAN) yang mewakili organisasi masyarakat adat memang telah dihadirkan dalam rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan oleh Panitia Khusus IKN di DPR. Namun, hingga undang-undang disahkan, usulan-usulan yang disampaikan tidak diakomodasi.
Berdasarkan agenda pembahasan RUU di DPR, Tommy menyampaikan tingkat partisipasi masyarakat yang memiliki concern pada pembahasan RUU IKN sangat minim. ”Untuk itu, kemudian pemohon berpendapat bahwa partisipasi yang kemudian menjadi dasar pembentukan undang-undang dibuat dengan derajat partisipasi yang semua. UU IKN ini tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya,” kata Tommy.
Ini setidaknya terlihat dari pemantauan website open parlemen; dari 28 tahapan agenda pembahasan RUU IKN, hanya tujuh agenda yang terbuka untuk diakses oleh publik. Dokumen dalam 21 agenda pembahasan lainnya tidak dapat diakses. Padahal, hal tersebut sangat penting untuk dilakukan kajian dan penelitian mendalam sebagai bahan untuk memberikan masukan kepada pembentuk undang-undang.
Dalam perkara lainnya, para pemohon serta kuasa hukum yang mewakili juga menyampaikan berbagai perbaikan permohonan yang sudah dibuat. Sebelum sidang ditutup, pimpinan sidang panel mengungkapkan bahwa pihaknya akan membawa hasil sidang tersebut ke rapat permusyawartan hakim untuk diputuskan langkah selanjutnya.
Hingga saat ini, MK menerima sembilan permohonan uji formil UU IKN. Dengan berakhirnya sidang hari ini, artinya seluruh permohonan uji formil memasuki babak baru, yaitu pembuktian. Untuk perkara nomor 25/2022 dan 34/2022, pemerintah dan DPR sudah memberikan keterangan pada sidang yang digelar sebelum hari raya Idul Fitri berlangsung. Pemohon perkara 25/2022 juga sudah menyampaikan keterangan ahli secara tertulis, yaitu dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti, dan akan mengajukan keterangan tertulis dari dua ahli lainnya. Sementara untuk perkara 34/2022, pemohon akan menghadapkan seorang saksi yang akan didengar keterangannya Kamis ini.
Setelah itu, majelis hakim akan memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mengajukan ahli dan saksi untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan pemohon.