Mayoritas Fraksi di DPR Desak Pemerintah Patuhi Putusan MK
Jika pemerintah mengabaikan putusan MK, pelantikan penjabat kepala daerah akan dinilai cacat hukum. Seharusnya pemerintah meminimalisir kebijakan-kebijakan yang rentan terhadap tuntutan di kemudian hari.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas fraksi di DPR mendesak pemerintah agar mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan untuk membentuk aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah. Jika pemerintah mengabaikan putusan tersebut, pelantikan penjabat akan dinilai cacat hukum. Pemerintah juga dinilai tidak taat asas dan tidak patuh pada hukum.
Suara desakan kepada pemerintah untuk mematuhi putusan MK itu sebelumnya telah disampaikan oleh sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi di DPR. Fraksi-fraksi itu meliputi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus saat dihubungi di Jakarta, Senin (9/5/2022), mengatakan, fraksinya turut mendesak pemerintah, secara khusus Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk menjalankan perintah MK. Menurut dia, keputusan MK tersebut sudah mengikat dan harus dilaksanakan secepatnya, mengingat gelombang pertama pengisian penjabat tinggal sepekan lagi.
”Pemerintah harusnya memberikan teladan. Sebagai negara hukum, pemerintah harus taat asas dan taat hukum. Apa yang ditetapkan dan yang diputuskan oleh MK harus dilaksankan, tidak untuk didiskusikan dan harus dilaksakanan sesuai keputusan-keputusan itu,” ujar Guspardi.
Guspardi mengingatkan, kepatuhan Kemendagri untuk menjalankan putusan MK itu sangat penting. Sebab, Indonesia adalah negara hukum. Lebih dari itu, jika pemerintah sudah melanggar ketentuan apa yang ditetapkan oleh MK, dikhawatirkan hal ini akan menjadi preseden buruk dan akan menjadi contoh yang tidak bagi bagi masyarakat.
”Jadi, ini adalah ujian bagi pemerintah. Kalau saja pemerintah tidak melaksanakan putusan MK, bagaimana pula dengan masyarakat untuk melakukan itu? Pemerintah saja sudah mempertontonkan sesuatu yang tidak baik. Ini tentu tidak elok bagi sebuah negara yang demokratis, negara hukum,” tutur Guspardi.
Kepatuhan Kemendagri untuk menjalankan putusan MK itu sangat penting. Sebab, Indonesia adalah negara hukum.
Namun, jika pemerintah tetap abai dan melantik penjabat tanpa mematuhi putusan MK, akan terjadi cacat hukum dalam proses penunjukan itu. Masyarakat bisa mengajukan uji materi terhadap aturan yang dijadikan dasar penunjukan penjabat tersebut. Selain itu, keputusan yang diambil oleh penjabat itu juga bisa digugat.
”Karena itu, seharusnya pemerintah berupaya untuk meminimalkan kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan yang rentan terhadap tuntutan-tuntutan di kemudian hari. Itu harus menjadi pembelajaran dan menjadi perhatian bagi pemerintah. Jangan sampai ini menambah beban bagi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan hukum,” kata Guspardi.
Desakan juga muncul dari Fraksi Demokrat. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Ia menyampaikan, Kemendagri sebaiknya berhati-hati dalam proses penentuan 272 penjabat kepala daerah di tahun 2022 dan 2023 ini.
”Perlu ada parameter yang jelas dan transparan. Bagaimanapun, ini merupakan isu yang sangat sensitif dan bisa mengundang kekhawatiran adanya kepentingan politik bahkan intervensi kekuasaan untuk kepentingan Pemilu 2024,” ujar Herzaky.
Kemendagri sebaiknya berhati-hati dalam proses penentuan 272 penjabat kepala daerah di tahun 2022 dan 2023 ini.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah sebaiknya tidak menabrak aturan hukum yang berlaku. Pemerintah juga perlu melakukan konsultasi secara intens dengan parlemen terkait penerapan aturan hukum yang ada. Apalagi, masa jabatan penjabat nanti bukan hanya 1-2 bulan, melainkan bisa mencapai 2-3 tahun.
”Suatu hal yang sebenarnya hampir tidak pernah terjadi di negara demokrasi. Tentu harapan kita proses ini bisa berjalan dengan lancar, termasuk proses transisinya, agar pemerintahan di 272 kabupatan/kota serta provinsi pada tahun 2022 dan 2023 ini tetap bisa berlangsung dengan baik,” tutur Herzaky.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Doli Kurnia Tandjung mengatakan, aturan teknis harus disusun secara serius karena penunjukan 271 penjabat kepala daerah pada 2022-2023 sangat sensitif. Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang juga meminta Kemendagri untuk tunduk terhadap putusan MK.
Pemerintah, tutur Junimart, wajib menerbitkan aturan turunan dari undang-undang. Ia mengaku beberapa kali mengingatkan Menteri Dalam Negeri agar menyusun regulasi turunan dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Misalnya, tahapan dan mekanisme detail mengenai aparatur sipil negara (ASN) yang nanti akan ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Semua itu, menurut dia, harus melalui tahapan yang transparan, akuntabel, dan demokratis.