Jalan Panjang Perempuan Meraih Kursi DPR
Urutan atas pada daftar caleg cukup menentukan keterpilihan. Untuk itu, dibutuhkan dukungan parpol agar caleg perempuan tempati urutan itu. Harapannya, 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen bisa terpenuhi.
Pertemuan di kediaman Gusti Kanjeng Ratu Hemas di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (22/4/2022), sambil berbuka puasa beraura positif. Pertemuan puluhan perempuan lintas partai politik, organisasi, dan individu secara daring dan luring itu menyepakati agenda mendorong keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.
Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 juga meningkatkan percaya diri bahwa kerja bersama bisa dilakukan dan memberi hasil.
Pertemuan Maju Perempuan Indonesia (MPI) di kediaman Wakil Koordinator MPI Edriana Nurdin dari Partai Gerindra, Kamis (28/4) juga membahas topik yang sama. Kelompok lintas partai, gerakan perempuan, dan individu yang dikoordinatori Lena Maryana Mukti dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini membahas strategi meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga publik lain. Revisi UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga juga masuk dalam agenda pembahasan.
Mereka yang hadir di pertemuan MPI tersebut, sebagian hadir secara daring maupun luring pada pertemuan di kediaman Hemas.
Berbagai lobi mendorong duduknya masing-masing satu perempuan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum dan anggota Badan Pengawas Pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa menempatkan satu perempuan saja di masing-masing lembaga tersebut bukan pekerjaan mudah.
Upaya menempatkan perempuan di dalam organisasi politik, lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Setelah tahun 1999 keterlibatan organisasi masyarakat sipil, terutama perempuan yang memiliki kesadaran kesetaraan, menonjol dalam mendorong keterwakilan perempuan. Perjuangan terutama untuk adanya tindakan khusus sementara (affirmative action) karena ketertinggalan perempuan akibat sistem politik dan praktik politik tidak memberi kesempatan setara.
Tindakan khusus sementara ini berhasil menaikkan keterwakilan perempuan, meski belum mencapai jumlah ideal 30 persen. Pemilu 2019 berhasil menempatkan 120 perempuan dari total 575 kursi DPR atau 20,8 persen. Ini adalah jumlah tertinggi yang berhasil dicapai sejauh ini.
Berbagai lobi mendorong duduknya masing-masing satu perempuan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum dan anggota Badan Pengawas Pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa menempatkan satu perempuan saja di masing-masing lembaga tersebut bukan pekerjaan mudah.
Baca juga: Bakal Caleg Perempuan Bukan Sekadar Syarat Pelengkap
Partai menentukan
Gerakan perempuan Indonesia pasacareformasi 1998 memperlihatkan hal menarik, yaitu insiatif kuat masyarakat sipil dengan tidak membatasi diri pada partai politik dan golongan. Keterbelahan yang terjadi saat Pemilu 2019 berhasil cair dengan agenda bersama, yaitu meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga pemerintahan dan lembaga publik.
“Memperjuangkan kepentingan perempuan memerlukan upaya bersama untuk memberi hasil seperti pada pengesahan UU TPKS,” tandas Hemas.
Hemas mengungkapkan, ingin lebih banyak lagi perempuan berkualitas berada di lembaga negara pengambil keputusan di parpol, ekskutif, yudikatif, dan legislatif.
Dalam praktiknya tidak mudah mendorong naiknya jumlah perempuan di parlemen. Meskipun memperebutkan kursi di parlemen juga tidak mudah bagi laki-laki, tetapi ada tantangan khas yang dialami perempuan. Kepala Badan Media Komite Pemenangan Pemilu Nasional Partai Amanat Nasional Dian Islamiyati Fatwa merasakan kesulitan merekrut perempuan masuk ke parpol karena masih melihat politik sebagai dunia laki-laki.
Tantangan lain, peran ganda perempuan di rumah dan di luar rumah. Sistem yang mendukung di dalam keluarga inti dan keluarga, di parpol, dan di masyarakat berperan penting dalam keterlibatan perempuan di politik. “Perempuan dari keluarga yang biasa terlibat dalam politik, lebih tertarik terjun ke politik. Keluarga lebih siap mendukung,” tutur Dian.
Kendala tak kalah berat adalah biaya kampanye dan mengadakan saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Saat mencalonkan diri sebagai calon legislatif dari PAN di Jakarta pada Pemilu 2019, Dian mengalami suaranya hilang dalam penghitungan di TPS akibat kekurangan saksi. Akibatnya, ia tak berhasil pada pemilu kala itu. Namun, Dian tetap memiliki rencana kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Syafa Illiyin dari PPP mencoba sejak Pemilu 2004 untuk duduk di DPR dan belum berhasil. Pada Pemilu 2019 dia menjadi caleg DPR untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur 7 meliputi Pacitan, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek. Kesulitan pertama adalah memobilisasi diri karena dapil begitu luas.
Baca juga : Implementasi Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Belum Maksimal
Meskipun ada peraturan Komisi Pemilihan Umum bahwa caleg hanya boleh mengeluarkan anggaran Rp 15.000 untuk tiap calon pemilih saat kampanye, praktiknya banyak caleg menyediakan lebih. “Warga di desa hanya 20-an persen yang mengenal gadget (gawai), selebihnya harus didatangi tatap muka,” tutur Illiyin.
Situasi ini berbeda dari strategi Dian Fatwa yang menggunakan media sosial seperti Tik Tok untuk menjangkau calon pemilih.
Menurut Illiyin, saat bertemu calon pemilih pada akhirnya pertanyaan mereka, selain seputar visi dan misi partai, adalah apakah caleg membawa sesuatu yang konkret. “Permintaan itu semakin jelas, terutama dari tokoh masyarakat saat mendekati hari pemungutan suara. Di perkotaan calon pemilih masih tertarik berdiskusi tentang program partai. Di perdesaan itu tidak terjadi,” kata Illiyin.
Untuk mendanai saksi dan menemui calon pemilih, Illiyin menyebut, harus menyiapkan dana Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar. Meskipun parpol membantu dana kampanye, tetapi jumlahnya terbatas. Itu pun biasanya dalam bentuk cendera mata. Sementara itu, calon pemilih mengharapkan lebih.
Eva Sundari, anggota DPR RI tahun 2004 hingga 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Direktur Sarinah Institute, ini berpendapat parpol berperan penting membantu meningkatkan jumlah perempuan di DPR. Hal itu juga diungkapkan Dian dan Illiyin.
Apalagi pemilih umumnya memilih caleg pada nomor urut 1 hingga paling jauh nomor 3. Sistem pemilu daftar terbuka dengan kewajiban menempatkan satu perempuan dari tiap tiga calon, secara teori akan memperbesar peluang perempuan terpilih bila perempuan berada pada nomor urut 1 sampai 3.
Penempatan nomor urut caleg merupakan kewenangan parpol, karena itu peran parpol sangat besar. Nomor urut atas pada umumnya diperuntukkan bagi caleg yang menjadi pengurus partai. Karena itu, harus dibuka jalan agar perempuan dapat duduk dalam kepengurusan partai. “Perempuan menghadapi problem struktural, kuncinya pada diskresi parpol,” tambah Eva.
Tantangan perempuan pada Pemilu 2024 akan berat dengan sistem daftar terbuka; bila partai mendapat kursi maka kursi diberikan kepada caleg dengan suara terbanyak. “Bila tidak dibantu, pencapaian jumlah minimal 30 persen kursi diisi perempuan sulit didekati. PDI-P dapat mengambil peran meningkatkan jumlah perempuan di DPR,” tambah Eva.
Penempatan nomor urut caleg merupakan kewenangan parpol, karena itu peran parpol sangat besar.
Baca juga : Implementasi Kebijakan Afirmasi Perempuan Terganjal Sistem Pemilu
Mengapa 30 persen
Penelitian di berbagai negara memperlihatkan suatu kebijakan dapat menguntungkan kelompok yang tertinggal bila minimal terdapat 30 persen anggota dalam lembaga pengambil keputusan mewakili kepentingan kelompok tersebut.
Rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif menyebabkan rendahnya kebijakan responsif jender. Kebijakan responsif jender bukan hanya untuk perempuan, tetapi inklusif bagi semua. Kebijakan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan akses berbeda antara perempuan dan laki-laki sehingga setiap orang dapat menikmati dampak kebijakan secara setara dan adil.
Perempuan sebagai separuh penduduk merupakan potensi ekonomi, sosial, politik yang menentukan kemajuan suatu negara. Ketertinggalan perempuan adalah kerugian bagi negara.
Namun, jumlah saja tidak cukup. Statistik menunjukkan, semakin tinggi posisi dalam suatu lembaga di mana kebijakan penting diambil, semakin sedikit jumlah perempuan. Karena itu perempuan harus mendapat akses untuk duduk pada kepengurusan parpol serta pimpinan fraksi, komisi, panitia kerja, dan lembaga kelengkapan DPR/DPRD.
Meningkatkan kualitas kepemimpinan perempuan karena itu menjadi tantangan. Sejarah menunjukkan, perempuan bisa menjadi pemimpin. Dukungan dari perempuan lintas partai dan kelompok akan memudahkan dan mempercepat capaian kesetaraan.