Implementasi Kebijakan Afirmasi Perempuan Terganjal Sistem Pemilu
Undang-undang telah mengamanatkan kuota 30 persen perempuan di kepengurusan partai politik ataupun daftar caleg untuk pemilu. Namun, caleg perempuan yang lolos ke parlemen masih jauh di bawah 30 persen.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan afirmasi perempuan dalam politik masih terganjal sistem pemilu yang dinilai liberal. Kendati sejumlah undang-undang sudah mengatur kuota minimal 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan anggota legislatif, kenyataannya keterwakilan di parlemen masih jauh di bawah angka itu.
Keterwakilan perempuan di DPR memang cenderung terus meningkat. Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada 118 perempuan dari total 575 anggota DPR 2019-2024. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya 97 perempuan dari total 560 anggota DPR. Jika dihitung, persentase anggota DPR perempuan saat ini 20,5 persen. Masih jauh di bawah angka 30 persen keterwakilan perempuan.
Hal itu ditengarai sebagai akibat dari sistem pemilu yang dianggap oleh sebagian kalangan liberal dan predatorik. Dengan sistem proporsional terbuka, perolehan kursi parlemen ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Akibatnya, tak hanya calon anggota legislatif (caleg) perempuan, pimpinan parpol juga banyak yang tersingkir. Tidak sedikit pula pengurus parpol dengan jabatan strategis gagal melenggang ke Senayan.
”Kalau bicara representasi, sudahlah, politik kita memang kejam. Lebih kejam dari ibu tiri. Dalam kompetisinya maksud saya. Banyak pengurus partai, petinggi partai yang tidak lolos,” ujar Willy Aditya, politisi Partai Nasdem, dalam diskusi bertema ”Afirmasi Perempuan dalam Reformasi Partai Politik” secara daring Minggu (19/9/2021).
Anggota Komisi XI DPR itu menambahkan, sistem pemilu yang ada saat ini lebih banyak menghasilkan orang-orang kaya masuk parlemen dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas. Sebagian perempuan caleg yang lolos ke DPR merupakan kerabat kepala daerah atau bagian dari dinasti politik. Anggota DPR termuda, Hillary Brigitta Lasut, yang baru berusia 23 tahun salah satunya. ”Ibunya bupati. Bapaknya bupati. Rata-rata dari 20 orang (perempuan anggota DPR dari Nasdem) kerabat dari kepala daerah. Itu keniscayaan,” ujarnya.
Sebenarnya, menurut Willy, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah mengamanatkan komposisi pengurus parpol, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, harus memenuhi kuota 30 persen perempuan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bisa mencoret partai tersebut jika persyaratan ini tidak terpenuhi saat verifikasi pendaftaran partai.
Begitu pula dengan pencalonan dalam pemilu legislatif. UU No 7/2017 tentang Pemilu juga mengatur syarat keterwakilan perempuan 30 persen dari total caleg yang didaftarkan parpol. ”Artinya, untuk hal-hal yang bersifat administratif, tidak ada problem,” kata Willy.
Peneliti Perludem, Heroik Pratama, mengatakan, kebijakan untuk mendorong afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen sudah diterapkan sejak Pemilu 2004. Sebanyak 30 persen kuota pencalonan anggota legislatif harus diisi perempuan. Namun, untuk mewujudkan representasi 30 persen perempuan di kursi parlemen, bukan perkara mudah.
Wacana untuk memberi alokasi kursi secara khusus untuk kaum hawa ini pernah berkembang dalam revisi UU Pemilu. Praktik pemberian alokasi khusus untuk perempuan mengisi kursi parlemen jamak diterapkan di sejumlah negara di Skandinavia. Namun, wacana itu tak lagi dibahas sehingga model afirmasi yang ada pun tidak berubah.
Saat ini ada enam provinsi tanpa caleg perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR dalam Pemilu 2019, yakni Kepulauan Riau, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Papua Barat. Adapun provinsi dengan tingkat keterwakilan perempuan tinggi adalah Bengkulu (75 persen), Sulawesi Utara (66 persen), dan Maluku Utara (66 persen).
Isu yang terbatas
Terkait dengan masalah representasi perempuan tersebut, Willy mengkritik representasi perempuan itu saat ini masih dipandang sebagai sebuah posisi, belum beriorentasi pada kebijakan. Padahal, posisi hanyalah stepping stone atau batu pijakan untuk merealisasikan ide-ide besar yang hendak diperjuangkan.
”Ketika sudah menduduki jabatan (di parlemen), seharusnya tidak advokasi modelnya (model perjuangannya), tetapi struggle. Perjuangkan kebijakan. Jadi, prosesnya adalah kaukus perempuan itu tidak hanya sebagai bentuk representasi, tetapi juga sebuah political bargain. Itu yang harus diletakkan. Saya belum melihat hal itu, termasuk di DPR. Dia (kaukus perempuan) lebih pada eksistensi dan representasi. Masih di level itu,” ujarnya.
Ia pun menyarankan perlunya perluasan isu yang diperjuangkan. Isu yang diangkat masih terbatas, misalnya pada masalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Padahal, banyak kebijakan yang dapat diperjuangkan untuk kemudian dibuat menjadi sebuah gerakan politik yang signifikan. Misalnya, dalam hal anggaran, pertanyaan apakah anggaran yang ada sudah berbasis jender, khususnya di tengah-tengah pandemi dan krisis multidimensi saat ini.
Kalau bicara representasi, sudahlah, politik kita memang kejam. Lebih kejam dari ibu tiri. Dalam kompetisinya maksud saya. Banyak pengurus partai, petinggi partai yang tidak lolos.
Sementara itu, anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Okiviana, mengatakan, banyak hal yang telah dikerjakan sebagai anggota Dewan. Ia aktif menyuarakan kepentingan perempuan di berbagai forum, mulai dari rapat komisi, paripurna, hingga panitia khusus pembentukan peraturan daerah. Ia pun berkomunikasi langsung dengan kepala dinas-kepala dinas untuk kepentingan advokasi perempuan.
”Kami juga melakukan pengawalah perda kabupaten layak anak. Salah satu amanatnya adalah penyediaan ruang laktasi di kantor. Saat ini ruang laktasi belum banyak, padahal itu penting untuk perempuan ketika mengajak anak ke kantor atau pumping ASI,” ujarnya.
Begitu pula dalam hal penganggaran. Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan banyak anak kehilangan orangtua. Saat ini, Pemkab Sukoharjo mulai memberikan perhatian mengenai persoalan tersebut. Okiviana yang juga aktif di Fatayat NU berkomitmen mengawal kebijakan perlindungan perempuan dan anak.