Hindari Penyimpangan Penunjukan Penjabat Kepala Daerah, Kemendagri Diingatkan Segera Bentuk Aturan Teknis
Meskipun sudah ada putusan MK soal pengisian penjabat daerah, Kemendagri tetap bersikukuh terapkan pola lama tanpa mau susun peraturan teknisnya. Pola lama ini akan menutup ruang demokrasi dan buka ruang transaksional.
—
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, secara khusus Kementerian Dalam Negeri, diingatkan agar tidak melanjutkan pola yang lama dalam penunjukan penjabat kepala daerah karena jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sejumlah usulan pun muncul. Penunjukan penjabat diharapkan melalui tim panitia seleksi yang independen serta membuka ruang pelibatan publik. Dengan begitu, tertutup ruang transaksional politik.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/5/2022), mengatakan, perintah MK wajib dilaksankan demi tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, dengan dilaksanakannya perintah MK, diyakini legitimasi para penjabat akan semakin kuat.
”Jadi, jangan teruskan dengan pola tertutup karena hal itu jauh sekali dari semangat kita dalam mengelola pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan yang baik, kan, harus transparan. Jangan business as usual,” ujar Djohermansyah.
Sebelumnya, Kemendagri telah mengirim surat kepada para gubernur. Dalam surat itu disebutkan, berdasarkan Pasal 201 Ayat (1), Ayat (9), dan Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah ditegaskan bahwa untuk mengisi kekosongan bupati/wali kota diangkat penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Gubernur diminta mengusulkan tiga nama calon penjabat bupati/wali kota untuk bahan pertimbangan Mendagri menetapkan penjabat bupati/wali kota. Usulan itu paling lambat disampaikan 30 hari kerja sebelum berakhirnya masa jabatan bupati/wali kota.
Jangan teruskan dengan pola tertutup karena hal itu jauh sekali dari semangat kita dalam mengelola pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan yang baik, kan, harus transparan. Jangan business as usual.
Baca juga: Ratusan Daerah Dipimpin Pejabat Sementara
Djohermansyah sudah menduga Kemendagri tak akan mematuhi perintah MK karena mereka sudah lebih dulu menyurati para gubernur. Padahal, jika Kemendagri ingin mematuhi perintah MK, ia meyakini, para gubernur itu akan memahami situasinya karena ini menyangkut putusan MK.
Lagi pula, lanjut Djohermansyah, jika Kemendagri tidak mematuhi perintah MK, ini justru akan memperburuk relasi antara pelaksana konstitusi, yakni presiden sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) dan MK sebagai penjaga konstitusi. ”Jangan sampai presiden dianggap mengabaikan konstitusi,” katanya.
Presiden sebagai pejabat yang berwenang mengangkat penjabat mesti bertanggung jawab apabila penjabat dari ASN nanti gagal. Misalnya, penjabat itu terlibat kasus korupsi atau skandal kecurangan dalam pemilu dan pilkada. Ini akibat proses rekrutmen penjabat yang masih menggunakan pola lama serta tidak adanya proses pendidikan dan pelatihan (diklat) sebelum para penjabat kepala daerah ASN bertugas.
Jika Kemendagri tidak mematuhi perintah MK, ini justru akan memperburuk relasi antara pelaksana konstitusi, yakni presiden sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) dan MK sebagai penjaga konstitusi.
Lebih jauh lagi, dari segi demokrasi, lanjut nilai demokrasi bisa menurun. Sebab, prinsip penegakan hukum (rule of law) tidak ditunaikan oleh pihak eksekutif sendiri.
Tim panitia seleksi
Djohermansyah menyampaikan, penunjukan penjabat kepala daerah haruslah mengedepankan prinsip demokrasi dan transparansi dalam birokrasi. Di dalam penunjukannya tidak boleh dibuka ruang proses politik sedikit pun.
Untuk mengedepankan prinsip demokrasi itu, dibukalah ruang kompetisi. Kompetisi ini merupakan salah satu prinsip demokrasi. Untuk membuka ruang kompetisi ini, perlu dibentuk tim panitia seleksi (pansel) yang independen. Pansel di provinsi untuk menyeleksi calon penjabat bupati/wali kota. Pansel di tingkat nasional untuk menyeleksi calon penjabat gubernur.
Untuk mengedepankan prinsip demokrasi itu, dibukalah ruang kompetisi. Kompetisi ini merupakan salah satu prinsip demokrasi. Untuk membuka ruang kompetisi ini, perlu dibentuk tim panitia seleksi (pansel) yang independen.
Selanjutnya, para ASN terbaik yang masuk golongan jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya maupun pratama, mereka bisa melamar secara terbuka dan transparan. Adapun, JPT madya untuk calon penjabat gubernur, sedangkan JPT pratama untuk calon penjabat bupati/wali kota.
Dalam proses seleksi itu, dipilih tiga nama terbaik. Sebelum difinalkan, tiga nama itu harus melalui uji publik. Publik bebas memberikan masukan dan saran atas tiga nama yang ada. Catatan-catatan itu harus disertakan oleh gubernur saat ingin menyerahkan ketiga nama calon kepada mendagri. Begitu pula mendagri harus menyertakan catatan-catatan itu kepada presiden sebagai bahan pertimbangan.
”Jadi, itu menjadi pertimbangan dari pejabat yang berwenang dalam pengambilan keputusan, baik mendagri maupun presiden. Dengan demikian, perintah MK dilaksankaan. Prinsip demokrasi didapatkan lewat proses kompetisi, dan prinsip transparansi juga didapatkan karena ada keterbukaan dan pelibatan publik,” ucap Djohermansyah.
Kemudian, diatur pula, mekanisme kontrol. Kontrol dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena ini menyangkut dengan pejabat struktural yang akan ditugaskan sebagai penjabat kepala daerah. “Dari sini, ruang transaksional dan politik, serta ruang permainan di dalam lingkup kekuasaan eksekutif bisa dicegah,” katanya.
Karena itu, untuk mematuhi perintah MK, sebenarnya pemerintah hanya perlu menyusun satu aturan turunan berupa peraturan pemerintah, yakni berisi persyaratan, mekanisme seleksi lewat panitia seleksi, dan pelaksanaan diklat orientasi kepemimpinan kepala daerah.
”Nah, kalau enggak diatur di PP, enggak akan memadai. Kan, semua itu harus diatur lengkap, bukan syarat-syarat yang sepenggal-penggal seperti yang ada di peraturan menteri dalam negeri,” kata Djohermansyah.
Kalau enggak diatur di PP, enggak akan memadai. Kan, semua itu harus diatur lengkap, bukan syarat-syarat yang sepenggal-penggal seperti yang ada di peraturan menteri dalam negeri.
Dengan waktu yang semakin mepet, Kemendagri bisa mengangkat sekretaris daerah terlebih dahulu menjadi pelaksana harian kepala daerah, sembari menyusun PP itu. Dengan begitu, tak ada kekosongan pemerintahan.
Bebas dari kepentingan politik
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Nikson Nababan sependapat dengan usulan Djohermansyah. Seleksi bagi calon penjabat kepala daerah dibutuhkan untuk menutup ruang permainan politik.
Sebab, Nikson melihat, gubernur merupakan jabatan politik. Dari sini, ia menduga, calon penjabat yang diusulkan oleh gubernur juga tidak terlepas dalam konteks politik. ”Patut diduga penjabat yang dipilih nanti adalah orang-orang dekat gubernur atau dibawa partai tertentu. Bahaya sekali kalau penjabat ini dimainkan juga untuk Pemilu 2024,” ungkapnya.
Patut diduga penjabat yang dipilih nanti adalah orang-orang dekat gubernur atau dibawa partai tertentu. Bahaya sekali kalau penjabat ini dimainkan juga untuk Pemilu 2024.
Untuk itu, ia berharap, Kemendagri dapat segera menyusun aturan pelaksana terkait penunjukan penjabat kepala daerah sesuai yang diperintahkan MK. Harapannya, persoalan ini tidak berlarut-larut dan jangan sampai mengganggu jalannya pemerintahan ke depan.
Ketua Umum Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) Lukman Said juga setuju dengan adanya seleksi yang ketat dan transparan dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Dengan begitu, penjabat yang terpilih bisa bekerja secara profesional dan terbebas dari kepentingan politik. Hal ini penting karena mereka akan menjabat dalam waktu yang cukup lama atau sekitar dua tahun.
Baca juga: Kedepankan Sistem Merit dalam Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Di samping itu, ia berharap, DPRD juga dapat dilibatkan dalam proses penunjukan penjabat bupati/wali kota. Sebelum tiga nama diusulkan ke Mendagri, setidaknya mereka diberikan waktu untuk memaparkan visi-misi terlebih dahulu di depan anggota Dewan. Setelah itu, DPRD juga akan memberikan catatan terhadap nama-nama itu.
Ia mengingatkan bahwa DPRD juga merupakan perwakilan rakyat di daerah. Namun sayangnya, suara dari anggota DPRD, secara khusus DPRD kabupaten, tidak pernah ditampung oleh gubernur dalam pemilihan penjabat kepala daerah bupati. Padahal, penjabat itu nantinya menjadi mitra kerja DPRD.
”Bayangkan, kami mau jadi mitra kerja, tetapi kami tidak tahu asal-usulnya (penjabat) dari mana. Nanti pasti akan kacau balau, pembahasan anggaran dan lain-lain. Apalagi, kalau penjabat itu diketahui sudah ada muatan politik partai tertentu, wah bisa konflik,” kata Lukman.