Kedepankan Sistem Merit dalam Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Seleksi untuk pengisian penjabat kepala daerah perlu dilakukan untuk menjamin orang-orang yang menjadi penjabat adalah orang-orang terbaik dan dapat menjamin netralitas ASN saat Pemilu 2024.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Aparatur Sipil Negara mengingatkan Kementerian Dalam Negeri agar pengisian posisi penjabat kepala daerah mengedepankan sistem merit. Dengan begitu, penjabat yang terpilih berkualitas dan bebas dari berbagai kepentingan. Kekhawatiran mengenai netralitas penjabat, terutama mendekati Pemilu 2024, pun bisa diredam.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/1/2022), mengatakan, penerapan sistem merit dalam pengisian penjabat kepala daerah tak bisa ditawar lagi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni berbasis pada kompetensi dan kinerja.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebagai aparatur sipil negara, para penjabat kepala daerah harus netral dan tidak berpihak. Mereka harus mampu menjaga penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan dengan baik dan menciptakan birokrasi yang lebih kondusif.
”Tidak boleh sampai terbawa pada kekuatan partai politik tertentu. Jangan sampa kesannya penjabat itu ASN, tetapi kemudian ternyata mereka sudah dititipi pesan-pesan oleh partai. Ini, kan, bahaya. Mereka harus melayani warga secara adil dan tidak diskriminatif,” ujar Agus.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 101 kepala daerah dan wakil kepala daerah akan berakhir masa jabatannya pada 2022. Sementara pada 2023 akan ada 170 kepala dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga kepala daerah baru terpilih dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024.
Untuk posisi penjabat bupati/wali kota, tiga nama diusulkan oleh gubernur untuk kemudian dipilih dan ditetapkan Menteri Dalam Negeri. Adapun untuk posisi penjabat gubernur, Mendagri yang mengajukan sejumlah usulan nama untuk diputuskan oleh Presiden.
Menurut Agus, sebenarnya, jika penjabat kepala daerah tidak dikooptasi oleh kepentingan tertentu, mereka akan mampu mempersiapkan Pemilu 2024 dengan baik. Namun, jika penjabat itu sudah dikooptasi oleh kepentingan tertentu, ini akan merusak birokrasi.
”Birokrasi di daerah malah makin kacau karena hanya akan meladeni kepentingan politik itu. Padahal, birokrasi harus bebas dari kekuatan politik,” ucap Agus.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, penjabat kepala daerah yang dipilih nantinya harus berpihak kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Selain itu, penjabat kepala daerah harus memahami sistem politik Indonesia sehingga dapat menghasilkan keputusan politik, khususnya melalui kebijakan alokasi dan distribusi anggaran yang berkeadilan, membawa kemajuan bagi daerahnya, serta memperkuat gotong royong nasional dalam mengatasi pandemi.
”Yang terpenting penjabat kepala daerah dipilih dengan memperhatikan kompetensinya di dalam memimpin sehingga memerhatikan betul rekam jejak kepemimpinannya dan kemampuan membawa perubahan secara kolektif dan sistemik bagi kemajuan daerahnya,” tutur Hasto.
Ia menyadari, penetapan penjabat kepala daerah tentu tidak terlepas dari berbagai tarik-menarik kepentingan. Namun, selama mekanisme, norma, dan pengambilan keputusan yang diambil telah melalui pertimbangan yang matang, maka berbagai tarik menarik kepentingan tersebut bisa diredam untuk mencari penjabat kepala daerah yang mumpuni.
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menilai, kekhawatiran mengenai netralitas penjabat kepala daerah adalah hal yang wajar. Sebab, mereka memiliki peran strategis dalam menjalankan pembangunan dan melakukan fungsi-fungsi anggaran yang bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu. Bahkan, problem netralitas aparatur sipil negara selalu menjadi perhatian dalam setiap pemilu dan pilkada.
”Jangan sampai penjabat kepala daerah yang dipilih dan tunduk pada atasan mengambil kebijakan yang di satu sisi menguntungkan satu kelompok, namun di sisi lain merugikan kelompok lain,” ujarnya.
Merujuk data rekapitulasi penanganan pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020, ada 2.007 ASN yang telah diproses oleh KASN. Dari jumlah tersebut, 79,1 persen atau 1.588 ASN terbukti melanggar dan direkomendasikan oleh KASN untuk dijatuhi sanksi, sebanyak 15,5 persen atau 311 ASN tidak terbukti melanggar, dan 5,4 persen atau 108 ASN dokumennya tidak lengkap.
Adapun dari survei yang pernah dilakukan KASN terungkap, 62,7 persen responden setuju bahwa kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian menyebabkan ASN sulit bersikap netral dalam pilkada. Pihak-pihak yang paling memengaruhi ASN untuk melanggar netralitas, di antaranyatim sukses (32 persen), atasan ASN (28 persen), dan pasangan calon (28 persen).
Oleh sebab itu, Demokrat meminta pengisian penjabat kepala daerah dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Mereka yang memimpin mesti orang-orang yang netral dan tidak memiliki kepentingan politik tertentu sehingga tidak ada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Perpanjangan masa jabatan kepala daerah pun patut dipertimbangkan.
”Jangan ada orang yang mendadak menjadi penjabat kepala daerah yang tidak sesuai aturan perundang-undangan. Kalau ada perubahan yang menyimpang dari aturan, patut dikhawatirkan ada tendensi kuat untuk kepentingan kelompok tertentu,” tutur Herzaky.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, ada dua peran sentral kepala daerah berkaitan dalam isu netralitas, yakni politisasi birokrasi dan penggunaan anggaran yang menguntungkan salah satu kelompok tertentu.
Menurut dia, politisasi birokrasi oleh penjabat kepala daerah cenderung tidak sekuat jika dilakukan oleh petahana. Potensi pelanggaran netralitas justru lebih kuat pada penggunaan anggaran yang bisa menguntungkan kelompok tertentu.
Untuk itu, seleksi perlu dilakukan untuk menjamin orang-orang yang menjadi penjabat kepala daerah adalah orang-orang terbaik dan terhindar dari isu netralitas. Tim seleksi juga harus melibatkan berbagai kementerian, lembaga, dan masyarakat sehingga prosesnya dilakukan secara terbuka agar publik tidak berspekulasi dugaan-dugaan tertentu.
”Untuk mencegah penyalahgunaan anggaran, publik mesti ikut mengawasi penganggaran dan penggunaannya mesti menggunakan sistem pemerintahan digital. Keterbukaan harus dilakukan sejak awal penganggaran, implementasi, hingga audit,” ucap Arya.