DPR Monitor Sikap Pemerintah atas Putusan MK Terkait Penjabat Kepala Daerah
Putusan MK yang meminta pemerintah membuat peraturan teknis untuk pengisian penjabat kepala daerah harus ditindaklanjuti dengan segera. Bulan depan, sudah ada puluhan daerah yang harus dipimpin penjabat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Sepekan setelah putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait penjabat kepala daerah, belum jelas sikap pemerintah atas putusan tersebut. Untuk memastikan pemerintah mematuhi putusan itu, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat akan mengawalnya. Putusan MK baik untuk diikuti oleh pemerintah karena mampu melahirkan penjabat kepala daerah yang kapabel. Bukan hanya itu, dengan mengikuti putusan MK juga bisa mencegah penjabat terpilih titipan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (28/4/2022), mengatakan, penunjukan 271 kepala daerah pada 2022 dan 2023 oleh pemerintah pusat sangat sensitif. Selain jumlahnya sangat banyak dan masa jabatannya cukup lama atau hingga terpilih kepala-wakil kepala daerah definitif hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Nasional 2024, para penjabat akan menjabat di tahun politik saat tahapan pemilu dan pilkada serentak pada 2024 digelar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Oleh karena itu, harus diatur secara serius, apalagi sudah ada amanat dari Mahkamah Konstitusi. Maka memang harus dibuat peraturan yang lebih teknis supaya bisa melahirkan penjabat kepala daerah yang independen, kapabel, dan memiliki komunikasi politik yang baik,” katanya.
Dalam pertimbangan putusan uji materi terhadap pasal yang mengatur penjabat kepala daerah di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Rabu (20/4/2022), MK memerintahkan pemerintah menerbitkan peraturan teknis yang mengatur mekanisme pengisian penjabat kepala daerah. MK mengingatkan pentingnya pengisian penjabat dilakukan secara demokratis. MK juga menyoroti bahwa anggota TNI-Polri aktif tidak bisa menjadi penjabat kepala daerah.
Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada 2022, ada 101 daerah yang kepala-wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya, sedangkan di 2023 ada 171 daerah. Daerah-daerah itu selanjutnya akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah hingga 2024. Gelombang pertama kepemimpinan penjabat kepala daerah akan dimulai Mei 2022 yang mencakup 5 provinsi, 6 kota, dan 37 kabupaten.
Menurut Doli, penjabat kepala daerah harus independen. Mereka yang ditunjuk hanya fokus untuk melanjutkan pembangunan daerah tanpa membawa kepentingan politik dari kelompok maupun partai politik mana pun. Selain itu, penjabat harus kapabel sehingga bisa melanjutkan pembangunan daerah. Terakhir, kemampuan komunikasi politik yang baik mesti dimiliki penjabat karena mereka harus berkomunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
”Secara psikologi politik, DPRD bisa menganggap penjabat kurang legitimate karena tidak dipilih secara langsung. Hanya dengan kemampuan komunikasi politik yang baik, anggapan itu bisa dibantah,” tutur Doli.
Oleh karena itu, lanjutnya, Komisi II DPR akan mengawal penunjukan penjabat kepala daerah. Keberadaan peraturan pelaksana seperti diamanatkan oleh putusan MK mesti dibuat pemerintah agar proses penunjukan bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut. ”Kami akan memonitor terus,” ucap Wakil Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, menilai, perintah MK tidak sulit untuk dijalankan karena tidak membuat norma baru. Perintah itu cenderung menegaskan agar pemerintah berpedoman pada ketentuan yang berlaku terkait mekanisme dan prosedur pengangkatan penjabat kepala daerah sehingga tidak dipolitisasi.
Ia berharap, penjabat kepala daerah yang dipilih sebaiknya mendapatkan pembekalan sebelum diangkat. Netralitas pun harus dikedepankan karena penjabat akan memimpin di tahun politik.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ihsan Maulana mengatakan, Presiden mesti segera memerintahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melaksanakan perintah MK terkait penjabat kepala daerah. Apalagi, waktu yang tersisa sebelum gelombang pertama pengisian penjabat hanya tersisa sekitar dua pekan.
”DPR harus ikut bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan perintah MK dijalankan oleh pemerintah,” katanya.
Menurut Ihsan, konsistensi pemerintah dan DPR dalam menjalankan perintah MK seperti saat pemerintah menindaklanjuti putusan MK terkait UU Cipta Kerja, perlu dipertahankan. UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam putusan MK terkait UU Cipta Kerja hanya disebut dalam pertimbangan hukum, tetapi pembentuk UU, pemerintah dan DPR, tetap menindaklanjutinya dengan merevisi UU tersebut. ”Sikap itu mestinya juga berlaku pada UU Pilkada,” tambahnya.