Kasak-kusuk Tawaran Uang hingga Suara Jelang Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Lobi aparatur sipil negara yang mengincar posisi penjabat kepala daerah melalui perantaranya sudah dimulai sejak akhir tahun lalu di parlemen. Posisi penjabat kepala daerah ini dianggap strategis dan menarik.
Sejumlah aparatur sipil negara seolah tak berhenti mengusik Achmad Baidowi dalam beberapa bulan terakhir. Segala bujuk rayu diutarakan agar Baidowi ikut mendorong mereka supaya dipilih menjadi penjabat kepala daerah di daerah yang kepala-wakil kepala daerahnya akan berakhir masa jabatannya tahun ini.
Menjabat posisi strategis di Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR sebagai sekretaris fraksi, dan juga di struktur kepengurusan PPP sebagai Ketua DPP PPP, membuat Achmad Baidowi turut jadi ”sasaran” para aparatur sipil negara (ASN). Bahkan ASN dari luar daerah yang diwakili Baidowi di empat kabupaten di Pulau Madura, Jawa Timur.
Dengan posisi strategis tersebut, Baidowi dianggap bisa memengaruhi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pemegang kunci dalam penentu penjabat kepala daerah.
”Ada yang nawarin imbalan uang. Ada juga yang menjanjikan mengamankan suara PPP di Pemilu 2024,” ujar Baidowi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, pekan lalu.
Menyangkut jumlah nominal uang yang ditawarkan, ASN tersebut menyerahkannya pada Baidowi. ”Yang rasional, yang kira-kira kami mampu, kata ASN itu,” ujarnya.
Adapun terkait suara PPP, ASN tersebut menjanjikan bisa membantu mendongkrak suara PPP di daerah itu sehingga bisa berkontribusi melampaui ambang batas parlemen yang mengacu pada Undang-Undang Pemilu besarnya 4 persen dari suara sah nasional.
Tak hanya ASN, mereka yang mengaku perantara dari ASN juga banyak yang mendekatinya. ”Mereka mengaku dekat ASN tertentu, menawarkan imbalan yang sama kalau saya mau membantu ASN itu agar dipilih menjadi penjabat kepala daerah,” tambahnya.
Baca juga : Aturan Teknis Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Belum Juga Siap
Namun, Baidowi mengaku tak tergiur. Tak terkecuali janji mengamankan suara PPP. Berkaca pada pengalaman selama ini, tidak mudah penjabat kepala daerah bisa melakukan hal itu karena mereka tak bisa memengaruhi kerja penyelenggara pemilu di daerah. ”Faktanya, banyak penjabat tak nyambung dengan penyelenggara pemilu di daerah,” katanya.
Ada yang nawarin imbalan uang. Ada juga yang menjanjikan mengamankan suara PPP di Pemilu 2024.
Meski demikian, ia tak menampik adanya kemungkinan partai politik (parpol) yang tergiur dengan tawaran dari ASN itu. Ini terutama dalam penentuan penjabat bupati/wali kota. Sebab, penentuan penjabat itu ada di Mendagri sehingga ada peluang parpol menyelipkan sejumlah nama ASN agar dipilih oleh Mendagri. ”Kan, boleh kalau parpol merekomendasikan ke Kemendagri. Kalau cocok, sesuai ketentuan, boleh dicoba, kira-kira begitu. Tapi, kalau penjabat gubernur susah karena penentunya itu ada di Presiden,” tambahnya.
Baca juga : Otak-atik Penjabat Kepala Daerah
Tak hanya elite parpol, sejumlah anggota Komisi II DPR turut jadi sasaran ASN yang mengincar kursi penjabat. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, menuturkan hal ini. ”Gerak mereka (ASN) sunyi senyap,” katanya.
Komisi II DPR yang menjadi pengawas dari kerja-kerja Kemendagri dianggap bisa memengaruhi Kemendagri agar memilih ASN tertentu menjadi penjabat kepala daerah. Bahkan, menurut dia, tak hanya ASN yang mendekati, ada pula anggota Komisi II yang diminta parpolnya untuk mendekati ASN tertentu dan kemudian merekomendasikannya ke Kemendagri agar dipilih.
”Kedua-duanya sama-sama aktif. ASN aktif, parpol juga. Mereka juga sama-sama aktif mendekati Kemendagri,” ujarnya.
Menurut dia, parpol turut mengincar ASN tertentu agar menduduki kursi penjabat kepala daerah, karena menghadapi Pemilu 2024, parpol berkepentingan agar penjabat yang dipilih tidak mengganggu gerak parpol itu di daerah tersebut atau bahkan bisa membantu mendulang suara bagi parpol dari daerahnya.
Tim pelobi
Luqman Hakim sebelum digeser dari posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR oleh fraksinya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada awal April lalu, juga mengaku didekati oleh ASN yang mengincar kursi penjabat kepala daerah. ASN ini disinyalir tak bekerja sendiri karena ia didekati oleh perantara.
”Semacam tim pelobi. Orang ini bahkan jadi perantara untuk kursi penjabat di sejumlah daerah, tidak hanya satu (daerah),” ujarnya.
Lobi ASN melalui perantaranya bahkan telah dimulai sejak akhir tahun lalu. ”Namun, saya bilang kalau mereka itu salah sasaran. Saya ini enggak punya kekuatan sama sekali untuk itu. Yang punya otoritas menentukan penjabat, kan, Kemendagri atau kalau parpol, ya, ke ketua umum langsung,” tambahnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri periode 2015-2019 Soni Sumarsono membenarkan adanya fenomena pelobi untuk memuluskan ASN menjadi penjabat. Mengonfirmasi cerita Luqman, pelobi itu tidak hanya bekerja untuk satu daerah, tetapi banyak daerah. ”Jadi, kayak dagangan dan dia mendapat jasa dari lobi itu dari (ASN) yang bersangkutan,” katanya.
Dari sisi Kemendagri, Soni menyebut, setidaknya ada tiga arah desakan yang muncul ketika Kemendagri ingin memilih penjabat bupati/wali kota dari tiga nama yang diusulkan oleh gubernur. Pertama, desakan datang dari atas, seperti partai politik dan DPR. Kedua, desakan dari bawah, seperti gubernur. Ketiga, desakan dari samping, seperti tokoh-tokoh tertentu yang cukup berwibawa di daerah tersebut.
Baca juga : Republik Pejabat Tanpa Mandat Rakyat
”Itu semua melakukan pendekatan. Mereka biasanya ingin meng-counter (usulan nama penjabat) pilihan gubernur. Setiap titik selalu ada lobi-lobi, itu pasti. Mereka pakai jalur pertemanan sampai istilahnya ’per-uang-an’, sampai jadi itu barang. Nah, transaksi ini, walau tak bisa dibuktikan secara konkret, bisa dicium baunya. Titik-titik ini yang rawan,” kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIPAN) ini.
Dalam menghadapi tekanan situasi semacam itu, Soni mengaku, rumus sederhananya adalah Kemendagri mengikuti saja apa pun yang diusulkan gubernur. Biasanya dari tiga nama yang diusulkan, usulan nomor satu merupakan usulan prioritas.
Kira-kira begini gambarannya, kalau menjadi kepala daerah lewat pilkada bisa keluar ongkos sampai Rp 30 miliar, sedangkan kalau menjadi penjabat tak perlu keluar ongkos sebegitu besarnya. Ditambah lagi, dia akan memimpin daerah sendiri, tidak ada wakil, jadi besar sekali kewenangannya.
Kedua, mengikuti disposisi Mendagri. Biasanya, Mendagri akan mencentang salah satu nama dari tiga nama yang diusulkan gubernur. Rumus ini dianggap paling aman karena Dirjen Otonomi Daerah tinggal melaksanakan apa yang diperintahkan Mendagri.
”Soal alasan di belakangnya, itu alasan dia (Mendagri), kami tidak punya hak bertanya. Kalau ada apa-apa, itu urusan dia,” ucap Soni.
Hal yang menjadi problem adalah manakala urutan nomor tiga atau dua yang diusulkan oleh gubernur ingin menjadi penjabat. Menurut Soni, di sinilah transaksi rawan terjadi.
Posisi strategis penjabat
Menurut Luqman, gerilya para ASN untuk menjadi penjabat tak lepas dari strategisnya posisi itu. Sebagai penjabat kepala daerah, kewenangannya hampir sama kuat dengan kepala daerah definitif hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Begitu pula upah yang diperoleh. Apalagi mereka menjabat bisa sampai 2,5 tahun, sejak berakhir masa jabatan 101 kepala-wakil kepala daerah mulai pertengahan Mei ini hingga terpilih kepala-wakil kepala daerah definitif hasil pilkada serentak 2024 pada November 2024.
Dengan waktu yang panjang dan kewenangan selayaknya kepala daerah definitif, para penjabat ini bisa ”main ” menempatkan orang di posisi tertentu. Setelah itu, mereka mulai mengatur sumber daya dan program yang ada untuk menguntungkan parpol di pemilu atau caleg dari parpol yang telah membawanya sampai pada posisi itu.
”Kira-kira begini gambarannya, kalau menjadi kepala daerah lewat pilkada bisa keluar ongkos sampai Rp 30 miliar, sedangkan kalau menjadi penjabat tak perlu keluar ongkos sebegitu besarnya. Ditambah lagi, dia akan memimpin daerah sendiri, tidak ada wakil, jadi besar sekali kewenangannya,” jelas Luqman.
Dengan lamanya mereka menjabat, penjabat bahkan bisa saja membangun citra, popularitas, bahkan elektabilitasnya. Tujuannya, agar ia berpeluang untuk diusung parpol dalam Pilkada 2024.
Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto sependapat dengan hal tersebut. Dengan waktu yang panjang dan kewenangan selayaknya kepala daerah definitif, para penjabat ini bisa ”main” menempatkan orang di posisi tertentu. Setelah itu, mereka mulai mengatur sumber daya dan program yang ada untuk menguntungkan parpol dalam pemilu atau caleg dari parpol yang telah membawanya sampai pada posisi itu.
”Dengan kekuasaan penuh itu, pasti (posisi penjabat) menjadi rebutan dan saya kira jadi ’lahan basah’, ya,” ucap Agus.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menegaskan, pada prinsipnya semua masukan yang datang ke Kemendari diterima. Namun, semua harus merujuk pada aturan yang berlaku.
Pengangkatan penjabat kepala daerah telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah; UU Pilkada; UU ASN; Peraturan Pemerintah Nomor 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; serta PP Nomor 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6/2005.
Pasal 132 Ayat (1 ) PP Nomor 6/2005, misalnya, menyebutkan, PNS penjabat kepala daerah harus memenuhi sejumlah syarat dan kriteria, termasuk berpengalaman di pemerintahan, dibuktikan dengan riwayat jabatan.
Selain itu, Akmal melanjutkan, penjabat yang akan dipilih tentu harus berkualitas, berintegritas, dan netral. Namun, hal ini kembali lagi merupakan kewenangan pimpinan, dalam hal ini Presiden dan Mendagri.