Perkuat Regulasi Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu
Afirmasi bagi perempuan diperlukan untuk mendorong keterwakilan mereka minimal 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu. Keterwakilan minimal 30 persen tersebut mesti diatur dalam regulasi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan hukum perlu diperkuat untuk mendorong keterwakilan perempuan minimal 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya di daerah. Salah satu bentuk penguatan adalah penggunaan frasa yang mewajibkan, bukan sekadar memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam regulasi.
Afirmasi bagi perempuan sangat diperlukan karena keterwakilan mereka masih di bawah 30 persen. Sebagai gambaran, hanya satu dari tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2022-2027 terpilih yang merupakan perempuan. Demikian pula hanya satu perempuan dari lima calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) 2022-2027 terpilih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tujuh anggota KPU dan lima komisioner Bawaslu itu dilantik Presiden Joko Widodo pada Selasa pekan lalu. Anggota KPU yang dilantik adalah Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy’ari, Mochammad Afifuddin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Adapun anggota Bawaslu yang dilantik adalah Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono, dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda.
Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Ahsanul Minan, di Jakarta, Senin (18/4/2022), mengatakan, apabila merujuk teori Lawrence M Friedman, ada tiga faktor yang harus diperhatikan dalam perubahan sosial. Ketiga faktor dimaksud adalah faktor aturan hukum, faktor struktur kelembagaan, dan faktor kultur atau budaya.
”Kalau kita lihat faktor aturan hukum atau legal framework, di kita sudah tidak ada masalah. Undang-undang sudah menjamin. (Bahkan) mulai konstitusi, undang-undang dasar, sudah menjamin kesetaraan hak politik bagi seluruh warga negara, tidak peduli jenis kelamin, suku, agama, dan sebagainya,” kata Minan dalam diskusi daring persiapan tahapan pemilu bertajuk ”Mendorong Inklusivitas Proses Seleksi dan Keterpilihan Penyelenggara Pemilu Daerah” yang digelar Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR).
Menurut Minan, hal pertama yang perlu dipertimbangkan adalah memperkuat aturan hukum, yakni, antara lain, dengan menggunakan frasa lebih tegas dalam regulasi menyangkut afirmasi bagi keterwakilan perempuan. Frasa ”memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” perlu dipertimbangkan menjadi frasa ”mewajibkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen”.
”Regulasi kita, meskipun sebenarnya sudah sangat bagus dan mendorong afirmasi perempuan, bahasanya terkadang masih ambigu atau malu-malu. Istilahnya itu ’memperhatikan’ keterwakilan perempuan. Jadi, belum terlalu kuat untuk ’mewajibkan’ afirmasi itu tadi,” kata Minan.
Persoalan ini kerap menjadi perdebatan. Salah satunya menyangkut pertanyaan ketika keterwakilan 30 persen tersebut diwajibkan, lalu bagaimana ketika suplai atau calon perempuan tersebut tidak ada. ”Bagaimana demand itu mau ditetapkan kalau supply enggak ada? Selalu perdebatannya kayak itu. Tetapi, kalau kita gunakan perspektif lain, kadang-kadang supply itu bisa muncul ketika demand-nya muncul,” ujar Minan.
Modal kaderisasi
Minan meyakini, ketika keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen sudah diwajibkan, pasti pasokan akan muncul. Pewajiban itu akan menjadi modal bagi para aktivis perempuan dan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang peduli dalam isu perempuan untuk melakukan kaderisasi.
Regulasi kita, meskipun sebenarnya sudah sangat bagus dan mendorong afirmasi perempuan, bahasanya terkadang masih ambigu atau malu-malu. Istilahnya itu ’memperhatikan’ keterwakilan perempuan. Jadi, belum terlalu kuat untuk ’mewajibkan’ afirmasi itu tadi.
Hal kedua adalah menyangkut komitmen politik pemimpin lembaga. ”Meskipun di regulasinya afirmasi untuk perempuan sudah jelas, dalam praktiknya sering kali—apalagi dalam sebuah negara yang sistem birokrasinya belum tertata dengan baik—itu personal leadership dari lembaga sangat menentukan,” kata Minan.
Minan mencontohkan Bawaslu di bawah kepemimpinan Nur Hidayat Sardini memiliki dua perempuan sebagai komisioner yang dapat memengaruhi arah kebijakan dalam proses rekrutmen untuk memperkuat afirmasi perempuan.
Hal ketiga menyangkut budaya politik masyarakat yang masih patriarkis. Keempat, minim atau masih rendahnya kapasitas atau kemampuan. Kapasitas ini tidak hanya murni ditunjukkan dari aspek pendidikan formal.
Kapasitas yang dimaksud Minan lebih merupakan kapasitas praktis yang dibutuhkan untuk mengisi posisi-posisi yang akan diincar dalam dunia politik. Kekurangan kapasitas terjadi karena sangat terbatasnya akses perempuan terhadap arena-arena di mana kapasitas itu dapat dipelajari.
Kelima, soliditas dan solidaritas internal perempuan yang juga masih sering menjadi tantangan atau kendala. ”Saya kira ini perlu diperhatikan, (yakni) bagaimana memperkuat soliditas dan solidaritas antaraktivis perempuan,” katanya.
Menurut Minan, ada dua hal yang dapat dipelajari dan direfleksikan dari seleksi penyelenggara pemilu sebelumnya, yakni regulasi teknis yang lebih jelas dan fair serta transparansi proses. ”Menurut saya, yang sangat penting adalah mendorong KPU dan Bawaslu untuk membuat regulasi teknis yang lebih menunjukkan keberpihakan yang kuat kepada perempuan,” ujarnya.
Minan menuturkan, berdasarkan pengalaman seleksi KPU dan Bawaslu tahun 2021, ada satu pelajaran penting yang menunjukkan transparansi proses itu menjadi sangat penting. ”Semakin transparan proses, semakin besar peluang perempuan untuk terpilih. Namun, sebaliknya, semakin tidak transparan, semakin besar peluang perempuan untuk tidak terpilih karena kalah dengan deal-deal politik,” ujarnya.
Komisioner Bawaslu 2012-2017, Endang Wihdatiningtyas, berpendapat, keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu dimulai atau tidak dapat dipisahkan dari keterwakilan perempuan dalam tim seleksi. ”(Dalam) timsel itu sendiri harus ada keterwakilan perempuannya. Bagaimana bisa memilih perempuan jika dalam timsel itu tidak ada keterwakilan perempuannya,” katanya.
Selain itu, Endang menyebutkan, perlu ada komitmen yang kuat dari komisioner di tingkat pusat. Komitmen ini nantinya diturunkan dalam bentuk kebijakan atau peraturan Bawaslu atau peraturan KPU. ”Timsel juga harus aktif melakukan penjaringan terhadap calon-calon yang akan mendaftar ini, khususnya dari perempuan. Kalau perlu, melibatkan ormas atau NGO yang juga aktif di bidang perempuan sehingga bisa mendorong para anggotanya untuk mengikuti seleksi,” katanya.
Menurut Ketua Bawaslu 2022-2027 Rahmat Bagja, aspek normatif dalam seleksi penyelenggara pemilu daerah adalah transparan dan komposisi keanggotaan yang memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Pembentukan tim seleksi harus jelas dengan prosedur ketat serta persyaratan administratif yang mesti dilampaui.
Rahmat menuturkan, hal yang juga mesti diperhatikan adalah aspek kompetensi dan integritas. Aspek ini mencakup pengetahuan kepemiluan, penegakan hukum pemilu, dan rekam jejak. ”Strateginya adalah sosialisasi rekrutmen secara luas, terutama untuk menjaring keikutsertaan perempuan dalam proses seleksi,” katanya.