Porsi Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu Disoal
Dari tujuh calon anggota KPU yang dipilih Komisi II DPR hanya satu yang merupakan perempuan. Begitu di Bawaslu, dari lima calon yang dipilih, hanya satu perempuan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat telah menyelesaikan proses seleksi dengan memilih tujuh calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan lima calon komisioner Badan Pengawas Pemilu 2022-2027 pada Kamis (17/2/2022) dini hari. Namun, komposisi calon anggota penyelenggara pemilu terpilih belum memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan serta belum mencerminkan representasi kewilayahan.
Dari tujuh calon anggota KPU terpilih, hanya satu yang merupakan perempuan, yakni Betty Epsilon Idroos. Enam anggota lain, yakni Hasyim Asy'ari, Mochamad Afifuddin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz, adalah laki-laki. Begitu pula calon anggota Bawaslu yang dipilih, hanya satu perempuan, yakni Lolly Suhenti. Empat lainnya laki-laki, yakni Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono, dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan, tidak tercapainya keterwakilan 30 persen perempuan dalam komposisi anggota KPU dan Bawaslu sebagaimana diamanatkan di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi catatan paling menonjol bagi proses seleksi penyelenggara pemilu. Serupa dengan komposisi penyelenggara pemilu 2017-2022, masing-masing ada satu perempuan di KPU maupun Bawaslu, atau sekitar 14 persen dari total komposisi penyelenggara.
Hal ini menunjukkan belum adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga negara baik itu perempuan dan laki-laki untuk terlibat di dalam institusi politik. Selain itu, menurut Hurriyah, komposisi ini juga menunjukkan rendahnya komitmen DPR untuk memenuhi amanat konstitusi terkait keterwakilan perempuan. Padahal, masukan publik untuk mendorong representasi politik perempuan minimal 30 persen di lembaga penyelenggara pemilu telah disuarakan oleh banyak pihak, baik dari kalangan akademisi, lembaga kampus, lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi kemasyarakatan.
”Dengan demikian, mewujudkan demokrasi yang inklusif sejak dari hulunya, yaitu proses seleksi penyelenggara pemilu yang inklusif, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia,” kata Hurriyah, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/2/2022), di Jakarta.
Perihal keterwakilan perempuan itu sebenarnya sudah jauh-jauh hari diingatkan kelompok masyarakat sipil. Desakan agar Komisi II mempertimbangkan pemenuhan keterwakilan 30 persen perempuan di antaranya disampaikan anggota Bawaslu 2008-2012, Wahidah Suaib; Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Ai Maryati Solihah; Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan PP Nasyiatul Aisyiyah, Khotimun Sutanti; Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional Pengurus Besar Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sadriana; dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita.
Meskipun demikian, ternyata desakan itu tidak diindahkan. Komisi II DPR tetap memilih masing-masing satu calon perempuan untuk KPU dan Bawaslu.
Selain itu, nama-nama calon anggota KPU-Bawaslu yang dipilih juga seolah mengonfirmasi pesan berantai berisi daftar nama penyelenggara pemilu. Nama-nama yang beredar dengan nama yang diputuskan oleh DPR ternyata sama persis sehingga memunculkan anggapan proses seleksi hanyalah formalitas. Adapun hasilnya telah ada sebelum uji kelayakan dan kepatutan dilakukan.
Mewujudkan demokrasi yang inklusif sejak dari hulunya, yaitu proses seleksi penyelenggara pemilu, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia.
Hurriyah juga menyoroti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Komisi II DPR, yang seolah membenturkan antara kebijakan afirmatif dan persoalan kapasitas dan profesionalitas perempuan. Pertanyaan semacam itu dipandang mendelegitimasi kapasitas calon perempuan.
Belum cerminkan kebinekaan
Secara terpisah, pendiri Visi Nusantara Maju Yusfitriadi mengatakan, mekanisme fit and proper test diapresiasi karena dilakukan secara terbuka, dan publik dapat menyaksikannya langsung. Namun, keterbukaan itu belum dilakukan sepenuhnya lantaran penghitungan suara dilakukan secara tertutup.
Adanya bocoran nama-nama yang beredar beberapa hari sebelum keputusan nama-nama anggota KPU dan Bawaslu yang terpilih juga disayangkan. ”Artinya, memang diindikasikan fit and proper test ini hanya formalitas, sedangkan kesepakatannya sudah muncul 10 Februari 2022,” katanya.
Selain tidak mencerminkan keterwakilan perempuan yang proporsional, komposisi penyelenggara pemilu yang dipilih dalam fit and proper test belum mencerminkan kebinekaan, karena didominasi oleh orang dari Pulau Jawa. Hanya ada dua penyelenggara pemilu dari luar Jawa, yakni Parsadaan Harahap dari Bengkulu, dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda dari Sulawesi Utara.
”Kedua, selain tidak proporsional dari sisi keterwakilan perempuan dan kewilayahan, komposisi anggota KPU-Bawaslu kali ini juga tidak akomodatif terhadap berbagai kelompok atau golongan,” katanya.
Yusfitriadi mencatat, ada lima penyelenggara pemilu yang berlatar belakang atau berasosiasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ada pula tiga orang yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU). Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, tidak ada satu pun perwakilan dari Muhammadiyah. Situasi ini dikhawatirkan akan memicu persoalan yang akan dihadapi oleh penyelenggara pemilu selanjutnya dalam upaya merangkul dan mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok yang berbeda.
Bergerak cepat
Dengan berbagai catatan itu, penyelenggara pemilu telah diputuskan sehingga saat ini yang harus dilakukan mereka ialah bergerak cepat dalam menyiapkan tahapan Pemilu 2024. Salah satu langkah pertama ialah untuk menyeleksi keanggotaan KPU dan Bawaslu di daerah, karena ada beberapa provinsi yang pada 2022 ini telah melakukan rekrutmen.
Kedua, menurut Yusfitriadi, penyelenggara pemilu terpilih harus memastikan integritas mereka terjaga. Jangan sampai pengalaman KPU 2017-2022, di mana ada seorang anggota yang ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terulang kembali di KPU 2022-2027. ”Jika ini terulang, citra KPU akan memburuk,” katanya.
Selain itu, penyelenggara pemilu yang baru juga harus segera menyiapkan regulasi dan implementasi teknis untuk menyongsong Pemilu 2024. ”Soal e-rekapitulasi, misalnya, ini harus dipastikan kesiapannya. Sebab, faktanya, e-rekap tidak pernah mencapai 100 persen, sedangkan rekap manual bisa mencapai 100 persen. Ini harus dipastikan sehingga nantinya tidak menimbulkan kegaduhan saat diterapkan,” ucap Yusfitriadi.
Menanggapi banyaknya catatan dalam proses fit and proper test, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), MF Nurhuda Yusro, mengatakan, mekanisme itu telah dilakukan sebaik mungkin untuk memilih calon-calon penyelenggara pemilu terbaik. Mereka yang terpilih pun dipandang sebagai orang-orang yang berpengalaman dan dapat dipercaya sebagai penyelenggara pemilu.
”Mereka ini adalah orang-orang terbaik sehingga saya pikir tidak akan ada masalah dalam transisi kelembagaan antara penyelenggara pemilu yang lama maupun dengan penyelenggara baru,” katanya.
Nurhuda bisa memahami adanya catatan terkait keterwakilan perempuan maupun kewilayahan. Namun, tujuh nama anggota KPU dan lima anggota Bawaslu terpilih merupakan hasil proses politik yang dilakukan secara terbuka di Komisi II DPR. Apa pun hasilnya harus diterima karena tidak mungkin membatalkan keputusan yang sudah disepakati bersama.
”Soal keterwakilan perempuan, misalnya, saya pribadi sudah kencang mengingatkan hal itu. Namun, keputusan politik yang muncul di Komisi II begitu sehingga bagaimana pun harus diterima,” katanya.
Nurhuda berharap, setelah ditetapkan DPR, anggota KPU-Bawaslu baru sesegera mungkin melakukan rapat internal untuk konsolidasi. Mereka juga harus menyusun formasi internal, menetapkan ketua serta bidang yang menjadi tanggung jawab tiap-tiap anggota.
Beberapa catatan dari Pemilu 2019 harus menjadi perhatian mereka untuk diperbaiki. Jangan sampai kekurangan pada pemilu sebelumnya terulang dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. ”Persiapan Pemilu 2024 harus dilakukan cepat karena kami menyadari Pemilu 2019 itu banyak evaluasi yang harus dibenahi oleh penyelenggara,” katanya.
Anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat, Anwar Hafid, mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan oleh anggota KPU-Bawaslu ialah melakukan konsolidasi kelembagaan internal KPU dan Bawaslu. Kedua, memastikan agenda dan tahapan yang berjalan bisa sesuai tahapan. ”Ketiga, mereka harus menjaga KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara mampu menjaga independensi dan netralitas mereka agar agenda demokrasi kita bisa berjalan dengan baik,” ucapnya.