DPR Didorong Penuhi Keterwakilan 30 persen Perempuan di KPU-Bawaslu
Dari 24 calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, hanya ada tujuh perempuan. Mereka akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi II DPR pada 14-16 Februari.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan afirmasi perempuan semestinya menjadi pertimbangan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027. Pemenuhan ketentuan minimal 30 persen perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu tak sekadar untuk mengindahkan kepentingan perempuan, tetapi juga menghadirkan proses pemilu yang berintegritas dan mengedepankan inklusi sosial dalam proses demokrasi.
Dorongan agar Komisi II DPR mempertimbangkan afirmasi perempuan dalam memilih calon anggota KPU dan Bawaslu terus bermunculan. Kali ini dorongan muncul dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Kebijakan afirmasi itu dipandang tidak hanya merupakan kepentingan kelompok perempuan, tetapi juga bagian dari upaya menghadirkan demokrasi yang lebih inklusif dan berpihak kepada mereka yang kerap kali terpinggirkan dalam proses demokrasi.
Saat ini, dari 14 calon anggota Komisi Pemilihan Umum, dan 10 calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada tujuh perempuan. Perempuan yang menjadi calon anggota KPU ialah Betty Epsilon Idroos (Ketua KPU DKI Jakarta), Dahliah Umar (Ketua Network for Indonesia Democratic Society), Iffa Rosita (anggota KPU Kalimantan Timur), dan Yessy Momongan (anggota KPU Sulawesi Utara). Adapun perempuan calon anggota Bawaslu ialah Andi Tenri Sompa (dosen Universitas Lambung Mangkurat), Lolly Suhenty (anggota Bawaslu Jabar), dan Mardiana Rusli (jurnalis dari Sulawesi Selatan).
Sekretaris Jenderal KPI Mike Verawati Tangka mengatakan, ketujuh perempuan calon penyelenggara pemilu itu merupakan orang-orang dengan rekam jejak baik, dan kapasitasnya pun setara dengan calon penyelenggara laki-laki. Oleh karena itu, ia berharap Komisi II DPR memiliki kepedulian dan kesadaran untuk mewujudkan komposisi 30 persen perempuan sebagai penyelenggara pemilu.
”Kami berharap agar keterwakilan 30 persen perempuan dapat terwujud di penyelenggara pemilu. Dengan demikian, aspirasi mengenai proses-proses pemilu dan demokrasi bisa kita titipkan kepada mereka,” kata Mike dalam acara media briefing ”Mengenal Lebih Dekat 7 Perempuan Calon KPU-Bawaslu”, Sabtu (12/2/2022) di Jakarta.
Mike mengatakan, pada kenyataannya keterwakilan 30 persen perempuan sebagai penyelenggara pemilu itu tidak mudah direalisasikan. Di sejumlah daerah, misalnya, masih ditemukan komposisi penyelenggara pemilu di mana tidak ada perempuan sama sekali. Padahal, penyelenggara pemilu perempuan memiliki kemampuan dan kompetensi yang sama dengan laki-laki. Situasi ini harus diubah sehingga ada pemberian kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki untuk menjadi penyelenggara pemilu, tentu dengan memperhatikan rekam jejak dan kompetensi mereka.
Kami berharap agar keterwakilan 30 persen perempuan dapat terwujud di penyelenggara pemilu. Dengan demikian, aspirasi mengenai proses-proses pemilu dan demokrasi bisa kita titipkan kepada mereka
Dukungan perempuan
Salah satu calon anggota KPU, Dahliah Umar, mengatakan, keterwakilan 30 persen perempuan untuk penyelenggara pemilu perlu direalisasikan hingga di tingkat desa. Untuk mewujudkan hal ini, bagaimanapun dukungan sesama perempuan juga sangat menentukan. Ia mencontohkan dirinya ketika menjadi anggota KPU DKI Jakarta 2008-2013. Kendala yang dihadapinya tidaklah mudah. Ia kemudian mencari dukungan dari sesama perempuan, seperti dari kelompok Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).
Dahliah juga berkomunikasi dengan anggota DPRD DKI Jakarta yang berasal dari Muslimat NU. Tidak disangka-sangka, anggota DPRD itu mengajak anggota DPRD lainnya yang perempuan untuk mendukung Dahliah. Bukan hanya itu, Dahliah juga akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi perempuan lainnya, termasuk Fatayat NU. Ia juga diajak untuk berdialog intens dengan kelompok-kelompok perempuan itu.
Selain dukungan dari sesama perempuan, hal lain yang harus dimiliki oleh calon penyelenggara pemilu perempuan ialah komitmen untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di berbagai aspek dan tahapan pemilu. Soal ini, calon anggota KPU, Yessy Momongan, mengatakan, jika terpilih sebagai penyelenggara pemilu, ia ingin memastikan penyelenggara pemilu di daerah, hingga badan ad hoc, juga menyertakan perempuan sebagai anggotanya.
”Kenapa perempuan, karena kami melihat pula aspek-aspek marjinal, termasuk kelompok disabilitas dalam proses demokrasi. Sebagai orang yang ada di dalam, aspirasi itu tentu harus diperjuangkan,” katanya.
Tidak melulu soal kepentingan perempuan, Yessy mengatakan, perempuan penyelenggara pemilu juga memiliki visi mengenai bagaimana proses pemilu dijalankan dengan desain anggaran yang lebih efektif, serta kepemimpinan yang berintegritas. Untuk mewujudkan itu semua, keterwakilan 30 persen perempuan sangat penting. Sebab, komposisi 30 persen itu akan cukup kuat untuk memengaruhi sebuah kebijakan.
Betty Epsilon Idroos, calon anggota KPU lain, menceritakan pengalamannya selama ini. Ia memulai dari bawah hingga sampai pada tahap seperti saat ini. Sebagai calon perempuan penyelenggara pemilu, dia memiliki aspirasi untuk membenahi electoral justice (penegakan hukum pemilu), electoral procedur (prosedur pemilu), dan electoral engineering (rekayasa/tata kelola pemilu).
Sementara itu, Andi Tenri Sompa yang juga terdaftar sebagai calon anggota KPU, menyampaikan komitmen untuk mewujudkan keterwakilan 30 persen perempuan untuk penyelenggara pemilu di daerah ataupun badan ad hoc. ”Saya melihat perempuan memiliki kualitas yang bagus-bagus sampai kita sendiri ketika akan memilihnya. Oleh karena itu, untuk memastikan keterwakilan 30 persen perempuan itu sebenarnya terletak pada political will (kemauan politik). Jangan sampai perempuan tidak mau memilih perempuan, dan menjadi lips service semata,” katanya.
Calon penyelenggara pemilu lain, Lolly Suhenti, menuturkan, mewujudkan 30 persen keterwakilan perempuan adalah bagian dari upaya membangun peradaban berbangsa dan bernegara dengan baik. Perempuan di mana pun harus menunjukkan kerja-kerja nyata mereka, termasuk sebagai penyelenggara pemilu. Namun, ia menekankan perlunya kerja sama dan kolaborasi dengan banyak pihak untuk mewujudkan kerja-kerja nyata perempuan.