Majelis Rakyat Papua Meminta Pembahasan Pemekaran Papua Dihentikan
Alih-alih melakukan pemekaran wilayah, masyarakat Papua lebih membutuhkan perbaikan masalah sosial, kesehatan, dan ekonomi. Begitu juga penyelesaian masalah pada konflik dan kekerasan di berbagai tempat di Papua.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Rakyat Papua meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan proses pembahasan tiga rancangan undang-undang daerah otonom baru di Papua. Selain bukan merupakan aspirasi rakyat Papua, saat ini juga tengah berjalan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib dalam media briefing bertajuk ”Rencana Pemekaran Wilayah: Langkah Mundur Demokrasi di Tanah Papua” yang diselenggarakan Public Virtue Institute secara daring, Kamis (14/4/2022). Menurut Timotius, revisi terhadap UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang kemudian berlanjut dengan rencana pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua tersebut merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan dilakukan tanpa koordinasi ataupun mekanisme penyerapan aspirasi dari rakyat Papua.
”Kami Majelis Rakyat Papua menyatakan, pemekaran atau pembentukan DOB ini ditolak. Belum saatnya,” kata Timotius.
Revisi terhadap UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang kemudian berlanjut dengan rencana pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua tersebut merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan dilakukan tanpa koordinasi ataupun mekanisme penyerapan aspirasi dari rakyat Papua.
Dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (12/4/2022) lalu, tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonom baru di Papua disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Ketiga RUU tersebut meliputi RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Menurut Timotius, selama 20 tahun sejak UU Nomor 21 Tahun 2001 diundangkan, sama sekali belum pernah dilakukan evaluasi oleh rakyat Papua. Demikian pula perubahan terhadap UU tersebut dilakukan tanpa adanya koordinasi dengan lembaga pemerintahan di daerah dan tanpa partisipasi masyarakat Papua. Sementara itu, aturan turunan UU No 2/2021 berupa 2 buah peraturan pemerintah sudah jadi dan belum disosialisasikan ke masyarakat Papua. Namun, pemerintah dan DPR sudah berlanjut dengan rencana pemekaran wilayah.
Meski terdapat pihak di Papua yang menyatakan dukungannya terhadap rencana pemekaran wilayah tersebut, kata Timotius, hal itu tidak mewakili aspirasi masyarakat Papua. Sebab, mayoritas masyarakat Papua tidak mendukung pemekaran wilayah.
”Deklarasi untuk pemekaran ini dilakukan oleh para elite. Di akar rumput sama sekali tidak terima. Kalau aspirasi, itu dari oknum-oknum pejabat. Merekaakan berhenti (masa jabatannya) sehingga tidak punya job, maka mereka cari job. Deklarasi itu dibikin di hotel, jangan pemerintah perlakukan itu sebagai dasar (pemekaran),” tutur Timotius.
Selain itu, Timotius menganggap bahwa proses pembahasan tiga RUU daerah otonom baru di Papua sebagai tidak etis. Sebab, saat ini Majelis Rakyat Papua masih melakukan uji materi terhadap UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 19 pasal yang direvisi di dalam UU yang baru tersebut, terdapat 9 Pasal yang dinilai merugikan masyarakat asli Papua.
”Berhentidahulu sampai ada keputusan MK yang pasti dan final, baru bicara soal Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi Papua) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua). Jangan menganggap orang Papua itu tidak mengerti apa-apa lalu meminta Majelis Rakyat Papua untuk bicara soal Perdasi dan Perdasus,” ujar Timotius.
Alih-alih melakukan pemekaran wilayah, menurut Timotius, yang mendesak dilakukan terhadap Tanah Papua adalah memperbaiki berbagai masalah sosial, kesehatan, dan ekonomi yang masih mendera masyarakat Papua. Demikian pula konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Papua juga mendesak untuk diselesaikan.
Berkaca dari penyelesaian terhadap Aceh yang juga dulu bergejolak, Timotius berharap agar dilakukan pendekatan yang sama dengan masyarakat Papua, yakni melalui dialog. Dialog perlu dilakukan antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua.
Berkaca dari penyelesaian terhadap Aceh yang juga dulu bergejolak, Timotius berharap agar dilakukan pendekatan yang sama dengan masyarakat Papua, yakni melalui dialog.
Hal senada disampaikan Pendeta Dora Balubun dari Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) Papua. Menurut Dora, pemekaran wilayah dengan membentuk tiga provinsi baru justru menambah panjang persoalan, khususnya terkait penambahan aparat militer dan kepolisian yang dikhawatirkan akan memperluas konflik dan kekerasan di sana.
Selama ini, lanjut Dora, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia justru banyak terjadi di wilayah hasil pemekaran. Sementara ketimpangan untuk keadilan, kesejahteraan, dan pendidikan masih dialami masyarakat Papua dan belum teratasi sampai kini. Pemekaran wilayah dinilai hanya akan memberi bencana.
”Apakah kebijakan ini bijaksana? Apakah ini betul-betul tulus bagi masyarakatPapua atau sebenarnya pemekaran ini adalah alat yang memecah belah atauyang akan menghancurkan masyarakat asli Papua?” ungkap Dora.
Terkait hal itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Papua, Yorrys Raweyai, mengatakan, melalui UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kepentingan masyarakat Papua diperjuangkan. Menurut Yorris, setidaknya pihaknya telah melakukan pertemuan dengan Majelis Rakyat Papua enam kali.
Terkait dengan UU tersebut, Yorrys menyatakan, dari sisi hukum dan politik, hal itu sudah selesai. Demikian pula aturan turunan berupa peraturan pemerintah sudah diterbitkan. Oleh karena itu, Yorrys mengajak agar fokus ke penyusunan Perdasi dan Perdasus yang harus linier dengan peraturan di atasnya.
”Kita jangan terlalu fokus pada uji materi di MK, tapi paling pentingadalah bagaimana pembahasan Perdasi dan Perdasus itu agar pada Juli nantiselesai. Kalau belum, nanti (kewenangan itu) ditarik dan diselesaikanpemerintah pusat, bisa jadi persoalan baru,” kata Yorrys.
Menurut Yorrys, pemekaran wilayah Papua tidak dilihat pemerintah dari aspek demografi, melainkan aspek geografis. Jika melihat ke belakang, pada 2008, sudah ada usulan pemekaran wilayah dan provinsi yang ditindaklanjuti dengan terbitnya surat presiden kala itu. Namun, karena anggaran terbatas, hal itu tidak ditindaklanjuti, bahkan dilakukan moratorium pemekaran wilayah.
Pemekaran wilayah Papua tidak dilihat pemerintah dari aspek demografi, melainkan aspek geografis.
Terkait dengan uji materi yang kini tengah berlangsung di MK, menurut Yorrys, hal itu justru akan menimbulkan permasalahan baru jika nantinya MK tidak mengabulkannya. Demikian pula terkait penolakan rakyat Papua terkait UU tersebut, bagi Yorrys, argumentasi itu sulit diterima karena selama ini pihaknya melaksanakan tugas sesuai dengan mekanisme yang ada.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpandangan, tiga RUU daerah otonom baru di Papua tersebut merupakan indikator kemunduran demokrasi. Keputusan pemekaran wilayah tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural masyarakat Papua merupakan pelanggaran terhadap UU.
”Untuk mencegah resentralisasi ini terus berlanjut, RUU ini harus ditunda, harus dicegah. DPRharus berkonsultasi dulu dengan Majelis Rakyat Papua dan meminta persetujuan mereka,” kata Usman.
Indikator lain yang memperlihatkan kemunduran demokrasi adalah hilangnya hak khusus bagi masyarakat Papua untuk membentuk partai politik lokal. Indikator berikutnya adalah terjadi ketidakpatuhan pada hukum yang ditunjukkan dengan tidak dilibatkannya Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, maupun Gubernur Papua dalam revisi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Selain itu, Usman juga melihat bahwa masih terbatasnya ruang gerak media dan polarisasi yang terjadi di Papua merupakan indikator kemunduran demokrasi. Sebaliknya, ketika pemerintah dan DPR memaksakan suatu kebijakan, masyarakat akan curiga dan mempertanyakan kebijakan tersebut.
”Pemekaran ini untuk siapa? Apakah untuk masyarakat Papua atau untukkepentingan bisnis atau konglomerasi di Papua? Pemekaran inibertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri yang sedang melakukanmoratorium pemekaran wilayah. Di mana urgensi pemekaran wilayah? Tidakada,” tutur Usman.
Sementara itu, Direktur Program Public Virtue Research Institute Miya Irawati menilai, pemekaran wilayah di Papua yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan DPR ini akan semakin mendorong ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah serta menyebabkan terjadinya kemunduran demokrasi di Papua. Sebab, hal itu dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan politik negara yang jakartasentris atau berpusat di Jakarta.
Di sisi lain, permasalahan terkait hak-hak dasar masyarakat Papua, marjinalisasi masyarakat Papua, dan pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di sana belum disentuh dan dituntaskan. ”Jika praktik kekerasan dibiarkan dan pemekaran ini dianggap sebagai rencana strategis, perlu dipertanyakan, sebenarnya ini untuk kepentingan siapa?" kata Miya.