Pemerintah pusat akan melakukan pemekaran dengan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua. Keempat DOB itu adalah Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah kembali melakukan pemekaran wilayah di Papua menuai protes dari sejumlah kalangan. Oleh karena itu, Majelis Rakyat Papua meminta pemerintah pusat menunda pembentukan daerah otonom baru hingga permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Permintaan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait dalam diskusi daring bertema ”Membedah Polemik Kekerasan di Papua terhadap Implementasi Otsus dan Rencana Pemekaran Wilayah di Papua” yang diadakan oleh Public Virtue Institute, Kamis (24/3/2022). ”Ada aksi penolakan keras warga terhadap kebijakan pemekaran wilayah, tolong hal itu jangan dikesampingkan. Posisi MRP sekarang mendorong supaya pemekaran wilayah menunggu putusan MK karena kami sedang judicial review,” katanya.
Menurut rencana, pemerintah pusat akan melakukan pemekaran dengan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua. Keempat DOB itu adalah Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.
Ada aksi penolakan keras warga terhadap kebijakan pemekaran wilayah, tolong hal itu jangan dikesampingkan.
Penolakan terhadap rencana pemekaran muncul karena masyarakat Papua merasa aspirasi mereka dikesampingkan. Menurut Yoel, ada perubahan signifikan terkait peran MRP dalam pemekaran wilayah di Papua yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.
UU Otsus Papua yang baru itu menghapuskan syarat persetujuan MRP dalam pemekaran wilayah. Semula dalam Pasal 76 UU No 21/2001 diatur bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua).
Kemudian, dalam UU Otsus baru (UU No 2/2021) disebut bahwa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Perubahan ini ditafsirkan syarat wajib persetujuan MPR dalam pembentukan daerah otonom baru di Papua dihilangkan.
”Kami saat ini sedang menguji materi revisi UU Otsus Papua di MK. Ini karena UU tersebut lahir secara top down, bukan bottom up. Kami meminta kepada pemerintah agar pemekaran dihentikan dulu setelah ada putusan MK,” kata Yoel.
Yoel menyebut bahwa revisi UU Otsus menihilkan peran MRP dalam pemekaran daerah. Uji materi sejumlah pasal di UU Otsus papua dilakukan karena revisi dibuat secara sepihak oleh pemerintah dan DPR, tanpa melibatkan MRP. Padahal, MRP adalah representasi kultural orang asli Papua (OAP). Salah satu tugas MRP adalah melindungi hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, serta pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas UU tersebut. Atas dasar itulah MRP menganggap pembentukan UU telah melanggar hak konstitusional OAP.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, yang hadir dalam diskusi itu, mengatakan, pemerintah pusat juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat Papua terkait pembentukan DOB. Agar mendapatkan legitimasi yang kuat, pemerintah harus mendengarkan aspirasi warga dan membuat kebijakan yang menyentuh akar rumput. Saat ini, pendapat masyarakat terbelah. Ada yang pro dan kontra terhadap pemekaran wilayah. Idealnya, pemerintah pusat mendengarkan aspirasi dari kedua belah pihak.
”Pemerintah pusat juga agar melakukan dialog supaya suara masyarakat yang pro dan kontra terhadap kebijakan ini bisa semuanya diakomodasi. Jangan sampai ada penolakan yang memakan korban lagi, seperti di Yahukimo kemarin,” terang Beka.
Seperti diketahui, demonstrasi penolakan pemekaran wilayah pada pertengahan Maret lalu di Yahukimo berlangsung ricuh. Dua warga tewas tertembak, sementara satu aparat terluka. Sejumlah rumah toko juga dibakar oleh massa pendemo.
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, pemekaran wilayah semestinya menggunakan pendekatan mendengarkan aspirasi dari bawah. Pemerintah harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan perwakilan dari tujuh wilayah adat. Komunikasi dilakukan untuk mencari titik tengah tentang persyaratan agar pemekaran tidak justru memperluas konflik bersenjata di Papua.
Dialog damai
Dalam kesempatan itu, Beka kembali menyampaikan bahwa saat ini Komnas HAM juga sedang menginisiasi dialog damai Papua. Dialog damai itu akan melibatkan berbagai elemen masyarakat Papua untuk diajak berbicara terkait resolusi konflik bersenjata. Untuk bisa duduk bersama dan berdialog, tentu saja dibutuhkan pra kondisi agar situasi aman dan terkendali.
Oleh karena itu, Komnas HAM berharap pemerintah pusat dapat mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua. Jumlah aparat yang dikirim ataupun penggunaan kekuatan keamanan di daerah konflik bisa ditinjau ulang.
”Kami ingin mendapatkan jaminan bahwa operasi dan pendekatan keamanan di daerah konflik bersenjata memang harus dihentikan sementara. Kami juga sudah berbicara dengan Kapolda dan Pangdam Cendrawasih bagaimana untuk menciptakan situasi yang aman dan kondusif,” kata Beka.
Cahyo mengapresiasi inisiatif Komnas HAM merancang dialog damai di Papua. Dialog damai itu diharapkan bisa menciptakan kondisi yang disebutnya sebagai jeda kemanusiaan. Jeda kemanusiaan adalah kondisi ketika aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) melakukan gencatan senjata. Jika prakondisi itu bisa dilakukan, baru dialog damai bisa dilaksanakan dalam suasana yang aman dan kondusif.
”Seharusnya pemerintah pusat mengevaluasi dulu pendekatan keamanan di Papua. Sampai kapan operasi penegakan hukum itu akan terus dilakukan, hasilnya apa, dan kapan dihentikan?” terang Cahyo.
Cahyo juga mengingatkan bahwa persoalan konflik bersenjata di Papua adalah masalah kompleks yang harus diurai satu per satu. Berdasarkan hasil kajian konflik di Papua, persoalan lingkaran kekerasan di Papua terjadi karena permasalahan penafsiran sejarah Papua yang tidak tuntas, adanya kekerasan politik, marjinalisasi orang asli Papua, dan ketidaksesuaian pendekatan pembangunan.