Pertimbangan Politik dan Keamanan Tampak Lebih Mendominasi Pemekaran Papua
Pemekaran wilayah Papua dipandang hanya menguntungkan kelompok elite pragmatis lokal yang ingin dapatkan posisi politik. Kepentingan ini bertemu dengan strategi politik/keamanan pemerintah pusat untuk kendalikan Papua.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
HUMAS POLDA PAPUA
Aksi unjuk rasa menolak pemekaran wilayah Papua oleh masyarakat di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Papua, Selasa (15/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dibandingkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertimbangan politik dan keamanan dinilai menjadi faktor dominan yang melatarbelakangi pemekaran Papua menjadi tiga daerah otonom baru. Hal ini dikhawatirkan hanya menguntungkan kelompok elite lokal yang pragmatis serta memenuhi kebutuhan strategi politik dan keamanan pemerintah pusat terhadap Papua.
Pada Selasa (12/4/2022), dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonom baru (DOB) baru di Papua disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Tiga RUU itu ialah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Dari sembilan fraksi, hanya Fraksi Demokrat yang membacakan catatannya dalam persetujuan tiga RUU itu menjadi inisiatif DPR. Delapan fraksi lainnya menyerahkan sikap fraksi kepada pimpinan DPR secara tertulis. Ketua DPR Puan Maharani kemudian mengetuk palu tanda persetujuan terhadap tiga RUU itu setelah peserta rapat paripurna menyatakan persetujuan terhadap ketiga RUU DOB di Papua tersebut.
Juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Debby Kurniawan, mengatakan, perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap penerapan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. ”Harus dilakukan evaluasi bagaimana implementasi UU Otsus agar kebijakan itu bisa memberikan dampak positif kepada Papua,” katanya.
Pembahasan rencana pemekaran itu harus pula melalui pendekatan dialog musyawarah serta memperhatikan aspirasi dan keinginan masyarakat daerah setempat. (Debby Kurniawan)
Pemekaran, menurut Debby, haruslah mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien serta mempercepat pemerataan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pembahasan rencana pemekaran itu harus pula melalui pendekatan dialog musyawarah serta memperhatikan aspirasi dan keinginan masyarakat daerah setempat.
Di Papua, wacana pemekaran Papua telah menuai protes dan unjuk rasa dari kalangan mahasiswa sejak awal Maret lalu. Mereka menolak rencana pemekaran wilayah tersebut.
Selain itu, moratorium pembentukan DOB sejak 2014 hingga kini juga belum dicabut oleh pemerintah. Sebagian kalangan pun memandang, pembentukan DOB di Papua saat ini mencerminkan inkonsistensi terhadap kebijakan moratorium tersebut.
Para peserta audiensi berfoto bersama setelah mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Dalam audiensi tersebut Komisi II menerima aspirasi terkait pemekaran daerah otonomi baru, yaitu Kabupaten Bogoga dan Provinsi Papua Tengah, serta tentang partai lokal Papua.
Perlu hati-hati
Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Koordinator Kluster Perwakilan Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, pemekaran wilayah seharusnya fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kendati harus diakui pertimbangan politik dan keamanan mengemuka dalam pemekaran wilayah Papua yang saat ini masih diwarnai konflik.
Mardyanto mengingatkan, pembentuk UU harus bersikap hati-hati dalam menyikapi pro dan kontra terhadap RUU DOB Papua. Mereka yang pro pemekaran umumnya merupakan kelompok elite pragmatis lokal yang ingin mendapatkan posisi dan keuntungan politik jika terbentuk DOB. Sebaliknya, mereka yang kontra pemekaran adalah kelompok masyarakat strategis yang menilai pemekaran ini tidak membawa kebaikan bagi nasib mereka.
”Pemekaran ini mungkin akan menguntungkan kelompok elite pragmatis lokal yang menginginkan untuk bisa mendapatkan posisi politik jika terbentuk struktur pemerintahan DOB. Kepentingan ini bertemu dengan strategi politik dan keamanan pemerintah pusat untuk menjamin pengendalian teritorial yang lebih kuat di Papua,” katanya.
Dengan dibentuknya DOB, secara otomatis akan bisa dibentuk unit-unit pengamanan teritorial TNI dan Polri di daerah-daerah tersebut. Hal ini memungkinkan pengendalian situasi politik dan keamanan di daerah-daerah pemekaran sehingga diharapkan bisa ada stabilitas keamanan yang lebih baik.
Namun, menurut Mardyanto, selain aspek politik dan keamanan, pembentuk UU harus pula mempertimbangkan kondisi sosial-psikologis warga Papua. Bagi orang asli Papua, semakin banyak aparat keamanan di wilayah mereka berpotensi menimbulkan kekhawatiran tersendiri secara psikologis bagi mereka lantaran berbagai latar belakang kekerasan di masa lalu. Berbeda halnya bagi masyarakat pendatang, semakin banyak aparat keamanan akan membuat mereka merasa aman di Papua.
”Lapisan-lapisan situasi sosial di Papua ini harus pula dipahami oleh pembentuk UU. Sebab, penyebab konflik di Papua ini bermacam-macam, dan ada berlapis-lapis konflik yang bisa dipicu oleh banyak hal dan kepentingan. Jangan sampai pemekaran ini menjadi pemicu konflik lainnya,” ucapnya.
Aksi pembakaran sejumlah ruko oleh massa yang menolak pemekaran wilayah Papua di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Selasa (15/3/2022).
Problem Papua yang selama ini diharapkan dapat dituntaskan ialah soal hak asasi manusia (HAM). Menurut Mardyanto, selama persoalan utama tidak tersentuh, berbagai upaya lain, termasuk pemekaran wilayah, rentan memicu konflik baru.
Apalagi, lanjut Mardyanto, jika pemekaran wilayah itu dikaitkan dengan perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran Papua saat ini dinilai jauh relevansinya dengan tujuan tersebut. ”Pertimbangan politik dan keamanan agaknya lebih dominan dalam pemekaran Papua. Sebab, masih dipertanyakan apa relevansinya antara pemekaran dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua,” katanya.
Problem Papua yang selama ini diharapkan dapat dituntaskan ialah soal hak asasi manusia. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko)
Diakui pertimbangkan keamanan
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa tidak menampik adanya pertimbangan politik dan keamanan dalam pemekaran Papua. Sebab, dengan pemekaran itu dimungkinkan adanya kantor-kantor pemerintahan, kantor kepolisian, kodam atau satuan lainnya, dan unit-unit pemerintahan lainnya dari sisi keamanan yang pasti lebih strategis.
Namun, Saan menyebutkan tujuan utama pemekaran itu ialah percepatan pemerataan kesejahteraan. ”Jadi, agar di Papua ini, kan kalau dibuat DOB tentu dari sisi pelayanan pemerintahan akan menjadi lebih memudahkan. Hal itu berdampak pada pembangunan di sana yang akan lebih cepat karena secara pemerintahan, ekonomi, anggaran, dan sebagainya menjadi lebih fokus,” kata anggota Fraksi Nasdem itu.
Terkait pro dan kontra yang mengemuka terhadap pemekaran Papua, Saan mengatakan, semua pihak akan didengarkan dalam pembahasan di masa sidang berikutnya. ”Masukan-masukan yang pro dan kontra itu nanti harus dipertimbangkan. Langkah awal ialah mendengar aspirasi dari berbagai pihak,” ungkapnya.
DOKUMENTASI PRIBADI
Anggota DPD dari Papua Barat, Filep Wamafma
DPD mengawal
Adapun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan dilibatkan dalam pembahasan tiga RUU DOB Papua karenaketiga RUU itu terkait dengan kepentingan masyarakat di daerah. Wakil Ketua Komite I DPD Filep Wamafma mengatakan, pihaknya akan mengawal dan terlibat langsung dalam pembahasan.
Salah satu yang akan dipersoalkan oleh DPD ialah bentuk DOB setingkat provinsi yang dinilai tidak mewakili kebutuhan di Papua. ”Dari hasil kajian kami, saat ini yang dibutuhkan Papua ialah pemekaran setingkat kabupaten/kota, bukan setingkat provinsi. Sebab, orang Papua itu banyak tersebar di pegunungan, hutan, pesisir, dan mereka membutuhkan pelayanan publik yang dekat. Kalau bentuknya provinsi, siapa yang dilayani, karena orang-orang tersebar di kampung-kampung,” katanya.
Sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Filep, sudah ada beberapa pengusulan DOB setingkat kabupaten/kota di Papua yang dibekukan, yakni karena adanya moratorium 2014. Namun, ketika saat ini ada momentum pemekaran, yang diusulkan justru pemekaran provinsi dan bukannya kabupaten/kota yang sebelumnya diusulkan kepada pemerintah.
”Kalau pemekaran provinsi, hanya orang-orang di wilayah perkotaan yang diuntungkan, bukan orang-orang yang tinggal di kampung dan wilayah-wilayah pedalaman,” ucapnya.
Filep juga mengkritisi mekanisme penyusunan tiga RUU DOB Papua yang terkesan kurang menyerap aspirasi dari masyarakat Papua. Akibatnya, banyak penolakan mengemuka di lapangan. ”Kami ingin memastikan tiga RUU pemekaran ini benar-benar sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat Papua. Di dalam pembahasan, DPD pasti dilibatkan,” katanya.