Otonomi khusus tetap menjadi solusi untuk mempercepat pembangunan dan menyejahterakan masyarakat Papua dan Papua Barat. Kelemahan dari pelaksanaan otonomi khusus selama 20 tahun terakhir harus diperbaiki.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi salah satu perhatian dari Dewan Perwakilan Rakyat. Sesuai undang-undang itu, penyaluran dana otonomi khusus akan habis pada 2021 sehingga revisi dibutuhkan untuk memperpanjang penyaluran dana. Otonomi khusus tetap dipandang sebagai jalan terbaik dalam mengakselerasi pembangunan dan menyejahterakan masyarakat Papua dan Papua Barat.
Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin menggelar jumpa pers secara terpisah terkait isu Papua, di Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Azis mengatakan, DPR telah berkomunikasi dengan pemerintah dan memberikan dukungan, terutama kepada TNI/Polri, dalam menegakkan aturan menyusul peristiwa beberapa waktu terakhir di Papua. Upaya kelompok tertentu yang mendorong disintegrasi Papua dan Papua Barat sebaiknya ditindak.
”Khususnya dalam konteks Papua, tentu ini merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kami mengharapkan TNI/Polri menegakkan aturan perundang-undangan yang berlaku secara obyektif dan terukur,” kata Azis, yang didampingi anggota DPR dari daerah pemilihan Papua Barat, Robert Kardinal.
Menurut Azis, sikap tegas TNI/Polri itu diperlukan untuk menjaga kewibawaan negara dan keselamatan bagi masyarakat.
Sementara itu, Robert menegaskan, otonomi khusus adalah solusi yang terbaik untuk pembangunan Papua ke depan. Salah satu hal yang menjadi fokus DPR ialah pembahasan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
”Otonomi khusus adalah solusi yang terbaik untuk pembangunan Papua ke depan. Semuanya kita serahkan kepada pemerintah, tentu dengan dukungan dari teman-teman DPR dari Papua dan Papua Barat untuk melaksanakan revisi UU itu dengan baik, mendengarkan aspirasi dari semua rakyat, stakeholder, untuk masuk ke dalam UU yang ada. Yang belum sempurna, kita sempurnakan dan yang belum ada kita tambahkan agar UU itu bisa bermanfaat bagi masyarakat asli Papua dan semua yang hidup di sana,” jelasnya.
Di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Bambang Soesatyo mengimbau semua pihak, termasuk pemerintah daerah untuk memegang teguh tekad menegakkan NKRI dan tidak terpengaruh provokasi, propaganda, dan rongrongan dari pihak tertentu.
”Langkah-langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah mesti diambil secara tegas,” kata Bambang.
Sebelum memberikan pernyataan terkait Papua, Bambang bertemu Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, dan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal Teddy Lhaksmana.
Pendekatan kesejahteraan
Mahfud mengatakan, pemerintah akan selalu mengedepankan pendekatan kesejahteraan dalam menyikapi persoalan di Papua dan Papua Barat. Pemerintah bertekad memastikan kesejahteraan dapat dirasakan oleh rakyat Papua dan Papua Barat. Selama ini, dana otsus sangat besar, tetapi dana yang besar itu dikorupsi elite-elite di sana sehingga rakyat tidak merasakannya.
Pemerintah dalam waktu dekat juga menyiapkan revisi UU No 21/2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu menyangkut dua hal penting, yakni anggaran Otsus Papua yang diperbanyak, yakni dari yang sebelumnya 2 persen APBN akan ditingkatkan menjadi 2,25 persen APBN.
Kedua, mengatur soal pemekaran daerah di Papua. ”Pemekaran Papua agar yang mengurus lebih banyak dan teratur. Semuanya ini nanti akan mulai digarap sesuai prosedur perundang-undangan yang kita sepakati. Tujuan semuanya itu ialah kesejahteraan orang asli orang Papua,” kata Mahfud.
Empat akar masalah
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Sukamta mengatakan, dengan mengutip hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masih ada empat akar masalah yang hingga saat ini masih dijumpai di Papua.
Masalah itu ialah diskriminasi dan rasialisme, pembangunan di Papua yang belum mengangkat kesejahteraan, pelanggaran HAM serta soal status dan sejarah politik Papua.
”Otonomi khusus sudah berjalan hampir 20 tahun, tetapi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tertinggal dari daerah lain, padahal sudah puluhan triliun anggaran disalurkan. Belum lama ini muncul pemberitaan soal perusahaan sawit yang mengelola puluhan ribu hektar lahan yang berdampak hilangnya hak ulayat warga Papua. Ini menunjukkan tanah Papua selama ini hanya jadi lahan eksploitasi, pembangunan belum tuntas memanusiakan manusia,” katanya.
Oleh karena itu, Sukamta meminta pemerintah mengonsolidasikan unit-unit kerja yang tersebar di berbagai kementerian untuk berada di bawah Presiden secara langsung.
Ini penting supaya penanganan Papua bisa dilakukan secara lebih komprehensif dan supaya rakyat Papua betul-betul merasakan pembangunan, bukan hanya segelintir orang yang menjadi pejabat atau pendatang.
”Saat ini yang masih menonjol pendekatan keamanan. Ini penting, tetapi soal kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan penumbuhan ekonomi rakyat juga tidak kalah penting. Pelibatan warga Papua dalam proses ini juga mutlak dilakukan,” ujarnya.