Pembahasan Pemekaran Papua Jalan Terus di Tengah Kritik Publik
Setelah tiga RUU daerah otonom baru di Papua, yang meliputi RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan, disetujui sebagai RUU inisiatif DPR, pembahasannya diharapkan terbuka.

Suasana rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembentukan daerah otonom baru Papua terus berjalan meski banyak kritik dan penolakan. Pembentuk undang-undang pun diingatkan agar terbuka terhadap aspirasi warga Papua. Kritik dan penolakan tersebut disambut baik oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat demi terciptanya legislasi yang partisipatoris.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/4/2022), tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonom baru di Papua disetujui menjadi RUU inisiatif DPR. Ketiga RUU tersebut meliputi RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Kini, pembuat UU harus mulai fokus menyiapkan hal-hal krusial untuk dibahas dalam pembahasan tingkat I antara pemerintah dan DPR, yang menurut rencana akan dibahas dalam masa sidang berikutnya, pertengahan Mei 2022. Sebab, pada faktanya pembahasan legislasi itu terus bergulir di DPR kendati ada penolakan dari berbagai elemen masyarakat di lapangan ataupun sinyal peringatan dari sejumlah pihak.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman saat dihubungi di Jakarta, Rabu (13/4/2022), mengatakan, pembahasan tiga RUU itu terkesan sangat tergesa-gesa dan kurang melibatkan aspirasi masyarakat secara luas. Hal itu pun sangat disayangkan karena ketiga RUU tersebut sangat penting dan strategis menyangkut nasib Papua.
”Seharusnya, ini dapat dipertimbangkan kembali dengan menimbang banyaknya tanggapan dan peringatan yang disampaikan oleh berbagai pihak. Namun, tampaknya RUU ini jalan terus sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali mengawal pembahasan agar benar-benar sesuai tujuan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua,” ujar Herman.
Baca juga : DPD Minta Evaluasi Otonomi Khusus Papua
Menurut Herman, dalam pembahasan selanjutnya, pembentuk UU harus memperhatikan empat dimensi. Pertama, tata kelola pemerintahan yang terkait dengan perencanaan pembangunan, anggaran, serta pembentukan kebijakan maupun pelayanan publik di Papua. Aspek-aspek tata kelola pelayanan publik dan jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus menjadi fokus pertama pembahasan RUU.
Seharusnya, ini dapat dipertimbangkan kembali dengan menimbang banyaknya tanggapan dan peringatan yang disampaikan oleh berbagai pihak. Namun, tampaknya RUU ini jalan terus sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali mengawal pembahasan agar benar-benar sesuai tujuan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
”Kedua, terkait dengan pengelolaan lingkungan. Harus seperti apa lingkungan alam di Papua dikelola, termasuk bagaimana kualitas udara, air, dan tanah. Resiliensi lingkungan akan sangat menentukan bagaimana DOB (daerah otonom baru) itu dikembangkan bagi kesejahteraan warganya,” ucap Herman.

Aksi unjuk rasa penolakan pemekaran wilayah Papua oleh masyarakat di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Papua, Selasa (15/3/2022).
Dimensi berikutnya ialah mengenai kualitas sosial dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Selama ini, indeks pembangunan manusia (IPM) di wilayah Papua selalu menjadi yang terendah di Indonesia. Situasi ini harus berubah jika memang pemekaran daerah baru itu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Artinya, harus ada dampak nyata dari pemekaran tersebut kepada kehidupan sosial dan peningkatan IPM wilayah setempat. Harus pula dipikirkan mengenai akses pada pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. ”Pembentuk UU harus memperhatikan variabel-variabel bagaimana percepatan peningkatan SDM dilakukan di wilayah provinsi baru nanti,” katanya.
Keempat, menurut Herman, pembentuk UU harus memikirkan tentang pilar ekonomi, yakni bagaimana potensi ekonomi di wilayah-wilayah tersebut ditingkatkan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat.
Dengan adanya pemekaran Papua, seharusnya narasi-narasi ketertinggalan Papua harus berubah. Keseimbangan empat dimensi itu akan menentukan keberhasilan pemekaran di Papua. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara kontinu terhadap perkembangan pemekaran tersebut.
”Sebaiknya diberi durasi evaluasi, selama lima atau sepuluh tahun. Jika memang tidak berhasil, perlu diaktifkan lagi klausul soal penggabungan daerah. Sebab, selama ini pemerintah tidak tegas mengenai hal ini lantaran tidak ada evaluasinya,” tutur Herman.
Sebaiknya diberi durasi evaluasi, selama lima atau sepuluh tahun. Jika memang tidak berhasil, perlu diaktifkan lagi klausul soal penggabungan daerah. Sebab, selama ini pemerintah tidak tegas mengenai hal ini lantaran tidak ada evaluasinya.
Hal penting lainnya, agar pembahasan tiga RUU daerah otonom baru di Papua itu lebih produktif dan aspiratif, pembentuk UU diharapkan bersikap terbuka terhadap masukan publik dan menyertakan publik dalam pembahasan legislasi tersebut. ”Partisipasi masyarakat yang seharusnya menjadi panglima. Jangan sampai juga partisipasi itu tidak tecermin di dalam substansi legislasi,” katanya.
Terbuka aspirasi
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menyampaikan, setiap masukan, baik yang pro maupun kontra, akan didengarkan oleh DPR. Demikian pula mengenai masukan pemekaran Papua di tingkat kabupaten/kota sebagaimana usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
”Ketika pemekaran dilakukan di tingkat provinsi pun sebenarnya secara otomatis akan membuka pembentukan DOB di tingkat kabupaten/kota. Sebab, pasti ada kabupaten/kota di dalam provinsi baru tersebut,” ujar Saan.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus
Anggota Komisi II Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menambahkan, pemekaran diusulkan oleh Komisi II karena adanya masukan dari masyarakat ataupun unsur pemerintahan di wilayah Papua. ”Mereka silih berganti datang meminta pemekaran. Kalaupun ada yang kontra terhadap pemekaran, itu biasa saja dalam demokrasi,” katanya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menjelaskan, tujuan pemekaran Papua tak terlepas dari masalah pemerataan pembangunan serta mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua. Ia pun menyebut, jika ada warga yang ingin menyampaikan aspirasi mengenai pemekaran ini, Kemendagri sangat terbuka.
Pasti semua didengarkan. Kan, ini negara demokrasi, ada yang berbeda pendapat, itu biasa.
”Pasti semua didengarkan. Kan, ini negara demokrasi, ada yang berbeda pendapat, itu biasa,” ucap Akmal.
Baca juga : Otonomi Khusus Solusi Terbaik untuk Papua

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian seusai rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2022), menyebutkan, selain pertimbangan percepatan pembangunan, salah satu tujuan pemekaran Papua adalah untuk kepentingan pengendalian situasi politik dan keamanan di daerah-daerah pemekaran. ”Ya, di antaranya juga (pertimbangan keamanan),” katanya.
Selain pertimbangan percepatan pembangunan, salah satu tujuan pemekaran Papua adalah untuk kepentingan pengendalian situasi politik dan keamanan di daerah-daerah pemekaran.
Tito menjelaskan, pembangunan di Papua terlambat dibandingkan dengan daerah lain. Lebih dari itu, sebagai mantan Kepala Polda Papua, ia juga melihat adanya ketimpangan di Papua, khususnya di wilayah pegunungan. Untuk itu, ia berharap, pemekaran ini dapat mempercepat pembangunan di wilayah tersebut.
Ia meyakini, pemekaran wilayah dapat menjadi jawaban. Ia mencontohkan keberhasilan pemekaran itu di Provinsi Papua Barat yang merupakan pemekaran dari Provinsi Papua.
”Begitu Papua Barat dimekarkan, terjadi percepatan luar biasa. Sorong, Manokwari, yang dahulu kecamatan sudah berkembang. Tambrauw dahulu tertutup, Maybarat dahulu terisolasi, sekarang tumbuh terbuka,” kata Tito.