Bekas Wali Kota Bekasi Jadi Tersangka Pencucian Uang, Bagaimana dengan Edhy Prabowo?
Penerapan pasal pencucian uang pada tersangka korupsi harus diutamakan. Hal ini bisa memberatkan hukuman pada koruptor selain mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akibat korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemerintah Kota Bekasi, bekas Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi ditetapkan kembali sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Senin (4/4/2022), mengatakan, penerapan pasal pencucian uang terhadap Rahmat Effendi merupakan perkembangan dari perkara awal berupa kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di Pemkot Bekasi. Penetapan Rahmat sebagai tersangka TPPU ini juga dilakukan setelah tim penyidik mengumpulkan berbagai alat bukti, di antaranya pemeriksaan sejumlah saksi.
”Tim penyidik menemukan adanya dugaan tindak pidana lain yang dilakukan tersangka RE (Rahmat Effendi) sehingga dilakukan penyidikan baru dengan sangkaan TPPU,” ujar Ali.
Baca juga: Korupsi yang Terus Menghantui Bekasi
Berkaitan dengan perkara TPPU ini, Rahmat Effendi diduga telah membelanjakan, menyembunyikan atau menyamarkan kepemilikan sebenarnya atas harta kekayaan yang patut diduga dari hasil tindak pidana korupsi. Untuk mendalami hal tersebut, tim penyidik akan segera mengumpulkan dan melengkapi alat bukti di antaranya dengan menjadwalkan pemanggilan saksi-saksi.
Pada Senin ini, di Gedung KPK, Jakarta, KPK telah memanggil sejumlah saksi berkaitan dengan penyidikan perkara dugaan TPPU dengan tersangka Rahmat Effendi, di antaranya Sekretaris Dewan DPRD Kota Bekasi Hanan, Kepala Dinas Bina Marga Pemkot Bekasi Arif Maulana, Kepala Dinas Pendidikan Inayatullah, Kepala Badan Pengelolaan Pendapatan Keuangan Daerah Aan Suhanda, dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Abi Hurairoh.
Selain itu, tim penyidik memanggil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Yayan Yuliana, Kepala Dinas Kesehatan Tanti Rohilawati, Kepala Dinas Perhubungan Dadang Ginanjar, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Karto, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi Kusnanto, serta Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD Kota Bekasi Rina Oktavia.
Kasus TPPU
Selain terhadap Rahmat Effendi, pada 15 Maret 2022, KPK juga telah menerapkan TPPU terhadap bekas Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono. Penerapan TPPU ini merupakan pengembangan dari kasus suap pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Banjarnegara tahun 2017-2018, serta penerimaan gratifikasi.
”Sejauh ini, kami telah melakukan penyitaan terkait dengan aset-aset yang diduga milik tersangka ini (Budhi Sarwono), kurang lebih Rp 10 miliar,” tutur Ali.
Namun, KPK tak kunjung menetapkan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka TPPU. Padahal, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai beberapa bukti awal modus kejahatan cuci uang telah terungkap di persidangan. Hal ini, misalnya, tecermin dari modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti untuk menyamarkan aset hasil kejahatan maupun meminjam rekening orang ketiga untuk menerima sejumlah penerimaan suap.
Ali menjelaskan, KPK masih menunggu salinan lengkap putusan kasasi Edhy Prabowo. Jika sudah menerima salinan putusan tersebut, KPK bakal mempelajari dugaan TPPU oleh Edhy yang juga dapat menjerat pihak-pihak lain.
Baca juga: Dianggap Berpihak kepada Nelayan, MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo
”Salinan putusan itu menjadi penting bagi kami untuk kami pelajari fakta-fakta hukumnya, apakah kemudian ada penemuan yang bisa diterapkan TPPU khususnya ke Pasal 5, misalnya, ya, yaitu keterlibatan pihak-pihak lain yang turut menikmati hasil dari tindak pidana korupsi,” ucap Ali.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang TPPU disebutkan, setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Penikmat uang yang disebut dengan pelaku pasif itu bisa dipidana dengan pidana penjara maksimal lima tahun.
Sebelumnya, Edhy Prabowo mendapatkan potongan hukuman dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara dalam putusan kasasi Mahkamah Agung. Kinerja Edhy selama menjadi anggota kabinet yang dinilai baik menjadi pertimbangan hakim MA mengorting hampir separuh hukuman.
Jangan dianggap remeh
Pakar tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mendorong KPK agar lebih berani dalam menerapkan pasal TPPU terhadap pelaku korupsi jika telah disertai alat bukti yang cukup. Tak hanya bagi pelaku, KPK juga harus berani pula menjerat orang-orang dekat di sekitar pelaku yang patut diduga menikmati hasil korupsi.
Sejauh ini, menurut Yenti, KPK belum pernah menerapkan Pasal 5 TPPU. Padahal, penerapan pasal ini tidak kalah penting. Penerima uang hasil TPPU kerap kali tidak tersentuh dan justru menjadi celah bagi tindak kejahatan baru lagi setelah pelaku TPPU bebas. Misalnya, uang itu digunakan untuk pendanaan pemilu.
”Artinya, jika pelaku pasif tidak ditangkap, uang hasil korupsi aman dan itu bisa mendanai pemilu lagi. Ini merusak sendi-sendi demokrasi. Jadi, jangan dianggap remeh TPPU pasif. Para penjahat ekonomi itu harus disadarkan dan dicegah juga,” ucap Yenti.
Baca juga: Pasal Pencucian Uang Dibutuhkan untuk Telusuri Aset
Yenti pun mengingatkan KPK agar pengenaan pasal TPPU harus terus diutamakan. Pengenaan pasal TPPU itu juga harus menjadi surat dakwaan kumulatif dengan tindak pidana asalnya. Dengan begitu, hakim juga dapat memberikan pemberatan hukuman terhadap terdakwa karena terdakwa tersebut telah diduga melakukan beberapa tindak pidana dalam waktu yang berbeda (concursus realis).
”KPK harus berani menerapkan pasal TPPU ini agar uang hasil korupsi itu kembali ke negara. Jangan sampai KPK justru dipandang melindungi harta kekayaan koruptor,” kata Yenti.