Pasal Pencucian Uang Dibutuhkan untuk Telusuri Aset
Penerapan pasal pencucian uang terhadap tersangka kasus dugaan korupsi Asabri akan membantu penyidik menelusuri aset hasil kejahatan dan menyitanya. Terlebih, nilai kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 23 triliun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penerapan pasal tindak pidana pencucian uang dalam kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero) diperlukan untuk menelusuri kerugian keuangan negara yang mencapai Rp 23 triliun. Penyidikan tersebut diharapkan tidak hanya demi penegakan hukum, tetapi terutama untuk perlindungan nasabah.
Penyidik telah menetapkan satu orang tersangka lagi, yakni JS selaku Direktur Jakarta Emiten Investor Relation. Tersangka JS diduga bersama dengan tersangka BTS bersepakat untuk mengatur transaksi berupa jual dan beli saham milik tersangka BTS kepada Asabri serta menampung dana hasil keuntungan investasi tersebut untuk kepentingan pribadi.
Penyidik menyangkakan JS dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. JS adalah tersangka ke-9 dalam kasus tersebut.
Hingga saat ini, penyidik telah menyita beberapa barang bukti berupa lahan atas nama tersangka BTS berjumlah 131 eksemplar Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT HT seluas 183 hektar. Lahan tersebut terletak di Kecamatan Curugbitung, Kabupaten Lebak, Banten.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, penyidik telah menyita satu unit mobil Ferari type F12 Berlinetta, satu unit kapal LNG Aquarius atas nama PT Hanochem Shipping, sorta dokumen kepemilikan kapal sebanyak 9 kapal tongkang dan 10 kapal tunda milik tersangka HH. Selain itu turut disita pula tanah milik tersangka BTS seluas 194 hektar dan 33 hektar di Kabupaten Lebak.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih, ketika dihubungi, Selasa (16/2/2021), mengatakan, tersangka kasus Asabri semestinya sedari awal sudah disangka dengan pasal tindak pidana pencucian uang. Sebab, kasus tersebut terjadi dalam periode waktu yang panjang, yakni 2012 sampai 2019 dan polanya mirip dengan yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
"Kalau terjadi sudah sekian lama pasti sudah berpindah-pindah, termasuk berpindah wujud. Maka seharusnya sedari awal dinyatakan sebagai TPPU, mestinya Kejaksaan Agung jangan ragu," kata Yenti.
Menurut Yenti, sangkaan pencucian uang akan membantu penyidik menelusuri aset hasil kejahatan dan menyitanya. Terlebih, nilai kerugian negara dalam kasus Asabri sangat besar, yakni mencapai Rp 23 triliun. Pada kasus Asuransi Jiwasraya, nilai kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun.
Selain itu, penyidik diharapkan mengungkap modus terjadinya kasus tersebut hingga tuntas. Sebab, secara umum terdapat tiga model kejahatan di pasar modal. Pertama adalah manipulasi pasar atau \'menggoreng\' saham, kedua permainan dari orang dalam (insider trading), dan ketiga front running atau mencuri start.
Pengungkapan modus kejahatan tersebut, menurut Yenti, diperlukan tidak hanya demi penegakan hukum, tetapi juga untuk perlindungan nasabah atau konsumen ke depan. Pengungkapan modus tersebut juga penting sebagai bahan evaluasi dan perbaikan bagi para pemangku kepentingan di pasar modal maupun industri asuransi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu berpandangan, jika terjadi tindak pidana pada sebuah perusahaan asuransi, maka dapat dipastikan hal itu terkait tata kelola. Selain itu, di sebuah perusahaan asuransi pasti selalu ada beberapa komite, seperti komite investasi dan komite pengelolaan risiko.
"Ini semua mestinya jalan. Memang perusahaan asuransi jiwa itu nature-nya itu berinvestasi, tidak mungkin tidak berinvestasi," kata Togar.
Menurut Togar, regulasi di industri asuransi sudah mencukupi. Sementara, pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilainya sudah cukup bagus. Namun demikian, kemungkinan terjadinya tindak pidana tetap ada jika ada pihak yang dengan sengaja mencari celah.
Di sisi lain, lanjut Togar, berinvestasi di saham dari perusahaan berkinerja bagus juga tak menjamin akan aman atau tak terjadi masalah. Togar memberi contoh, meski sekitar 98 persen investasi BPJS Ketenagakerjaan ditempatkan di saham-saham terbaik (blue chip), bukan berarti akan aman atau tak terjadi masalah.
Sementara itu, dalam keterangan tertulis, Leonard mengatakan, pada Selasa (16/2), penyidik memeriksa dua saksi dalam kasus Asabri. Mereka adalah MA selaku Direktur PT Pool Advista Asset Management dan WW selaku Direktur Keuangan PT Asia Raya Kapital.
"Pemeriksaan saksi dilakukan guna mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti tentang tindak pidana korupsi yang terjadi pada PT Asabri," kata Leonard.