Yasonna Minta Dukungan Filipina untuk Pembentukan Perjanjian Ekstradisi ASEAN
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly bertemu dengan Menteri Kehakiman Filipina Menardo Guevarra di Manila, Filipina. Yassona dalam kesempatan itu juga meminta dukungan atas perjanjian ekstradisi ASEAN.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dan Filipina bersepakat meningkatkan kerja sama hukum di antara kedua negara, salah satunya dalam perjanjian timbal balik masalah pidana dan ekstradisi. Hal ini dilakukan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara, seperti korupsi dan terorisme.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bertemu dengan Menteri Kehakiman Filipina Menardo Guevarra di Gedung Departement of Justice of Philipine, Manila, Filipina, Jumat (25/3/2022). Dalam pertemuan itu, kedua negara menegaskan pentingnya peningkatan kerja sama hukum secara bilateral di bidang perjanjian timbal balik masalah pidana.
Yasonna, melalui keterangan tertulis, mengatakan, peningkatan kerja sama hukum di antara kedua negara ini akan memperkuat hubungan antara Filipina dan Indonesia. Hal ini mengingat keduanya telah memiliki perjanjian timbal balik masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) di bawah payung ASEAN.
Di sisi lain, Yasonna berharap, Filipina dapat mendukung pembentukan perjanjian ekstradisi se-ASEAN yang saat ini sedang dibahas dalam ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM) Working Group. Hal ini diharapkan dapat segera terwujud karena Indonesia dan Filipina juga telah memiliki perjanjian ekstradisi sejak tahun 1976.
”Kerja sama bidang hukum dan HAM, seperti perjanjian MLA dan ekstradisi, juga bermanfaat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, penanggulangan kejahatan transnational organized crimes, termasuk trafficking in persons, terrorism, smuggling of persons and goods, serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,” ujar Yasonna.
Penguatan kerja sama hukum, secara khusus terkait perjanjian ekstradisi di antara negara-negara di luar Indonesia, sangat penting. Sebab, lewat perjanjian ekstradisi, negara-negara itu sepakat mengekstradisi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara yang diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman bagi tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, sejak 2018 sampai 20 Januari 2022, jumlah daftar pencarian orang (DPO) yang ditangkap berjumlah 667 orang. Sementara itu, jumlah buron yang masuk DPO dan belum ditangkap 370 orang.
Berkolaborasi
Berkaitan dengan DPO, ada pula salah satu tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih buron hingga saat ini, yakni Harun Masiku. Harun Masiku merupakan buron kasus suap pergantian antarwaktu anggota DPR periode 2019-2024 yang menyeret bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan, melalui akun Youtube miliknya, menyatakan siap berkolaborasi dengan KPK dalam penangkapan Harun Masiku. Tawaran itu disampaikan karena ia menganggap KPK lamban dalam pencarian Harun.
“Buronan yang berkali-kali disebut, bahkan orang sering mendengar nama Harun Masiku, contohnya, itu justru tidak dicari. Bahkan, kami pun beberapa kali menawarkan, mau kami bantu? Semoga, enggak lama, kami dapatlah (Harun Masiku), insya Allah. Tetapi, enggak ada juga respon (dari KPK),” tutur Novel, yang kini menjadi pegawai di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
Secara terpisah, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengaku belum pernah dihubungi oleh Novel terkait tawaran kolaborasi pencarian Harun Masiku. Padahal, Novel memiliki nomor teleponnya.
“Teman saya, Novel mengatakan, pernah menawarkan untuk berkolaborasi. Saya selaku penanggung jawab penindakan dan eksekusi, saya tidak pernah mendengar kata-kata itu ke saya,” ujar Karyoto.
Ia melanjutkan, jika Novel memiliki informasi terkait keberadaan Harun Masiku, KPK sangat terbuka untuk berkolaborasi untuk menangkap buronan tersebut. Ia berharap, Novel bisa segera memberikan informasi tersebut kepada KPK. “Infonya saja sangat penting, tidak usah tenaga. Tenaga kami banyak,” ujarnya.
Karyoto sangat menyayangkan sikap Novel yang justru menyampaikan perihal keberadaan Harun Masiku secara terbuka lewat media sosial. Sebab, jika Harun Masiku mendengar hal itu, bukan tidak mungkin Harun Masiku malah akan melarikan diri lagi ke daerah lain dan semakin sulit ditangkap.
“Kalau kami mau mencari DPO, kan, kami tidak teriak-teriak ke mana-mana. Kalau teriak-teriak, sama aja, (DPO) malah kabur. Lebih baik kami diam, nanti saatnya ketahuan dan saatnya kami beraksi, dan insya Allah, mudah-mudahan dalam waktu dekat kalau memang segala sesuatunya sudah waktunya, pasti ketangkap,” kata Karyoto.
Lagi pula, Karyoto mengungkapkan, DPO KPK tidak hanya satu orang dan terbatas pada Harun Masiku. KPK masih memiliki enam tersangka lain yang masuk dalam DPO.