Setelah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Ditandatangani...
Setelah diperjuangkan sejak tahun 1998, Indonesia-Singapura akhirnya memiliki perjanjian ekstradisi. Pemerintah meyakini perjanjian itu akan mempersempit ruang gerak para koruptor. Benarkah?
Babak baru kerja sama strategis Indonesia-Singapura tertoreh di Pulau Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Setelah 55 tahun menjalin hubungan diplomatik, kedua negara akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi.
Penandatanganan perjanjian ekstradisi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Hukum Singapura K Shanmugam disaksikan langsung Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Yasonna menjelaskan, Pemerintah RI telah mengupayakan adanya sebuah perjanjian ekstadisi dengan Singapura sejak 1998. Indonesia berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan pada masa depan. Perjanjian ini memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian. Asalkan, tindak pidana tersebut telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura.
Dalam perjanjian itu setidaknya terdapat 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diesktradisi. Di antaranya, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, perjanjian ekstradisi itu memiliki masa retroaktif berlaku 18 tahun ke belakang. Perjanjian ini juga menyepakati penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. ”Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya,” ucap Yasonna.
Baca juga: Sepuluh Kerja Sama Ditandatangani Indonesia-Singapura, Salah Satunya Pelayanan Ruang Udara
Kedua negara juga sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi. Perjanjian ini tentu akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia agar tidak melarikan diri. Pasalnya, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan, di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat China, dan Hong Kong.
”Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” kata Yasonna.
Secara khusus, bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau. Termasuk memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Permudah KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut gembira atas penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura. Perjanjian ekstradisi ini tidak hanya mempermudah KPK dalam menangkap dan memulangkan koruptor, tetapi juga akan berimbas pada upaya optimalisasi pemulihan aset tindak pidana korupsi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengapresiasi perjanjian antarkedua negara tersebut. Sebab, menurut dia, ini akan sangat berdampak pada upaya pemberantasan korupsi di dalam negeri.
”Harapan kami, pernjanjian ini akan mempererat hubungan kedua negara dan memperkuat kedua negara dalam upaya bersama pemberantasan tindak pidana transnational crime, termasuk tindak pidana korupsi,” ujar Firli.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menambahkan, KPK mendukung penuh penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian tersebut akan menjadi akselerasi progresif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Melalui regulasi ini, lanjutnya, semua instrumen yang dimiliki kedua negara akan memberikan dukungan penuh terhadap upaya ekstradisi dalam rangka penegakkan hukum kedua negara, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. Perjanjian ekstradisi ini tentunya tidak hanya mempermudah proses penangkapan dan pemulangan tersangka korupsi yang melarikan diri atau berdomisili di negara lain, tetapi juga akan berimbas positif terhadap upaya optimalisasi pemulihan aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
”Karena tidak dimungkiri bahwa aset pelaku korupsi tidak hanya berada di dalam negeri, tetapi juga tersebar di beberapa negara lainnya. Maka, dengan optmalisasi perampasan aset tersebut, kita memberikan sumbangsih terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak,” ujar Ghufron.
Dengan begitu, kata Ghufron, perjanjian ekstradisi ini menjadi sebuah tonggak langkah maju pemberantasan korupsi, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi pemberantasan korupsi pada skala global.
Belum cukup
Pakar tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, penandatanganan perjanjian tersebut tentu menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi Indonesia. Namun, itu belum cukup. Aparat penegak hukum harus segera memetakan berapa buron di Singapura.
Lebih dari itu, DPR dan pemerintah juga harus segera meratifikasi perjanjian tersebut menjadi undang-undang. Ia khawatir, jika prosesnya berlama-lama, para koruptor justru telah kabur dan membawa hasil korupsinya.
”Sekarang gerak cepat. Harus segera (diratifikasi). Jangan kalah cepat dengan mereka, keburu pindah lagi,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan ini.
Baca juga : Presiden Kembali Ingatkan Perlu Upaya Luar Biasa untuk Berantas Korupsi
Menurut Yenti, dengan penandatanganan perjanjian ekstradisi ini, ruang gerak para koruptor akan menjadi sempit. Mereka tak bisa lagi bersembunyi di Singapura. Ia pun berharap pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar pemulihan aset hasil tindak pidana menjadi lebih efektif. ”Tidak cukup kalau hanya menangkap buron, tetapi juga lacak uang hasil kejahatannya,” ujar Yenti.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menambahkan, dengan masa retroaktif 18 tahun, perlu dipertanyakan efektivitas perjanjian ekstradisi ini, terutama menyangkut tindak pidana korupsi yang terjadi pada 1999. Misalnya, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Apalagi, perjanjian ekstradisi ini juga masih harus menunggu pengesahan di DPR.
”Apakah (masa retroaktif) 18 tahun cukup menjangkau buron BLBI?” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), TB Hasanuddin, berpendapat, secara umum, penandatanganan perjanjian ini merupakan sebuah perkembangan yang baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Artinya, pemerintah serius untuk mengupayakan penegakan hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar negeri, khususnya Singapura.
Meskipun demikian, persoalan korupsi tidak hanya sebatas menangkap pelakunya, tetapi juga persoalan aset hasil korupsi yang harus dikembalikan kepada negara. ”Saya belum melihat naskah perjanjiannya, apakah juga mengikutsertakan klausul untuk membekukan dan merampas aset hasil korupsi oleh koruptor warga negara Indonesia yang ada di Singapura,” ucapnya.
Pulangkan pelaku
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi penandatanganan kerja sama ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Singapura. Kerja sama tersebut dinilai akan sangat membantu kedua negara dalam kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, seperti kejahatan ekonomi (korupsi dan tindak pidana pencucian uang), terorisme, dan narkoba.
”Ke depan, kejahatan ekonomi akan semakin mendominasi, kejahatan berkaitan dengan teknologi informasi sehingga setiap negara butuh kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ekonomi dan pencucian uang,” katanya.
Namun, ia berharap agar perjanjian ekstradisi tersebut tidak hanya dilakukan di atas kertas semata atau hanya hitam di atas putih sehingga kemudian tidak terealisasikan. Oleh karena ini, Boyamin meminta ada proyek percontohan dengan melakukan ekstradisi pelaku tindak pidana pada tahun ini.
”Perlu ada pemulangan orang-orang yang melakukan kejahatan yang kini ada di Singapura ke Indonesia. Tidak tahu siapa, saya tidak akan menyebut karena ada beberapa nama. Dengan begitu, perjanjian itu tidak hanya di atas kertas, tetapi ada pelaksanaannya,” ujar Boyamin.
Lebih lanjut ia menambahkan, ke depan dipastikan akan ada banyak orang yang melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, atau narkoba yang dipulangkan dari Singapura ke Indonesia atau sebaliknya. ”Kita minta kebaikan Singapura untuk memberikan satu atau dua orang untuk dipulangkan ke Indonesia dari buron yang ada sehingga kita menganggap atau paling tidak bisa menilai keseriusan Singapura,” ucapnya.