Setelah Terbukti Menyuap Penyidik KPK, Keterlibatan Azis di Perkara DAK Ditelusuri
Bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menyuap bekas penyidik KPK, Robin Pattuju, diduga agar KPK tidak mengusut dugaan korupsi DAK Lampung Tengah yang melibatkan Azis.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin terbukti menyuap eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Stepanus Robin Pattuju, terkait dengan penanganan perkara di KPK. Putusan Azis ini menjadi penguat bagi KPK untuk menelusuri keterlibatan Azis dalam kasus dugaan korupsi dana alokasi khusus atau DAK Lampung Tengah.
Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (17/2/2022), memvonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan terhadap Azis. Azis terbukti telah meminta Stepanus untuk memantau dan mengawal agar ia dan orang kepercayaannya, Aliza Gunado, tidak dijadikan tersangka dalam penyelidikan KPK terkait dengan pengurusan DAK di Lampung Tengah. Sebagai kompensasi, Stepanus akan diberi imbalan sebesar Rp 4 miliar, masing-masing Rp 2 miliar dari Azis dan Aliza.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Kamis (17/2/2022), mengatakan, hingga saat ini, penyelidikan terkait dengan kasus dugaan korupsi DAK Lampung Tengah masih terus dilakukan. Jika kemudian ditemukan ada peristiwa pidana korupsi dan bukti permulaan yang cukup, bukan tidak mungkin KPK akan menetapkan tersangka dalam kasus itu.
”Kami pastikan siapa pun yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum akan ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Ali.
Dalam sidang kasus suap penanganan perkara di KPK dengan terdakwa Robin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (1/11/2021), salah satu saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dari KPK, yakni bekas Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah Taufik Rahman, membeberkan permintaan imbalan hingga uang suap yang diberikan kepada Azis melalui dua orang kepercayaannya.
Awalnya, menurut Taufik, Pemkab Lampung Tengah ingin mengajukan proposal usulan tambahan anggaran untuk DAK di APBN-P 2017 kepada pemerintah pusat. Setelah pengajuan proposal itu, Taufik ditemui seorang konsultan swasta bernama Darius. Dalam pertemuan itu Darius memberi tahu bahwa ada orang dari Jakarta yang bisa membantu mengurus tambahan DAK bernama Aliza. Aliza disebut orang kepercayaan Azis yang kala itu masih menjabat Ketua Badan Anggaran DPR.
Dalam pertemuan, Aliza berjanji menjadi perantara dengan Azis. Pemkab mengajukan usulan DAK sebesar Rp 300 miliar, tetapi kemudian atas permintaan Aliza direvisi menjadi Rp 130 miliar. Proposal pun dibuat dan Taufik sempat bertemu kembali dengan Aliza.
Namun, Bupati Lampung Tengah saat itu, Mustafa, meminta Taufik menghubungi Edi Sujarwo yang juga mengaku sebagai orang kepercayaan Azis. Mustafa memintanya karena ia tidak mengenal Aliza. Komunikasi lantas terjalin antara Taufik dan Sujarwo. Sujarwo pun meminta uang pengurusan proposal sebesar Rp 200 juta. Setelah itu, Sujarwo sempat mempertemukan Taufik dengan Azis.
Dalam pertemuan, Azis mengemukakan bahwa Lampung Tengah mendapatkan alokasi DAK Rp 25 miliar. Taufik kemudian menanyakan apakah alokasi bisa ditambah lagi, tetapi Azis mengatakan tidak bisa karena APBN-P 2017 segera disahkan. Penolakan Azis sempat dipertanyakan karena semula tim Azis, Aliza, dan Sujarwo menjanjikan Rp 90 miliar. Namun, alokasi DAK Rp 25 miliar tetap tak berubah.
Tim Azis lantas menagih imbalan sebesar 8 persen dari DAK Lampung Tengah karena sudah disepakati sejak awal.
Jadi pelajaran
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho, menilai, meski kasus suap Azis belum berkekuatan hukum tetap, KPK tetap bisa menetapkan Azis sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi DAK Lampung Tengah. Namun, itu tentu harus disertai dengan bukti permulaan yang cukup.
”Kan, ada delik yang berdiri sendiri, antara suap dan korupsi. Jadi, perkara (suap) ini yang diputus, lalu ada perkara lain yang disidik, bisa. Jadi, seseorang juga sebagai tersangka, tetapi juga tersangka kasus yang lain,” kata Hibnu.
Seharusnya, menurut Hibnu, kedua perkara itu bisa disatukan. Namun, biasanya ada pertimbangan sendiri dari penyidik sehingga perkara-perkara tersebut akhirnya tidak disatukan, entah itu locus (tempat seseorang melakukan suatu tindak pidana) yang berbeda, tempus (waktu terjadinya pidana) yang berbeda.
Yang pasti, lanjut Hibnu, jika kedua perkara itu sudah diputus, biasanya yang dipilih adalah putusan dengan hukuman terberat ditambah sepertiga dari putusan yang inkrah. Hal itu disebabkan Indonesia tidak mengenal hukuman kumulatif.
”Jadi, nanti dilihat, mana hukuman yang terberat, kasus DAK Lampung Tengah atau yang kasus suap ini. Nanti tinggal ditambah sepertiga dari putusan yang inkrah,” ucap Hibnu.
Berkaitan dengan kasus korupsi yang melibatkan eks penyidik KPK, menurut Hibnu, ini harus menjadi pelajaran bagi aparat penegak hukum yang lain. Penegak hukum harus berintegritas.
”Jangan sampai kasus ini menjadi suatu preseden sehingga langkah tepat adalah bagaimana negara langsung menindak tegas. Ini bisa menjadi contoh bagi penegak hukum yang lain. Ini harus jadi pelajaran,” kata Hibnu.
Karena itu, lanjut Hibnu, hukuman yang berkaitan dengan suap terhadap penegak hukum bisa lebih berat. Tentu, penegak hukum yang menerima suap juga perlu mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi.
”Mereka, kan, harus memberikan contoh karena mereka ini aparat penegak hukum. Kalau enggak, itu akan jadi preseden. Karena, penegak hukum itu sebagai penjaga gawang dalam penanganan kasus-kasus hukum yang ada, di mana pun berada, di Indonesia. Bagaimana mau percaya pada penegakan hukum kalau penegak hukumnya sudah tidak baik, sudah rusak,” ucap Hibnu.