Lagi-lagi, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar berurusan dengan Dewan Pengawas KPK karena diduga melanggar kode etik. Jika kasus ini tak segera dituntaskan Dewas, citra KPK bukan tak mungkin bakal terpuruk.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Kasus komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Lili Pintauli Siregar, kini memasuki babak baru. Setelah menampik tuduhan tidak etik berkomunikasi dengan pihak yang tengah diperiksa oleh KPK sendiri, Lili sekarang harus menangkis tuduhan baru dari Dewan Pengawas KPK.
Tentu saja, kasus ini membuat KPK tidak pernah sepi dengan persoalan internalnya. Banyak yang menilai, akibat kasus Lili, KPK kembali menghadapi tantangan berat untuk memulihkan kepercayaan publik. Tentu saja, jika Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang harus berurusan dengan Dewas KPK terbukti dengan tudingan melanggar kode etik tersebut, citra KPK bisa terimbas kembali.
Apa pun, jika kebisingan di internal kelembagaan ini tak segera berakhir, bukan tidak mungkin juga KPK dapat tergerus citranya. Mendekati titik nadir citranya, tentu jangan sampai terjadi pada KPK. Pasalnya, KPK yang sekarang ini kerap melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala daerah yang terlibat korupsi hingga kini masih diharapkan tetap menjadi garda depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pada April 2021, Lili menggelar jumpa pers terkait tudingan terhadap dirinya karena telah berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Ia menepis komunikasi tersebut terkait penanganan perkara.
Namun, nyatanya, yang disampaikan oleh Lili tersebut bertentangan dengan temuan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi serta berkomunikasi dengan Syahrial. Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Kami meminta Dewas memberi sanksi seadil-adilnya. Kami juga berharap Dewas tidak menjadikan putusan perkara sebelumnya sebagai alasan untuk tidak menindaklanjuti laporan dugaan kebohongan publik.
Perbedaan keterangan Lili dengan temuan Dewas itu kemudian dipermasalahkan oleh sejumlah eks pegawai KPK, yakni Rieswin Rachwell, Benydictus Siumlala, Ita Khoiriyah, dan Tri Artining Putri. Lili dilaporkan kembali ke Dewas KPK atas dugaan pembohongan publik.
Ketua eks pegawai KPK yang tidak lolos penilaian dan membentuk organisasi dengan nama Indonesia Muda (IM) 57+ Institute, M Praswad Nugraha, mengatakan, kejujuran adalah nilai integritas yang dijunjung KPK selama ini. Karena itu, Dewas seharusnya menindaklanjuti laporan dan memberi sanksi tegas terhadap Lili.
Sebagai otoritas tertinggi dan gerbang utama dalam menjaga integritas KPK, lanjut Praswad, Dewas seharusnya bertindak tegas dan tidak menoleransi (zero tolerance) pelanggaran-pelanggaran etik di internal KPK. Apalagi, pelanggaran tersebut dilakukan oleh pimpinan KPK.
”Kami meminta Dewas memberi sanksi seadil-adilnya. Kami juga berharap Dewas tidak menjadikan putusan perkara sebelumnya sebagai alasan untuk tidak menindaklanjuti laporan dugaan kebohongan publik,” ujar Praswad.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, pun menekankan, penyebaran berita bohong berbeda dengan pelanggaran etik yang sebelumnya diperiksa oleh Dewas KPK. Sebelumnya, Dewas baru memeriksa Lili dalam kaitannya menjalin komunikasi dengan pihak yang sedang beperkara, bukan tentang penyebaran berita bohong.
”Untuk itu, ICW berharap Dewas bersikap obyektif dan tidak melindungi Lili,” ucap Kurnia.
ICW berharap Dewas bersikap obyektif dan tidak melindungi Lili.
Bagi ICW, pelanggaran etik yang dilakukan Lili sudah terang benderang. Pertama, Lili diduga melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Dewas, Pimpinan, dan Pegawai KPK, yang memerintahkan insan KPK untuk bertindak jujur dalam pelaksanaan tugas. Kedua, Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Peraturan Dewas No 2/2020 terkait larangan bagi insan KPK menyebarkan berita bohong.
”Jika kemudian laporan eks pegawai KPK ke Dewan Pengawas terbukti, ICW meminta agar Dewan Pengawas segera merekomendasikan kepada Lili untuk menanggalkan jabatannya sebagai komisioner KPK,” tegas Kurnia.
Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, membenarkan soal adanya aduan terkait dugaan pembohongan publik yang dilakukan Lili. Menurut dia, pengaduan etik atas Lili tersebut tengah diproses di Dewas KPK. Namun, ia enggan membeberkan lebih detail sejauh mana proses tersebut telah berjalan.
Dihukum maksimal
Pelanggaran etik di tubuh KPK yang melibatkan unsur pimpinan bukan kali ini saja terjadi. Pada September 2020, pucuk pimpinan lembaga tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri, juga terbukti melanggar etik karena menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi. Atas pelanggaran tersebut, Firli diberikan teguran tertulis II di mana selama enam bulan tidak boleh mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan tugas belajar atau pelatihan.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai, Presiden Joko Widodo tidak bisa berdiam diri melihat situasi KPK saat ini. Presiden sebagai pemimpin tertinggi di rumpun eksekutif harus ikut menjaga marwah lembaga-lembaga di bawah naungannya. Menurut dia, baik Lili maupun Firli patut dihukum maksimal dengan pemberhentian oleh Presiden Jokowi.
”KPK kehilangan integritas dan hak moral dengan beberapa komisioner yang melakukan pelanggaran etika dan delik korupsi,” ucap Azyumardi.
KPK kehilangan integritas dan hak moral dengan beberapa komisioner yang melakukan pelanggaran etika dan delik korupsi.
Ironisnya, lanjut Azyumardi, Dewas KPK yang juga diharapkan mampu menjaga marwah dan integritas KPK justru seakan melindungi perbuatan kedua komisioner tersebut. Hal itu terlihat dari tidak diberikannya sanksi tegas terhadap mereka. Jika terus begini, ia memastikan, kepercayaan publik terhadap KPK akan tergerus.
Dalam survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada awal Desember 2021, tingkat kepercayaan KPK terus merosot dari tahun ke tahun. KPK berada di peringkat kelima sebagai institusi yang dipercaya publik. Padahal, sebelumnya, KPK berada di peringkat kedua atau ketiga.
Sibuk persoalan internal
Selama 2021, KPK sangat bising di internal sehingga tidak punya fokus dan perhatian yang cukup untuk melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi secara strategis.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, selama 2021, KPK terus disibukkan dengan persoalan internal. Ada dua persoalan pokok, yakni tes wawasan kebangsaan yang berujung pada pemberhentian 57 pegawai KPK serta pelanggaran etik yang terjadi di internal KPK. Secara khusus, pelanggaran etik di internal KPK pun melibatkan tak hanya unsur pegawai, tetapi juga pimpinan.
”Jadi, selama 2021, KPK sangat bising di internal sehingga tidak punya fokus dan perhatian yang cukup untuk melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi secara strategis,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, pekerjaan rumah KPK ke depan adalah memperbaiki nilai integritas di internal KPK. Nilai integritas ini harus terus dibangun, terutama dari pimpinan, agar dapat menjadi teladan bagi seluruh insan KPK yang lain. Pembangunan nilai integritas ini juga penting karena KPK tidak akan lagi dipercaya oleh publik tanpa nilai integritas.
”Penegakan kode etik yang zero tolerance, tidak ada toleransi terhadap pelanggaran etik. KPK harus mampu mengembalikan nilai integritas di internal KPK agar kemudian kepercayaan publik itu pulih kembali,” ucap Zaenur.