Ancaman Terbaru Marwah KPK dari Kasus Kedua Lili Pintauli
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar kembali diadukan ke Dewas KPK karena diduga menyalahgunakan kewenangannya. Di kasus pertama, ia terbukti menyalahgunakan pengaruhnya, tetapi lolos dari sanksi pemberhentian.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Untuk kedua kalinya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar dilaporkan melanggar kode etik ke Dewan Pengawas KPK. Kali ini, Lili diduga menyalahgunakan wewenangnya karena mempercepat eksekusi penahanan bekas Bupati Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, Khairuddin Syah Sitorus. Tindakan Lili mempercepat eksekusi menguntungkan salah satu kontestan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Labuhanbatu Utara 2020.
Berdasarkan surat pengaduan dugaan pelanggaran etik dan perilaku terhadap Lili yang dikirim oleh eks penyidik senior KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata, kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Lili disebut berkomunikasi dengan salah satu kontestan pilkada bernama Darno. Darno meminta Lili untuk mempercepat eksekusi penahanan Khairuddin yang saat itu menjadi tersangka KPK.
Percepatan penahanan diharapkan dapat menjatuhkan suara dari calon lain di pilkada, yaitu Hendri Yanto Sitorus, anak Khairuddin.
Berdasarkan catatan Kompas, KPK menahan Khairuddin atas dugaan suap terkait proses penganggaran dana alokasi khusus dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018 pada 10 November 2020 atau sebulan sebelum hari pemungutan suara Pilkada Labuhanbatu Utara pada 9 Desember 2020. Kala itu, Lili yang menjelaskan dasar penahanan Khairuddin kepada awak media.
Lili menyebutkan, perkara yang melibatkan Khairuddin merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam Rancangan APBN Perubahan Tahun Anggaran 2018 yang diawali dengan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 4 Mei 2018, di Jakarta.
”LPS (Lili Pintauli Siregar), selain terlibat dalam pengurusan perkara bupati Tanjungbalai, juga terlibat dalam perkara lainnya, yaitu perkara Labuhanbatu Utara yang saat itu kami tangani selaku penyidiknya,” kata Novel dalam surat pengaduan.
Menurut Novel, Khairuddin juga mengantongi bukti-bukti pertemuan antara Darno dan Lili. Bukti itu juga telah diserahkan kepada Dewas KPK saat sidang pelanggaran etik Lili di perkara Tanjungbalai. Saat itu, majelis sidang etik meminta bukti-bukti terkait dengan dugaan pelanggaran Lili dalam perkara Labuhanbatu Utara.
Bukti pendukung diserahkan kepada Sekretariat Dewas yang telah ditandatangani per 12 Agustus 2021. Namun, sayangnya, Lili hanya disidang etik untuk perkara Tanjungbalai. Tidak ada fakta pemeriksaan klarifikasi atau persidangan Lili untuk perkara Labuhanbatu Utara.
”Tidak ada fakta pemeriksaan klarifikasi atau fakta persidangan etik terkait perbuatan LPS di perkara Labuhanbatu Utara sehingga pelapor menyampaikan pengaduan ini kembali kepada Dewan Pengawas KPK,” terang Novel.
Pelapor meminta Dewas memproses laporan tersebut untuk kepentingan keberlangsungan gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Selain itu, untuk menjaga marwah serta integritas pimpinan dan organisasi KPK.
Kompas telah mencoba menghubungi Lili untuk meminta klarifikasi terkait laporan tersebut. Namun, telepon genggamnya mati. Pesan singkat yang dikirim pun tak berbalas.
Laporan sumir
Adapun anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, saat dimintai konfirmasi terkait laporan itu, Jumat (22/10/2021), mengatakan laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik sudah diterima oleh Dewas KPK. Namun, materi laporan dianggap sumir. Sebab, perbuatan Lili yang diduga melanggar etik tidak dijelaskan. Selain itu, isi komunikasi Lili dengan kontestan Pilkada Labuhanbatu Utara 2020 dinilai kurang jelas.
”Setiap laporan pengaduan dugaan etik oleh insan KPK harus jelas apa fakta perbuatannya, kapan dilakukan, di mana tempatnya, siapa saksinya, dan apa bukti awalnya,” kata Syamsuddin.
Sebelumnya, pada 30 Agustus 2021, Dewas KPK telah memutus bersalah Lili Pintauli Siregar karena menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak lain yang beperkara di KPK, yaitu Bupati Tanjungbalai nonaktif M Syahrial. Lili mendapatkan hukuman berupa sanksi pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, berpandangan, perbuatan Lili tidak hanya melanggar moral dan etik sebagai pimpinan KPK, tetapi juga pidana.
ICW telah menindaklanjuti putusan Dewas KPK yang dinilai ringan dalam perkara Tanjungbalai dengan melaporkan Lili ke Bareskrim Polri. Lili dilaporkan melanggar Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal 36 Huruf (a) UU KPK menyebutkan pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun. Apabila ketentuan itu dilanggar, Pasal 65 UU KPK menyebut pelaku dapat dipidana penjara maksimal lima tahun.
Dalam sidang dugaan suap penyidik KPK, Stephanus Robin Pattuju, Senin (11/10/2021), M Syahrial mengungkapkan, dirinya berkomunikasi dengan Lili. Lili memberitahukan bahwa ada berkas atas nama Syahrial di mejanya. Berkas itu diduga terkait suap jual beli jabatan sekda di Pemerintah Kota Tanjungbalai tahun 2019. Syahrial kemudian meminta bantuan kepada Lili. Namun, Lili mengatakan tidak bisa membantu karena berkas sudah sampai kepada pimpinan.
”Bu Lili sampaikan agar banyak-banyak berdoa dan mohon petunjuk. Dia tidak bisa membantu karena berkas sudah sampai di meja pimpinan,” kata Syahrial.
Syahrial kemudian meminta petunjuk kepada Lili terkait permasalahan hukumnya. Lili mengarahkan agar kasus tersebut diselesaikan oleh pengacara bernama Arif Aceh. Namun, Syahrial urung menjalankan saran itu karena mendapatkan informasi dari Robin bahwa Arif Aceh dianggap sebagai pengacara ”pemain” di KPK. Syahrial memilih menyelesaikan perkara itu melalui penyidik KPK, Robin, yang dia kenal melalui bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
Lantas bagaimana peran Lili dalam perkara bekas Bupati Labuhanbatu Utara? Apakah benar yang dilaporkan Novel dan Rizka? Akan lebih baik jika Dewas KPK berinisiatif mendalaminya tanpa harus menunggu bukti yang lebih detail. Ini demi menjaga marwah KPK sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap KPK yang terus tergerus setelah revisi UU KPK pada 2019.