Pilih Anggota KPU-Bawaslu, Asas Representasi Tetap Jadi Pertimbangan DPR
Selain kapabilitas, integritas, dan independensi, representasi seperti latar belakang organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan, kepercayaan, serta daerah juga menjadi pertimbangan dalam memilih calon KPU-Bawaslu.
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan dalam organisasi, baik kemahasiswaan, kemasyarakatan, dan keagamaan, serta asal daerah tetap menjadi pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih penyelenggara pemilu periode 2022-2027. Representasi organisasi tertentu tidak menjadi persoalan sepanjang memenuhi kriteria sebagai penyelenggara pemilu, bukan pesanan atau hasil transaksi politik.
Dari 14 nama calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan 10 calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang diserahkan Tim Seleksi Calon Anggota KPU-Bawaslu ke Presiden Joko Widodo, sebagian besar pernah aktif dalam kepengurusan organisasi, baik gerakan kemahasiswaan, kemasyarakatan, dan keagamaan. Dari 14 calon anggota KPU, misalnya, enam di antara pernah aktif di HMI dan terlibat dalam kepengurusan di pusat maupun daerah.
Betty Epsilon Idroos merupakan Ketua Umum Korps HMI Wati (KOHATI) PB HMI periode 2004-2006. Sebelum menjadi anggota KPU DKI Jakarta pada tahun 2013, ia pernah menjadi tenaga ahli Komisi II DPR yang membidangi politik dan pemerintahan dalam negeri, termasuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU dan Bawaslu. Betty juga pernah aktif sebagai sukarelawan pembela HAM dan demokrasi, serta terlibat dalam dunia kepemiluan.
Calon anggota KPU lain, Idham Holik, pernah aktif dalam kepengurusan HMI Cabang Bekasi, Jawa Barat. Ada pula Iwan Rompo Banne, Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI periode 2004-2006. Parsadaan Harahap yang juga masuk dalam daftar 14 nama calon anggota KPU pernah menjadi pengurus PB HMI 1997-1999 sebagai pengurus Departemen Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan. Begitu pula Muchammad Ali Safa'at dan Viryan Azis, masing-masing aktif dalam kepengurusan HMI di Malang dan Pontianak. Saat ini, keduanya juga aktif dalam kegiatan di Keluarga Alumni HMI (Kahmi).
Tiga calon anggota KPU lain masuk dalam kepengurusan PMII dan NU. Dahliah, salah satunya, pernah menjabat sebagai Ketua Korps Putri PMII. Ia masuk menjadi anggota KPU DKI Jakarta pada tahun 2008 dan kemudian pada 2012 ditetapkan sebagai Ketua KPU DKI Jakarta menggantikan Juri Ardiantoro yang terpilih sebagai komisioner KPU pusat. Juri merupakan Ketua Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027.
Selain itu ada Hasyim Asy'ari yang merupakan Koordinator Divisi Pers dan Advokasi Masyarakat PMII Cabang Purwokerto 1994-1995. Dosen Hukum Tata Negara Undip itu juga pernah menjadi Wakil Ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah 2010-2014, Kepala Satuan Koordinasi Wilayah Banser Jateng 2014-2018, dan dipercaya menjadi Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU 2012-2017. Calon lain, yakni Mochammad Afiffudin, merupakan Bendahara Umum PB PMII 2008-2011 dan masuk dalam kepengurusan PP GP Ansor, organisasi kepemudaan NU.
Selanjutnya, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi merupakan Ketua DPC GMNI Yogyakarta 1994-1996 dan dua kali menjadi Ketua Persatuan Alumni GMNI Bali (2006-2015). Selain itu, Yulianto Sudrajat merupakan Ketua KPU Jateng yang pernah menjadi DPC GMNI Surakarta tahun 1996.
Baca Juga: Ini 24 Nama Calon Anggota KPU dan Bawaslu yang Diserahkan ke Presiden
Calon anggota KPU lain, August Mellaz, pegiat kepemiluan yang kini merupakan anggota Tim Kajian Sistem Politik dan Pemilu itu pernah aktif di GMKI. Adapun Iffa Rosita yang saat ini bertugas sebagai anggota KPU Kalimantan Timur merupakan Ketua Bidang Immawati IMM Samarinda 1998-2000 dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Organisasi PD Aisyiyah Bontang 2010-2017. Terakhir, Yessy Yaty Momongan merupakan anggota KPU Sulawesi Utara 2018-2023.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa, Sabtu (8/1/2022), mengatakan, DPR masih menunggu Presiden Joko Widodo menyerahkan 14 nama calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu. Setelah nama-nama itu diserahkan ke pimpinan DPR, akan dibahas di Badan Musyawarah untuk kemudian diberikan penugasan kepada Komisi II DPR untuk menggelar uji kelayakan dan kepatutan serta memilih tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu.
Meski daftar calon anggota KPU dan Bawaslu belum diserahkan Presiden, fraksi-fraksi di DPR sudah mulai melakukan penjajakan. ”Sudah mulai penjajakan, cari irisan,” kata Saan.
Irisan yang dimaksud adalah kesamaan latar belakang calon dengan para anggota Komisi II DPR. Dua dari lima pimpinan Komisi II, yakni Saan (Fraksi Nasdem) dan Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Fraksi Partai Golkar), sebelumnya merupakan aktivis HMI. Doli adalah Wakil Sekjen PB HMI 1999-2021, sementara Saan Ketua PB HMI 1996-1998. Ketua PB HMI 2004-2006 Zulkifar Arse Sadikin (Fraksi Partai Golkar) juga anggota Komisi II.
Ada pertimbangan tidak tertulis yang selalu digunakan untuk memilih calon penyelenggara pemilu. Salah satunya asas representasi atau keterwakilan yang di antaranya dilihat dari latar belakang organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, kepercayaan, dan asal daerah.
Satu pimpinan lain, yakni Luqman Hakim (Fraksi-PKB), merupakan Ketua PC PMII Salatiga 1997-1999 dan saat ini adalah Ketua Bidang Politik dan Pemerintah PP GP Ansor. Selain itu ada pula anggota Komisi II yang sebelumnya aktif di GMNI, antara lain Arif Wibowo (Fraksi PDI-P) yang merupakan Ketua Komitme Organisasi Presidium GMNI 1996-1999 dan Djarot Saiful Hidayat (Fraksi PDI-P) yang pernah menjadi Ketua GMNI Universitas Brawijaya 1981-1986.
Menurut rencana, mekanisme pemilihan menggunakan sistem paket, yakni setiap anggota Komisi II DPR memilih tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu. Mereka yang memperoleh suara terbanyak akan diusulkan untuk ditetapkan sebagai anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027.
Dalam menentukan pilihan, kata Saan, Nasdem mempertimbangkan kemampuan teknis kepemiluan, kemampuan manajerial, dan menjaga profesionalitas. Sebab, tantangan berat menanti pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024 dengan berbagai kompleksitas seperti keserentakan, fokus pilpres yang lebih besar dibanding pileg, serta tingginya suara tidak sah dalam pileg.
”Kedua, soal integritas dan kredibilitas supaya penyelenggara pemilu yang terpilih tidak terjebak dalam kepentingan politik yang ada,” ujarnya.
Di samping hal itu, lanjut Saan, ada pertimbangan tidak tertulis yang selalu digunakan untuk memilih calon penyelenggara pemilu. Salah satunya asas representasi atau keterwakilan yang di antaranya dilihat dari latar belakang organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, kepercayaan, dan asal daerah. Asas representasi ini dipertimbangkan sebagai upaya mewujudkan pemilu yang transparan, inklusif, dan menghadirkan pemilih dari semua latar belakang.
”Posisi penyelenggara sangat penting sehingga pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif harus menjadi rujukan ketika mencari anggota KPU dan Bawaslu,” tutur Saan.
Baca Juga: PAN dan Demokrat Minta Timsel Pilih Calon Anggota KPU dan Bawaslu Berintegritas, Bukan Hasil Titipan
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, tidak mempermasalahkan jika calon anggota KPU dan Bawaslu menjadi representasi dari organisasi tertentu. Menurut dia, publik melihat secara negatif calon tersebut merepresentasikan organisasi tertentu karena kurangnya transparansi dalam proses seleksi KPU dan Bawaslu.
“(Representasi) itu tidak masalah. Ketika menjadi mahasiswa, mereka aktif di organisasi tertentu itu tidak masalah. Yang terpenting, calon tersebut dipilih karena punya pengalaman dan kapasitas terutama menghadapi Pemilu 2024 yang kompleks,” kata Mardani.
Ia menjelaskan, proses pemilihan calon KPU dan Bawaslu di DPR akan dilakukan melalui musyawarah mufakat. DPR akan mencari fondasi untuk melawan politik uang. Sebelum uji kelayakan dan kepatutan, DPR akan menggelar rapat internal untuk melihat kebutuhan di masing-masing lembaga. Mereka yang terpilih bukan representasi dari partai politik, tetapi sesuai kebutuhan untuk pemilu.
Mardani mengakui, saat ini sudah ada calon yang menghubungi anggota Komisi II. Mereka memperkenalkan dirinya sebagai calon KPU atau Bawaslu. Meskipun demikian, ia menegaskan, lobi yang dilakukan tidak akan menjamin akan dipilih atau tidak.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, sudah mengingatkan agar seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu dilakukan secara profesional. ”Harus menghasilkan orang bukan titipan mana pun. Mereka harus berintegritas, punya wawasan, dan independen. Saya sudah meminta masyarakat untuk mengkritisi,” katanya.
Guspardi menegaskan, DPR tidak punya beban dalam memilih para calon dan akan bekerja secara profesional. Sebab, timsel yang merupakan wakil masyarakat telah memilih calon terbaik. Setiap anggota Komisi II hanya akan memberikan pertanyaan untuk menggali wawasan, kepribadian, dan jam terbang. Mekanisme itu dilakukan untuk memilih separuh dari calon yang dikirim Presiden.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, pengalaman organisasi memang satu hal positif karena menguji kemampuan bekerja dalam tim dan melatih jiwa kepemimpinan. DPR pun bisa saja mempertimbangkan asas representasi dengan melihat latar belakang organisasi untuk memilih calon anggota KPU dan Bawaslu.
Namun, pertimbangan itu jangan sampai mengalahkan syarat-syarat penyelenggara pemilu yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Syarat-syarat itu di antaranya mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, adil, serta memiliki keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, ketatanegaraan, dan kepartaian. DPR juga mesti mengingat ada syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam komposisi penyelenggara pemilu.
”Latar bekalang organisasi jangan dijadikan satu-satunya tolak ukur dalam memilih calong anggota KPU dan Bawaslu, harus ada hal-hal lain seperti disyaratkan di UU Pemilu yang harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Dalam mempertimbangkan latar belakang organisasi, lanjut Ihsan, DPR mesti melihat relevansi antara pengalaman organisasi dengan kemampuan yang dibutuhkan sebagai penyelenggara pemilu. Rekam jejak selama berorganisasi pun perlu dilihat untuk mengetahui sejauh mana calon tersebut berkontribusi dalam organisasi yang diikuti.
Kepada calon yang nanti akan terpilih, ia mengingatkan untuk berkomitmen 100 persen sebagai penyelenggara pemilu. Mereka tidak bisa lagi sibuk di organisasi tersebut dan meninggalkan tugas utamanya di KPU dan Bawaslu. Komitmen untuk menyelenggarakan pemilu yang inklusif pun harus diutamakan dan jangan sampai mengutamakan kepentingan organisasinya dibanding kepentingan bersama.