Superkilat Pembahasan RUU Ibu Kota Negara dan Kisah Bandung Bondowoso...
Pembahasan RUU IKN perlu dilakukan dengan jernih, tidak terburu-buru, dan membuka ruang pelibatan publik. Kecuali jika pembentuk UU ingin meniru Bandung Bondowoso yang berusaha membangun 1.000 candi dalam semalam.
Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara dibahas dengan supercepat di parlemen. Ibarat tokoh Bandung Bondowoso yang ingin membangun 1.000 candi untuk Roro Jonggrang dalam semalam, apakah penyusun undang-undang juga mengesahkan RUU IKN dalam sekejap mata?
RUU inisiatif pemerintah ini ditarget dapat diajukan untuk mendapat persetujuan tingkat II atau di rapat paripurna DPR, pada 18 Januari 2022. Praktis, RUU IKN diproses sekitar 40 hari sejak pertama kali anggota Panitia Khusus RUU IKN ditetapkan pada 7 Desember 2021.
Wakil Ketua Pansus RUU IKN dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pemerintah dan DPR menginginkan RUU itu bisa diselesaikan pada Januari 2022. ”Kami memang ingin cepat, pemerintah ingin cepat juga, dan sepertinya ada kemauan agar bulan Januari diselesaikan di tingkat II. Jadi, pembicaraan tingkat II, kalau sesuai dengan target, pada tanggal 18 Januari 2022. Raker diagendakan pada 13 Januari 2022,” katanya, Rabu (5/1/2022), di Jakarta.
Rapat paripurna DPR baru menetapkan anggota Pansus RUU IKN pada 7 Desember 2021. Mereka menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan ahli dan akademisi pada 9 Desember 2021. Selama sepekan kemudian, anggota pansus rapat maraton hingga memasuki reses pada 16 Desember 2021. Tidak jarang rapat dilakukan sedari pagi hingga menjelang tengah malam, bahkan di hari libur.
Saat ini, draf RUU IKN telah sampai di tim perumus dan tim sinkronisasi. Rapat perdana tim perumus dan sinkronisasi dilakukan Kamis (6/1/2022), ketika DPR masih reses. Rapat pada masa reses diperbolehkan tata tertib DPR sepanjang diizinkan oleh pimpinan DPR.
Namun, pembahasan yang sangat cepat itu menimbulkan kesan terburu-buru dan bisa memunculkan tanda tanya dari publik. Apalagi, jika hal itu dilihat dari perspektif syarat-syarat pembentukan UU yang baik, yakni dengan pelibatan partisipasi publik, dan kajian matang dari berbagai sisi terhadap substansi RUU.
Baca Juga: DPR Targetkan Pengesahan RUU Ibukota Negara Januari Ini, IPC Nilai Terburu-buru
Apalagi, kompleksitas pemindahan ibu kota negara tidak hanya melibatkan urusan teknis, seperti anggaran dan infrastruktur, tetapi juga memerlukan kajian mendalam terkait aspek sosial, ekonomi, lingkungan, hingga kultur.
Saan mengatakan, semua prosedur telah dilalui Pansus RUU IKN. Mulai dari RDPU dengan pakar, ahli, dan akademisi, sampai dengan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). ”Tidak jarang kami rapat sampai pukul 22.30. Semua sudah dilalui,” katanya, yang juga mengetuai panitia kerja pembahasan RUU itu.
Pemindahan semester I-2024
Selain menunggu hasil kerja dari tim perumus dan sinkronisasi, Pansus RUU IKN menjadwalkan kunjungan ke lokasi IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 10-11 Januari 2022. Pansus kemudian melakukan konsultasi publik dengan mengunjungi Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur; dan Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, 11-12 Januari 2022.
Kunjungan ke dua kampus itu dilakukan oleh anggota pansus yang tidak menjadi anggota panja. Sebab, pada hari yang sama, anggota panja juga dijadwalkan menerima laporan akhir dari tim perumus dan tim sinkronisasi.
Setelah tuntas di dalam perumusan norma di tim perumus dan sinkronisasi, RUU tinggal dibawa kembali ke rapat pleno Pansus RUU IKN untuk diambil keputusan tingkat I. Pada 13 Januari, pansus menjadwalkan raker dengan pemerintah. Pada 18 Januari, RUU itu dimintakan persetujuan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Selanjutnya, RUU itu tinggal menunggu ditandatangani Presiden dan diundangkan oleh pemerintah.
Anggota Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU IKN dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan, dalam tim perumus dan sinkronisasi tidak akan ada perubahan berarti terhadap draf yang telah disetujui dalam pembahasan panitia kerja. Tim perumus dan sinkronisasi hanya merapikan kesalahan redaksional, dan merumuskan norma agar sesuai dengan kalimat UU atau hukum yang tepat. Tim perumus dan tim sinkronisasi meyakini pembahasan itu akan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh panitia khusus.
Guspardi mengatakan, pembahasan dilakukan cepat karena pemerintah memerlukan dasar hukum segera untuk memindahkan ibu kota. Bahkan, di dalam draf RUU itu ditargetkan pemindahan itu mulai dilakukan pada semester I-2024. Bukan berarti seluruh pembangunan infrastruktur tuntas, dan pemindahan fisik sepenuhnya dilakukan pada tahun itu, melainkan pemindahan akan secara bertahap dilakukan sejak 2024.
”Pemerintah khawatir kalau belum ada landasan hukumnya, pemindahan ini tidak akan terlaksana. Sebab, pindah ibu kota ini, kan, sudah direncanakan sejak zaman Soeharto, tetapi tidak kunjung terealisasi,” ujarnya.
Baca Juga: Persiapan Ibu Kota Negara Baru Berlanjut
Menurut Guspardi, dengan adanya landasan hukum, pemerintahan saat ini akan meninggalkan warisan besar berupa pemindahan ibu kota. ”Kalau belum ada dasar hukumnya yang bisa dijadikan landasan pemindahan, rencana pembangunan tidak bisa dieksekusi, dan tidak bisa pula dianggarkan. Karena bisa saja nanti orang yang terpilih setelah Jokowi tidak seirama dengan pemindahan ini karena itu landasan hukum dipercepat sebelum akhir masa jabatannya,” ungkap Guspardi.
Polemik prosedur
Terlepas dari argumentasi pembahasan cepat RUU IKN, prosedur pembahasan RUU IKN harus sesuai dengan prosedur. Utamanya, setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Berkaca dari pengalaman UU Cipta Kerja, Pansus RUU IKN harus sangat berhati-hati agar UU yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan asas-asas pembentukan UU yang baik. MK, terutama, menyoroti pembentukan UU agar melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Baca juga: Petik Pelajaran dari Cacat Formil UU Cipta Kerja
Unsur formil pembentukan Pansus RUU IKN juga sempat menimbulkan polemik karena menyalahi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3), serta Peraturan DPR tentang Tata Tertib DPR. Pada 7 Desember 2021, rapat paripurna DPR menetapkan 56 anggota panitia khusus dengan enam pimpinan. Jumlah anggota panitia khusus ini berlawanan dengan amanat UU MD3 dan tatib DPR, yang mengatur jumlah panitia khusus maksimal 30 orang, dan 4 orang unsur pimpinan.
Baca Juga: Keputusan DPR Melanggar Tata Tertib, tapi Tata Tertib yang Diubah
Untuk memuluskan hal ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR bahkan sampai menggelar rapat untuk mengubah tata tertib tersebut agar sesuai dengan keputusan paripurna DPR. Setelah menuai kritik, pada rapat paripurna penutupan masa sidang II 2021/2022, 16 Desember 2021, keputusan itu direvisi. Pimpinan DPR menetapkan kembali anggota panitia khusus menjadi 30 orang, dan 4 unsur pimpinan, sesuai tata tertib awal karena ada surat dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD), yang mengingatkan pelanggaran prosedur itu.
”Kami memang menyurati pimpinan DPR untuk mengingatkan hal ini karena MKD tidak mau nanti ini menjadi celah bagi orang untuk mengajukan uji formil ke MK, seperti UU Cipta Kerja,” kata Wakil Ketua MKD Trimedya Panjaitan.
Setelah persoalan jumlah anggota pansus, baru-baru ini polemik kembali mengemuka setelah sejumlah anggota dan pimpinan panitia khusus berkunjung ke Kazakhstan. Alasan kunjungan itu ialah untuk meninjau ibu kota baru Kazakhstan. Soal ini, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyebut kunjungan itu bukan atas inisiatif DPR, melainkan karena undangan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Baca Juga: Soal Studi Banding ke Kazakhstan, DPR Sebut Pansus RUU IKN Hanya Penuhi Undangan Bappenas
Kendati demikian, kunjungan kerja ke luar negeri ini dinilai tidak hanya menyalahi imbauan Presiden, tetapi juga mengabaikan instruksi Ketua DPR Puan Maharani yang meminta anggota dewan untuk tidak melakukan kunjungan ke luar negeri untuk mencegah transmisi varian baru Covid-19, Omicron.
Kurang optimal
Anggota Panitia Khusus RUU IKN dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hamid Noor Yasin, mengatakan, sekalipun RDPU digelar dengan mengundang pakar dan akademisi, tetapi ruang yang tersedia relatif terbatas. Waktu pembahasan yang kejar-kejaran membuat pelibatan mereka otomatis kurang optimal. ”Memang disiarkan online di TV Parlemen dan ditayangkan di Facebook, tetapi karena keterbatasan waktu, otomatis pelibatannya kurang,” ujarnya.
Hamid mengatakan, PKS sejak awal menilai RUU ini tidak urgen dibahas pada masa pandemi Covid-19. Melihat situasi keuangan negara dan pandemi yang masih menjadi ancaman, fraksinya menilai pemerintah sebaiknya fokus dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi.
”Jakarta itu masih siap, masih sangat layak untuk menjadi ibu kota. Kondisi perpindahan ibu kota ini seakan-akan dipaksakan di tengah kondisi pandemi yang saat ini masih belum selesai dan ekonomi masyarakat yang masih sangat berat akibat pandemi berlarut-larut,” ujarnya.
Fungsi perwakilan
Terhadap pembahasan RUU IKN yang cepat ini, Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengingatkan, DPR seharusnya menjalankan peran perwakilannya. Artinya, dengan waktu pembahasan yang sedemikian cepat itu apakah dapat dipastikan DPR telah mampu menyerap suara, dan mewakili aspirasi rakyat yang diwakilinya.
”Kalau seperti ini, fungsi representasinya di mana. DPR artinya tidak menganggap rakyat penting dalam membuat kebijakan. Padahal, rakyat berhak mengetahui pertimbangan kenapa ada RUU IKN, isu krusialnya apa saja, dan dampaknya apa saja. Itu enggak ada yang tahu, lalu tiba-tiba rakyat harus menerima dampak dari kebijakan itu,” gugatnya.
Salah satu peran representasi itu ialah dengan mengakomodasi partisipasi publik. Ada tiga hak rakyat dalam konteks legislasi, yakni hak untuk diinformasikan (right to be informed), hak untuk dilibatkan (right to be involved), dan hak untuk diklaim pelibatan mereka (right to be claimed).
”Artinya, rakyat tidak sekadar diinformasikan, tetapi juga dilibatkan mendalam, dan rakyat berhak mengklaim sejauh mana aspirasi mereka itu diakomodasi, dan kalau tidak diakomodasi apa alasannya,” ujarnya.
DPR dan pemerintah diharapkan belajar dari UU Cipta Kerja yang dinilai cacat formil oleh MK. Jika pembahasan RUU IKN dipaksakan selesai cepat dan minim pelibatan publik, bukan tidak mungkin akan kembali ada gugatan ke MK yang memicu persoalan kembali bagi pembuat UU.
”Sebaiknya DPR tidak buru-buru. Masa sidang depan ini dimanfaatkan saja untuk menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dan mengakomodasi pendapat publik. Baru pembahasan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Partisipasi publik harus dijamin, baik dari sisi pemerintah selaku pengusul RUU, maupun DPR,” kata Hanafi.
Pengesahan RUU IKN kiranya perlu dilakukan dengan pikiran jernih dan penuh tanggung jawab atas sumpah mereka sebagai wakil rakyat. Kecuali jika pembentuk UU ingin meniru Bandung Bondowoso, yang karena ambisinya ingin mendirikan 1.000 candi dalam semalam akhirnya berakhir dengan kekecewaan....