MK menyatakan, UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan tata cara pembentukan UU itu diperbaiki paling lama dua tahun. Putusan ini disambut positif sekaligus mengundang kritik.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Hakim konstitusi membacakan putusan terhadap sejumlah perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11/2021), yang menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah cacat formil jadi pelajaran bagi pemerintah dan DPR untuk tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan UU. Pada saat yang sama, revisi terhadap UU Cipta Kerja perlu segera dilakukan.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai aturan pembentukan perundang-undangan, termasuk tak sesuai dengan asas kejelasan rumusan dan tujuan, serta asas keterbukaan, sehingga UU itu dinyatakan cacat formil. Namun, mengingat besarnya tujuan yang ingin dicapai melalui UU itu, serta sudah banyak peraturan pelaksana yang diterbitkan dan diimplementasikan, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
MK kemudian memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dua tahun. Dalam kurun waktu itu, MK juga menyatakan, segala tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas harus ditangguhkan. Pemerintah juga tak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU itu.
”Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan petitum putusan uji formil UU Cipta Kerja.
MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman pembentukan UU dengan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Berdasarkan landasan hukum ini, UU No 11/2020 diperbaiki guna memenuhi cara atau metode yang pasti dan standar, serta terpenuhinya asas-asas pembentukan UU sebagaimana diamanatkan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Putusan MK ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari empat hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Daniel P Yusmic Foekh, dan Manahan P Sitompul.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, putusan MK akan ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme di DPR.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK. ”Pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK yang dimaksud melalui penyiapan perbaikan UU dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arah-arahan MK,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan peraturan yang sudah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.
TANGKAPAN LAYAR
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika memberikan keterangan pers terkait ”Evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)”, di Kantor Presiden, Senin (22/11/2021).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menafsirkan, semua peraturan turunan dan kebijakan pemerintah berbasis UU Cipta Kerja dan telanjur dikeluarkan tetap berjalan.
Sebaliknya, kuasa hukum pemohon uji formil UU Cipta Kerja dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Said Salahuddin, menilai, dampak dari putusan MK adalah segala kebijakan yang mengacu pada UU Cipta Kerja tak berlaku karena payung hukumnya dinyatakan cacat formil.
Pelajaran
Putusan MK ini disambut beragam. Di satu sisi, putusan itu dinilai memberi kepastian hukum. Di sisi lain, putusan dinilai ambigu karena tak membatalkan UU Cipta Kerja yang pembentukannya cacat formil.
”Putusan ini akan membuat DPR dan pemerintah harus berhati-hati dalam membuat UU. Tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan UU yang dalam berbagai praktik terjadi, misalnya UU Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, dan UU Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari
Menurut Feri, putusan MK tersebut menjadi tanda kemenangan publik yang selama ini mempermasalahkan UU Cipta Kerja. Namun, putusan itu, lanjutnya, juga memberi tanda tanya yang besar mengapa MK memberlakukan UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat selama dua tahun.
”Jika dianggap menyalahi ketentuan konstitusi dan UU No 12/2011, kenapa tak dibatalkan dari sekarang agar pembuat UU memperbaiki. Kekosongan hukum tak mungkin terjadi karena MK dapat memberlakukan peraturan yang lama,” ujarnya.
Peneliti Konstitusi Demokrasi Inisiatif, Viola Reininda, mengingatkan pemerintah, DPR, dan DPD untuk meninjau ulang substansi UU Cipta Kerja dengan mempertimbangkan dan mengakomodasikan substansi UU Cipta Kerja yang diuji materiil ke MK. Dia juga mendorong pemerintah dan DPR tak sekadar menambah metode omnibus law dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi maksimal mengimplementasikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
TANGKAPAN LAYAR
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Kode Inisiatif Viola Reininda dalam diskusi ”Pemilu dan Pemilihan 2024: Apa Kabar Peradilan Khusus?”, Minggu (29/8/2021).
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai, jika payung hukumnya saja harus direvisi, aturan turunannya juga perlu diubah. Situasi ini, menurut dia, akan menunda investasi dan menegaskan status Indonesia sebagai negara dengan ketidakpastian kebijakan yang tinggi.