Keputusan DPR Melanggar Tata Tertib, tapi Tata Tertib yang Diubah
DPR melanggar Tata Tertib DPR saat menetapkan Pansus RUU Ibu Kota Negara. Namun, pelanggaran itu disikapi dengan mengubah tata tertib agar sesuai keputusan yang diambil.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR mengubah Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR demi memberikan landasan hukum bagi penetapan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Jumlah anggota dan pimpinan Pansus RUU IKN itu menerabas ketentuan yang diatur dalam tatib DPR sebelumnya. Tindakan itu dinilai menunjukkan DPR tidak mengikuti asas bernegara yang baik.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR, 7 Desember 2021, DPR menetapkan Pansus RUU IKN yang beranggotakan 56 orang, dan 6 pimpinan. Penetapan ini melanggar ketentuan di tatib DPR dalam Pasal 104 Ayat 2 juncto Pasal 105 Ayat 5. Kedua pasal itu mengatur anggota pansus maksimal 30 orang, dan pimpinan 4 orang, yang terdiri atas 1 ketua dan 3 wakil ketua.
Penetapan jumlah anggota dan pimpinan pansus yang besar itu, menurut Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, dilakukan untuk mengatasi kompleksitas substansi yang akan dibahas, dan merupakan lintas sektoral yang melibatkan lintas komisi, maka rapat konsultasi pengganti rapat Bamus tanggal 3 November memutuskan membentuk pansus Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara dengan jumlah anggota sebanyak 56 orang,” ujarnya.
Merespons keputusan DPR yang tidak sesuai dengan tatib itu, Baleg DPR memutuskan untuk mengubah tatib. Perubahan tatib itu disesuaikan dengan keputusan penetapan pansus dalam paripurna, 7 Desember.
”Untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara, terkait prosedur forum pembentukan pansus perlu dilakukan perubahan atau penyempurnaan Peraturan DPR tentang Tata Tertib,” kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, Kamis (9/12/2021), dalam rapat pleno pengambilan keputusan pembahasan perubahan tatib DPR.
Ada dua materi baru yang ditambahkan di dalam tatib DPR. Pertama, di antara Pasal 104 Ayat (2) dan Ayat (3) disisipkan satu ayat, yakni Ayat (2A), yang berbunyi, ”Jumlah anggota panitia khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketetapan rapat paripurna DPR.”
Kedua, di antara Pasal 105 Ayat (2) dan Ayat (3) disisipkan satu ayat, yakni Ayat (2A), yang berbunyi, “Jumlah pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketetapan rapat paripurna DPR.”
Untuk melegalisasi keputusan paripurna yang melanggar tatib sebelumnya, di dalam bab mengenai ketentuan penutup diatur agar materi baru itu berlaku surut. “Dengan demikian, keputusan paripurna pada 7 Desember itu bisa memiliki dasar hukum,” kata Supratman.
Perdebatan sempat mengemuka di dalam rapat Baleg mengenai pemberlakuan ketentuan yang berlaku surut tersebut.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, mengatakan, jika peraturan itu berlaku surut rentan mendapatkan resistensi dari publik, serta risiko bagi adanya persoalan hukum dalam pembentukan RUU IKN. Oleh karena itu, ia menilai sebaiknya diadakan paripurna terlebih dulu untuk mencabut penetapan DPR terhadap Pansus RUU IKN. Setelah itu, rapat paripurna mengesahkan perubahan tatib DPR. ”Baru setelahnya tatib disahkan dan DPR menetapkan kembali Pansus RUU IKN berdasarkan tatib yang baru,” ucapnya.
Firman mengatakan, dengan langkah itu, DPR dapat menghindari persoalan hukum yang mungkin muncul dari ketentuan yang berlaku surut. Ia mengkhawatirkan akan ada pihak-pihak yang memanfaatkan celah itu untuk menguji UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Celah mengenai pembentukan pansus yang tidak sesuai tatib itu dapat dijadikan dalil untuk membatalkan UU yang telah dibahas oleh pansus.
”Daripada nanti RUU itu dibahas dengan susah payah, tetapi kemudian dibatalkan MK,” katanya.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengatakan, peraturan yang berlaku surut itu jangan sampai menimbulkan persoalan. ”Kita harus berhati-hati juga menyikapi pandangan dan sorotan dari masyarakat. Kalau memang ada ruang bagi peraturan yang berlaku surut, tentu ini bukan persoalan, melainkan bagaimana kalau tidak ada, ini yang harus dipertimbangkan,” katanya.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), My Esti Wijayati, mengatakan, peraturan berlaku surut itu dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ia mencontohkan ketika dirinya dulu menjadi anggota DPRD Sleman, Yogyakarta, ketika itu ada peraturan di DPRD Sleman mengenai pemberian tunjangan kepada anggota DPRD yang berlaku surut. Artinya, praktik itu ada dan dapat diberlakukan.
Tidak sesuai asas
Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, tindakan Baleg yang merevisi tatib hanya untuk melegalisasi suatu keputusan yang sebelumnya tidak sesuai tatib, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan asas bernegara yang baik.
”Seharusnya fatsun bernegara yang baik itu tetap dipegang. UU MD3 yang diturunkan ke dalam tatib DPR itu kan merupakan kontrak politik antara pemimpin dengan rakyatnya. Artinya, sebelum membuat keputusan, seharusnya dilihat dulu apakah keputusan itu sesuai dengan ketentuan dan UU ataukah tidak,” katanya.
Semestinya, jika DPR benar mengikuti asas bernegara yang baik, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, DPR dapat saja merevisi tatib DPR terlebih dulu. Baru kemudian dibentuk pansus sesuai dengan kebutuhan pembahasan RUU. Dengan tindakan merevisi tatib setelah pansus dibentuk, Baleg DPR dinilai menabrak etika dan asas berhukum, serta bernegara yang baik. Aturan seolah diubah-ubah sedemikian mudahnya hanya untuk memenuhi suatu kepentingan tertentu.
”Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa seolah-olah DPR buru-buru menetapkan Pansus RUU IKN. Ketika mengetahui ini melanggar tatib, lalu baru dilakukan perubahan tatib hanya agar keputusan itu memiliki dasar hukum,” katanya.
Pansus RUU IKN sendiri telah bekerja. Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia Tandjung mulai memimpin rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan para pakar dan ahli, Kamis.