Perbaiki Kebocoran Sistem Lelang Jabatan di Daerah
Pasca-OTT Wali Kota Bekasi, KPK diharapkan tak hanya fokus menindak kepala daerah dalam perkara dugaan jual beli jabatan. Sesuai UU No 19/2019, KPK juga berwenang memberikan rekomendasi perbaikan sistem dan budaya.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak hanya berfokus menindak kepala daerah dalam perkara dugaan jual beli jabatan. Sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK juga berwenang memberikan rekomendasi perbaikan sistem dan budaya dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi. Tujuannya agar tidak terulang lagi kasus serupa di sejumlah daerah.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/1/2022), mengatakan, kasus dugaan jual beli jabatan seolah menjadi masalah berulang yang terus ditangani KPK. Baru-baru ini, sebut saja KPK sudah beberapa kali mengungkap kasus jual beli jabatan di tingkat pemerintah daerah.
Pemerintah Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, misalnya, ditindak karena jual beli jabatan sekretaris daerah. Kasus yang melibatkan bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, ini juga sudah diproses hukum di pengadilan. Adapun di Probolinggo, Jawa Timur, bupatinya juga tersangkut kasus jual beli penjabat kepala daerah.
”Berarti problemnya, setelah KPK melakukan penindakan belum ada perbaikan sistem. KPK seharusnya memberikan rekomendasi untuk memperbaiki sistem agar tidak terulang kembali,” ujar Zaenur.
Berarti problemnya, setelah KPK melakukan penindakan belum ada perbaikan sistem. KPK seharusnya memberikan rekomendasi untuk memperbaiki sistem agar tidak terulang kembali.
Zaenur menyebut, di sejumlah daerah, kasus korupsi bahkan terus berulang. Sebut saja kepala daerah di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau yang berulang kali ditangkap KPK karena kasus dugaan jual beli jabatan. Artinya, pasca-penindakan oleh KPK, memang tidak ada perubahan sistemik dan kultural dari pemda.
”Ini seharusnya menjadi alarm untuk melakukan perubahan baik di level daerah dan nasional. Pengisian jabatan seharusnya dengan merit system atau memakai tim seleksi,” terang Zaenur.
Jika menggunakan merit system, kata Zaenur, sistem seleksi jabatan seharusnya sudah tersusun secara baku sehingga tidak ada favoritism atau kecurangan dalam proses seleksi tersebut. Adapun jika menggunakan tim seleksi, peran kepala daerah dalam menentukan pejabat terbatas. Dengan harapan, suap lelang jabatan bisa dihindari.
Namun, Zaenur juga tidak memungkiri bahwa walaupun seleksi atau lelang jabatan menggunakan metode timsel, sebenarnya masih tersisa ruang untuk intervensi. Dalam kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang menyeret nama bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy, misalnya, suap masih bisa dilakukan. Di Pemkab Klaten, Jawa Tengah, misalnya, Zaenur juga menyebut jabatan seperti kepala sekolah pun diperjualbelikan. Ini bisa terjadi karena besarnya kewenangan yang dimiliki kepala daerah sehingga ruang untuk jual beli jabatan terbuka lebar.
Jika ingin membenahi sistemnya, seleksi jabatan ya harus memakai timsel atau pansel yang bersifat imparsial. Setelah nama-nama tersebut diserahkan, baru bisa dipilih oleh kepala daerah untuk mencegah jual beli jabatan. KPK harus melakukan evaluasi di mana kebocoran sistem itu selama ini.
”Jika ingin membenahi sistemnya, seleksi jabatan ya harus memakai timsel atau pansel yang bersifat imparsial. Setelah nama-nama tersebut diserahkan, baru bisa dipilih oleh kepala daerah untuk mencegah jual beli jabatan. KPK harus melakukan evaluasi di mana kebocoran sistem itu selama ini,” tambah Zaenur.
Zaenur menambahkan, di dalam Pasal 6 UU No 19/2019 tentang KPK, salah satu kewenangan KPK adalah mengawasi jalannya pemerintahan baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, KPK seharusnya bisa mengevaluasi kebocoran pemerintahan sehingga jual beli jabatan terus terjadi. KPK juga bisa mendorong perbaikan sistem lelang jabatan agar lebih baik ke depannya. Tak kalah penting, program pencegahan dan pendidikan antikorupsi tetap dilakukan secara simultan.
”KPK juga berwenang melakukan fungsi pengawasan pemerintahan yang sifatnya hukum. KPK bukan hanya alat penegak hukum untuk menindak, melainkan kan juga ada dimensi pencegahan juga,” jelas Zaenur.
Biaya politik
Manajemen ASN sebaiknya dipegang oleh sekretaris daerah, bukan di tangan pejabat politik. Masyarakat juga diharapkan lebih aktif mengawasi praktik suap jual beli jabatan. Apabila ditemukan fakta seperti itu, segera laporkan ke KASN atau KPK.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan, terus berulangnya kasus jual beli jabatan di pemda disebabkan oleh biaya politik yang mahal. Biaya politik mahal menyebabkan pemenang cenderung menggunakan kekuasaan secara tamak. Di sisi lain, mentalitas sebagian ASN juga banyak yang ingin mendapatkan jalan pintas mendapatkan jabatan dengan cara yang tidak wajar.
”Seolah ada simbiosis mutualisme yang berlangsung terus-menerus,” kata Agus.
Saat ditanya langkah apa yang akan dilakukan KASN untuk membenahi sistem rekrutmen jabatan di pemda agar tidak terjadi korupsi, Agus mengusulkan bahwa manajemen ASN sebaiknya dipegang oleh sekretaris daerah, bukan di tangan pejabat politik. Masyarakat juga diharapkan lebih aktif mengawasi praktik suap jual beli jabatan. Apabila ditemukan fakta seperti itu, segera laporkan ke KASN atau KPK.
Terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sesuai mekanisme, tersangka bersama delapan orang lainnya dari kalangan pejabat Pemkot Bekasi dan swasta belum diperiksa oleh penyidik. Sebab, sesuai mekanisme aturan di rumah tahanan KPK, setiap penghuni baru akan diisolasi mandiri terlebih dahulu dalam waktu 7-14 hari.
”Meskipun demikian, pemeriksaan dapat juga dilakukan sesuai kebutuhan penyidikan sesuai dengan standar protokol kesehatan yang berlaku pada setiap pemeriksaan di KPK. Saat ini, yang bersangkutan belum kami periksa,” terang Ali.
Sebelumnya, dalam OTT di Bekasi, Rabu-Kamis (5-6/1/2022), KPK menangkap 14 orang, termasuk Wali Kota Rahmat Effendi. Pria yang akrab disapa Kang Pepen itu ditetapkan sebagai tersangka bersama delapan orang lainnya dari kalangan pejabat Pemkot Bekasi dan swasta. KPK masih menelusuri keterlibatan pihak lain, seperti anggota DPRD Kota Bekasi. KPK juga menyita barang bukti berupa uang Rp 5,7 miliar. Sebanyak 2 miliar di antaranya berada di rekening bank (Kompas, Jumat 7/1/2022).