Kepala Daerah Rentan Korupsi untuk Kembalikan Biaya Politik yang Besar
Konsep tata kelola perizinan yang baik itu sudah ada di pemerintahan daerah, tetapi tidak dilaksanakan, diabaikan, karena memang motifnya mau korupsi.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Besarnya biaya politik menjadi salah satu pemicu kepala daerah rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal. Selain itu, kelemahan penerapan administrasi perizinan dan rendahnya integritas juga membuat kepala daerah kerap tergoda untuk melakukan korupsi.
”Jadi, ada dua motif, pertama godaan untuk mengembalikan biaya politik yang luar biasa besar, dan kedua kelemahan penerapan konsep asas-asas umum pemerintahan yang baik, selain juga penyakit mentalitas korup,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari ketika ditanya terkait dengan operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kuantan Singingi Andi Putra dan kasus OTT kepala daerah yang marak beberapa bulan terakhir, Rabu (20/10/2021).
Feri mengatakan, untuk menjadi kepala daerah, seseorang butuh dana yang luar biasa besar. Hal itu tidak hanya berlangsung saat pilkada, tetapi juga sejak proses pemilihan calon di internal partai.
Sistem kepartaian saat ini, kata Feri, menjadi problematika karena tidak ada demokrasi internal partai sehingga sering kali calon itu muncul karena membayar biaya. Kalau proses penentuan calon di internal partai berlangsung demokratis, tidak ada biaya, upaya untuk mengembalikan biaya politik besar bisa dikurangi.
”Partai mengharapkan kadernya menjadi ATM partai. Itu yang membuat kader terjebak dalam belenggu korupsi politik yang ada di Indonesia karena mereka dipaksa menjadi ATM di partai sekaligus mencari keuntungan atau mengembalikan biaya politik yang mereka sudah keluarkan,” ujar Feri.
Feri melanjutkan, kelemahan administrasi dalam berbagai proses perizinan juga sangat membuka celah kepala daerah melakukan korupsi. Sejauh ini, kekuasaan pemberian izin masih berkaitan dengan kepala daerah meskipun sebentar lagi akan pindah ke pemerintah pusat.
”Di sisi itu biasanya ada godaan untuk memanfaatkan kewenangan dalam pemberian izin atau rekomendasi berkaitan dengan pemberian izin usaha tambang, perkebunan, dan segala macamnya. Pemberian izin itu selalu punya motif tersendiri kepala daerah untuk memanfaatkannya memperoleh dana besar,” ujar Feri.
Sepanjang konsep asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu keterbukaan, kecermatan, keadilan, dan lainnya, akan sulit bagi seseorang melakukan korupsi.
Kata Feri, dulu ada konsep satu pintu dalam proses perizinan, pemberian izin ada di satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Konsep itu setidaknya akan mengurangi potensi korupsi karena bisa diawasi meskipun tidak tertutup kemungkinan proses korupsinya beralih ke SKPD.
”Walaupun demikian, korupsi itu di baliknya selalu ada niat. Jadi, sebaik apa pun sistem, kalau niatnya memang korupsi, sistem itu akan dilabrak. Konsep tata kelola perizinan yang baik itu sudah ada di pemerintahan daerah, tetapi tidak dilaksanakan, diabaikan, karena memang motifnya mau korupsi,” ujarnya.
Sebaik apa pun sistem, kalau niatnya memang korupsi, sistem itu akan dilabrak.
Perizinan perkebunan
Bupati Kuantan Singingi Andi Putra ditahan dalam OTT oleh KPK bersama tujuh orang lainnya di Riau, Selasa (19/10/2021). Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri mengungkapkan, penangkapan Andi dilakukan bersama tujuh orang lainnya.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, dalam konferensi pers, Selasa malam, mengatakan, pada Senin (18/10/2021) KPK menahan delapan orang di wilayah Kuantan Singingi. Mereka ditahan atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait dengan perpanjangan izin hak guna usaha (HGU) sawit di Kabupaten Kuantan Singingi.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menemukan bukti petunjuk penyerahan uang Rp 500 juta, uang tunai berjumlah Rp 80,9 juta, mata uang asing 1.680 dollar Singapura, dan telepon genggam merek Iphone XR. Setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK menetapkan Andi Putra dan Sudarso, General Manager PT Adimulia Agrolestari, sebagai tersangka.
Dalam perkara tersebut, Sudarso diduga mengajukan perpanjangan hak guna usaha (HGU) yang dimulai pada 2019 dan akan berakhir tahun 2024. Syaratnya, dengan membangun kebun kemitraan minimal 20 persen dari HGU yang diajukan. Namun, lokasi kebun tersebut terletak di Kabupaten Kampar, bukan Kabupaten Kuantan Singingi.
Untuk itu, Sudarso mengajukan surat permohonan ke Bupati Kuantan Singingi. Namun, untuk perpanjangan itu diperlukan uang minimal Rp 2 miliar. ”Diduga telah terjadi kesepakatan antara AP dan SDR terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut,” kata Lili.
Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi sebesar Rp 500 juta. Kemudian pada 18 Oktober 2021 Sudarso diduga kembali memberikan uang kepada Andi sebesar Rp 200 juta.
Hal biasa
Sebelumnya, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali mengatakan, penangkapan bupati terkait dugaan korupsi perizinan perkebunan adalah hal biasa. Menurut dia, mayoritas perusahaan perkebunan sawit di Riau bermasalah dalam perizinan.
Made menjelaskan, dari 513 perusahaan perkebunan sawit di Riau, sebanyak 378 perusahaan berada di dalam kawasan hutan. Rata-rata perusahaan tersebut tidak mempunyai izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Tapi, bupati memberikan mereka izin lokasi dan indikasi IUP (izin usaha perkebunan). Sesungguhnya itu, kan, tidak boleh. Itu jamak terjadi di Riau, termasuk Kuansing. Pola demikian yang paling sering dilakukan oleh perusahaan. Selain itu, ada juga yang izinnya melebihi HGU,” kata Made.
Menurut Made, tindakan tersebut termasuk tindak pidana. Tidak boleh ada izin usaha perkebunan di atas kawasan hutan. Namun, banyak bupati yang telah menerbitkan izinnya. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut terkait dengan tindakan-tindakan tersebut.
”Dari kasus yang kami advokasi, (OTT KPK) ini bisa dimaklumi dan hal biasa terjadi di Riau. Cuma, kasus (Bupati Kuantan Singingi) ini kami belum tahu konteks izin kebunnya apa,” ujar Made.
Berdasarkan data KPK, dari 2004 hingga 31 Maret 2021 ada 130 bupati/wali kota dan wakilnya serta 22 gubernur dan wakil gubernur yang ditindak KPK. Akhir September 2021, misalnya, KPK menangkap Bupati Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Andi Merya Nur terkait dengan dugaan korupsi proyek dana hibah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana senilai Rp 39 miliar.
Pada akhir Agustus 2021, KPK menangkap Bupati Probolinggo, Jawa Timur, Puput Tantriana Sari bersama suaminya yang juga anggota DPR, Hasan Aminuddin, terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi.
Kemudian pada Jumat (15/10/2021) KPK melakukan OTT dan menetapkan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap infrastruktur di Kabupaten Musi Banyuasin.