Di Nusakambangan, Bertemu Buaya Muara hingga Ditipu Narapidana
Belum ada semenit kapal lepas tali, sejumlah petugas lapas seperti melihat sesuatu di tengah perairan. Moncong buaya muara! Saya mulai panik. Kenapa buaya ini muncul pas saya sedang naik kapal kecil?
Melihat Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dari dekat, tentu menjadi kesempatan yang sangat berharga, termasuk bagi jurnalis. Sebab, tak sembarang orang bisa keluar-masuk ”pulau penjara” itu. Beruntung, beberapa waktu lalu, Kompas mendapat kesempatan meliput ke sana. Berbagai pengalaman langka pun kami dapati.
Sekitar pukul 13.00, saat saya masih menikmati hari libur, Minggu (12/12/2021), tiba-tiba muncul notifikasi pesan Whatsapp di layar ponsel saya. Pesan tersebut berasal dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
”Saya dan Dirjen (Direktur Jenderal) Pemasyarakatan ke NK (Nusakambangan) Selasa (14/12/2021), jam 14.00 dengan pesawat. Kamu ikut kami atau jalan sendiri?” tulis pesan tersebut.
Wah, saya tentu senang sekali membacanya. Janji pergi ke Nusakambangan ini sebenarnya sudah disampaikan Yasonna saat wawancara khusus dengan beberapa wartawan Desk Politik dan Hukum Kompas, 1 Desember 2021 lalu. Saat itu, kami tengah membahas wacana penghapusan hukuman mati di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Namun, saya tidak menyangka agenda ke Nusakambangan bakal secepat ini. Saya pikir agendanya masih Januari atau Februari 2022. Tanpa pikir panjang, langsung saya laporkan tawaran itu kepada Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas Antony Lee. Tak lama, ia menugaskan saya untuk berangkat.
Setelah mengantongi izin dari kantor, saya pun membalas pesan Menkumham. Intinya, saya lebih memilih ikut rombongannya daripada harus berangkat sendiri. Ada dua alasan. Pertama, saya belum pernah ke sana. Kedua, akses masuk ke Nusakambangan saya bayangkan akan lebih ribet jika tidak bersama menteri.
”Okay, sampai bertemu di Halim,” balas Yasonna kepada saya. Maksudnya, Bandara Halim Perdanakusuma.
Selang beberapa menit, ajudannya menghubungi saya menjelaskan syarat-syarat berangkat ke Nusakambangan. Selain harus mengirim kartu tanda penduduk elektronik, saya juga harus menunjukkan hasil negatif tes antigen, setidaknya sehari sebelum keberangkatan.
Berburu informasi
Saya hanya punya waktu dua hari untuk riset tentang Nusakambangan. Dalam selang waktu yang sangat terbatas itu, saya mencari artikel-artikel yang pernah ditulis wartawan Kompas seputar Nusakambangan sejak tahun 1965 atau sejak koran ini terbit.
Sekitar 1.800 artikel muncul di Pusat Informasi Kompas. Tentu, saya tidak membaca seluruh artikel tersebut. Saya hanya memilih artikel-artikel yang sekiranya menarik.
Salah satunya berjudul ”Nusakambangan Pulau Pendjara”, yang ditulis 6 April 1967 oleh wartawan pertahanan dan keamanan Kompas kala itu, Theodore Poerba. Dalam artikel tersebut, ia menceritakan kesannya saat pertama kali menginjakkan kaki di Nusakambangan sebagai seorang wartawan.
Baca Juga: Wajah Nusakambangan yang Berubah
Dengan sangat detail, Theodore Poerba menggambarkan suasana mulai dari pintu masuk pulau yang dikelilingi pagar kawat hingga pos-pos yang dijaga ketat tiga sampai empat petugas dengan pistol tergantung di pinggang.
”Pulau itu jang namanja sadja sudah merupakan impian buruk bagi setiap pendjahat, perampok, dan pembunuh,” tulisnya, masih dengan ejaan lama.
Saya lanjut mencari artikel lain. Saya menemukan banyak sekali artikel tentang narapidana yang mencoba kabur dari Nusakambangan. Beberapa di antaranya berhasil ditangkap hidup-hidup.
Baca Juga: Jejak Emosi hingga Pelangi di Negeri Kopi
Namun, banyak juga yang ditemukan meninggal karena tidak mampu bertahan hidup di belantara hutan atau menghadapi ganasnya arus laut yang mengelilingi Nusakambangan.
”Napi yang melarikan diri dari lapas di Nusakambangan adalah orang gila,” kata Menteri Kehakiman Ali Said, dalam artikel ”Sebelas Napi Belum Tertangkap” yang terbit 1 Juni 1982.
Baca Juga: Terbunuh Sunyi di Nusakambangan
Saya belum puas. Saya lanjut lagi membaca artikel-artikel tahun 2000 ke atas. Pada 2008, saya mulai mendapati beberapa artikel terkait eksekusi mati sejumlah napi. Di antaranya, terpidana mati kasus terorisme Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron. Kemudian, terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman, pada 2016.
Membaca artikel-artikel itu, pikiran saya langsung melayang ke mana-mana. Tempat yang akan saya kunjungi nanti kok rasa-rasanya sangat terpencil, penuh penjagaan, dan horor. Namun, semakin besar rasa penasaran saya, semakin tak sabar pula ingin segera sampai ke pulau penjara yang kerap disebut Alcatraz versi Indonesia itu.
Baca Juga: Dari Susah Sinyal sampai Sandal yang Tertukar
Penjagaan superketat
Hari keberangkatan tiba. Sekitar pukul 09.00, saya dihubungi salah satu editor Desk Politik dan Hukum. Ia bertanya, ”Apakah fotografer boleh ikut ke Nusakambangan?”
Benar juga, pikir saya. Jika wartawan foto Kompas ikut, setidaknya hasil jepretannya akan lebih ciamik daripada hasil jepretan saya,he-he-he. Saya pun langsung menghubungi Menkumham untuk meminta persetujuan. Ia membolehkan. Alhamdulillah.
Akhirnya, saya berangkat bersama wartawan foto Kompas, Priyombodo. Kami bertemu dengan rombongan Menkumham di Bandara Halim Perdanakusuma pukul 13.00. Sejam kemudian, kami naik pesawat Cassa 212-200 dan meluncur ke Bandara Tunggul Wulung, Cilacap.
Pesawat yang kami tumpangi ini sejenis ATR 72 dengan daya angkut terbatas. Jumlah kursinya pun kurang dari 20 orang. Maklum saja, Bandara Tunggul Wulung hanya bisa didarati pesawat kecil karena landasan pacunya sangat pendek, sekitar 1.400 meter. Pesawat sekelas Boeing 737 tidak bisa mendarat di sana.
Waktu tempuh penerbangan Jakarta-Cilacap kira-kira 1,5 jam. Dari Bandara Tunggul Wulung, perjalanan langsung dilanjutkan ke Nusakambangan. Saya pikir, baru akan dilakukan keesokan harinya. Sebab, hari sudah semakin sore. Cuaca juga mulai mendung. Apalagi, kami semua masih harus menyeberang pulau.
Namun, Menkumham ternyata tetap ingin maju terus. Di hari pertama kedatangannya ini, ia ingin mengecek perkembangan pembangunan tiga lapas di sana.
Baca Juga: Lima Jam yang Menentukan Usai Erupsi Semeru
Dengan begitu, di hari kedua, agenda bisa lebih santai untuk melihat-lihat situasi di lembaga pemasyarakatan (lapas) supermaksimum, yakni Lapas Karanganyar. Lapas ini adalah satu dari delapan lapas yang ada di Nusakambangan.
Dengan cepat, kendaraan yang kami tumpangi membelah jalan utama Cilacap. Kurang dari 30 menit, kami telah tiba di sebuah gerbang besar, yang ternyata merupakan jalan masuk ke Pelabuhan Wijayapura milik Kementerian Hukum dan HAM. Ini merupakan satu-satunya akses resmi keluar-masuk menuju Nusakambangan.
Saat gerbang dibuka, mata disuguhkan dengan pemandangan perairan Segara Anakan, Nusakambangan. Sekitar 10 petugas dengan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah, terlihat siaga di balik gerbang. Mereka menyandang senjata laras panjang.
Sekitar 10 petugas dengan pakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah, terlihat siaga di balik gerbang. Mereka menyandang senjata laras panjang.
Mereka bukanlah petugas sembarangan, seperti diungkapkan Kepala Lapas Karanganyar I Putu Murdiana, karena telah dilatih dan memenuhi standar The International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP). Tugasnya menjaga lapas supermaksimum atau high risk di Nusakambangan.
”Beberapa skill dan kompetensi yang dimiliki terutama penanganan narapidana teroris,” ujar Putu.
Wah, jantung ini mulai dag-dig-dug. Kami pun dibawa ke dermaga. Di sana bersandar sebuah kapal besar bertuliskan ”Honda”. Kapal yang kuat mengangkut empat sampai lima mobil sekaligus ini, akan menyeberangkan kami.
Baca Juga: Jeritan Para Budak di Lautan
Waktu tempuh penyeberangan menuju Nusakambangan hanya 15 menit. Namun, awak kapal sangat awas dengan standar keselamatan penumpang. Sebelum kapal berangkat, mereka akan memastikan terlebih dahulu satu per satu penumpang telah memakai jaket pelampung. Setelah itu, barulah kapal boleh berangkat.
Untuk perjalanan 15 menit itu, selain ada petugas lapas high risk yang ikut di dalam kapal, ternyata ada pula petugas high risk lainnya yang mengawal kapal kami dengan menggunakan speed-boat. Selain mereka, ada pula satu kapal berisi pasukan TNI. Saya membatin, duh, apa napi masih berani kabur kalau sudah dijaga seperti itu?
Kapal kami terus membelah perairan Segara Anakan, yang airnya berwarna hijau. Perairan ini merupakan laguna di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Jika dilihat-lihat, permukaan airnya cukup tenang.
Baca Juga: Lapas ”High Risk” Karanganyar di Nusakambangan
”Oh, tetapi, di bawah (permukaan air) ini, arusnya kencang lho,” ujar Koordinator Kalapas se-Nusakambangan dan Cilacap Jalu Yuswa Panjang, menyanggah ucapan saya.
Pantas saja. Arus kencang inilah yang beberapa kali menjadi malapetaka bagi penghuni di Nusakambangan, baik napi yang mencoba kabur dari pulau tersebut, maupun petugas lapas.
Pada September 2021, misalnya, Kapal Pengayoman IV yang biasa mengangkut petugas lapas, tenggelam. Dua orang meninggal akibat insiden tersebut.
Bangkai Kapal Pangayoman IV itu terlihat ketika kapal kami hendak berlabuh di Pelabuhan Sodong, Nusakambangan. Kapal itu sudah karatan dan lebih terlihat seperti kapal angker. Tidak jauh, terlihat sebuah plang besar bertuliskan ”Pemasyarakatan Nusakambangan”.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Pelabuhan Sodong, saya memandang sekeliling. Hutan lebat dan sangat sepi. Lalu, saya mengecek sinyal di ponsel. Tidak ada sama sekali.
Saya dan rombongan langsung naik bus kecil yang telah disiapkan di dekat dermaga. Kami mulai menyusuri jalan. Saya agak kaget, jalannya beraspal sangat mulus. Namun, kanan dan kirinya deretan pepohonan tinggi semata.
”Di sini masih banyak ular kobra, apalagi pas musim ujan. Tetapi, belum pernah ada yang tergigit. Jangan sampailah ya, he-he-he,” tutur Jalu, di sela-sela perjalanan.
Selama sejam lebih, kami diajak melihat perkembangan pembangunan tiga lapas yang dimaksud Menkumham, yakni Lapas maximum security Ngaseman, Lapas maxium security Gladakan, dan Lapas minimum security Nirbaya. Proses pembangunannya rata-rata sudah lebih dari 50 persen.
Hari semakin gelap. Kami harus kembali ke Cilacap untuk beristirahat. Pas sekali, sesampai di Pelabuhan Wijayapura, hujan deras mulai mengguyur.
Bertemu buaya muara
Keesokan harinya, sebenarnya agenda diawali dengan sepedaan bersama menteri mengelilingi alun-alun Cilacap, kemudian berlanjut ke Nusakambangan. Namun, saya dan Priyombodo memilih untuk tidak ikut bersepeda.
Kami justru meminta Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Rika Aprianti untuk menemani kami berkeliling lapas-lapas di Nusakambangan. Rika pun menyanggupi.
”Ada kisah menarik di Lapas Permisan. Di sana para napi dibimbing untuk berkarya apa pun, ada yang membatik, bikin kue, dan lain-lain. Itu bisa jadi bekal mereka setelah keluar dari penjara,” kata Rika.
Baca Juga: Menghabiskan Masa Tahanan dengan Berkarya
Gas-lah. Kami pun langsung bergegas menuju Pelabuhan Wijayapura. Saat itu masih sekitar pukul 07.00, tetapi aktivitas sudah lumayan ramai. Kehadiran kami bersamaan dengan para petugas lapas yang ingin menyeberang ke Nusakambangan.
Namun, mereka tidak menyeberang dengan kapal ”Honda”, kapal yang kami tumpangi kemarin. Mereka malah mengantre untuk naik kapal compreng, istilah warga setempat untuk kapal kayu berukuran kecil, yang digunakan untuk menyeberang dari Pelabuhan Wijayapura ke Pelabuhan Sodong. Ongkosnya Rp 5.000 per orang.
Kami ikut menjajal kapal kecil itu. Belum ada semenit kapal lepas tali, sejumlah petugas lapas seperti melihat sesuatu di tengah perairan. Moncong buaya muara! Wah, saya mulai panik. Kenapa buaya ini muncul pas saya sedang naik kapal kecil?
Semua mata penumpang kapal mengarah ke buaya tersebut. Untungnya, selang beberapa detik, moncong buaya itu sudah tak terlihat lagi. Huah, akhirnya kami bisa bernapas lega.
”Beberapa kali buaya muara memang suka nongol begitu,” kata Joko (38), petugas Balai Pemasyarakatan Nusakambangan.
Hmmm, pantas saja, narapidana harus berpikir beribu kali untuk keluar dari pulau ini. Selain arus perairan yang sangat kencang, mereka juga bisa menjadi santapan lezat para buaya muara.
Setiba di Pelabuhan Sodong, kami tidak langsung mendapat tumpangan mobil untuk ke Lapas Permisan. Jarak antara Pelabuhan Sodong ke Lapas Permisan sekitar 13 kilometer. Lumayan juga.
Sembari menunggu Rika melobi sana-sini untuk mendapat tumpangan, kami diizinkan menerbangkan drone. Tentu, kesempatan emas ini tidak kami sia-siakan. Priyombodo langsung menyiapkan drone-nya. Sungguh beruntung, kami berangkat lebih awal ke Nusakambangan sehingga bisa bergerak lebih leluasa.
Tak lama, Rika memberi kode, tanda berhasil mendapat tumpangan mobil. Kami pun segera beres-beres dan menghampirinya. Lalu meluncur ke Lapas Permisan. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Turun dari mobil, Kepala Lapas Permisan Sopian menyambut.
Di Lapas inilah saya pertama kali berinteraksi langsung dengan para napi Nusakambangan. Ada yang tengah sibuk membatik, membuat sabun, hingga membuat roti.
Mereka terlihat bahagia bisa menikmati paparan sinar matahari sekaligus bercanda dengan teman-temannya. Ini dianggap lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri di balik jeruji besi.
Namun, ada pengalaman menarik saat di sana. Saya mewawancarai seorang napi yang sedang membuat sabun. Namanya Edi Setiono alias Abbas (61). Saya tertarik mewawancarainya karena usianya terlihat paling uzur ketimbang tiga kawannya yang lain, yang juga tengah membuat sabun.
Baca Juga: Saat Matahari Lebih Berharga dari Emas di Nusakambangan
Setelah selesai mendapat cerita seputar kegiatannya, saya mulai mendalami sedikit demi sedikit mengenai kasus yang menjeratnya. ”Saya hukuman SH (seumur hidup). Kasus narkotika,” ujar Abbas, sambil mulai menunjukkan gelagat tidak senang ketika diulik lebih dalam mengenai kasusnya. Saya pun pamit pergi.
Padahal, saya masih sangat penasaran, bagaimana ceritanya seumur Abbas sampai terjerat kasus narkotika dengan hukuman seumur hidup. Saya pun mencoba menanyakan itu kepada petugas lapas yang menemani kami.
Setelah mendengar penjelasan dari petugas tersebut, barulah saya tahu kalau saya dibohongi. Ternyata, Abbas merupakan narapidana kasus pengeboman Plaza Atrium Senen, Jakarta, 23 September 2001.
Abbas sudah empat kali pindah lapas. Sebelum di Lapas Permisan, ia menempati Lapas Batu yang pengamanannya supermaksimum, kemudian dua lapas berpengamanan maksimum, yakni Lapas Kembangkuning dan selanjutnya Lapas Besi.
Untung, saya tidak menelan mentah-mentah informasi dari Abbas. Dari sini saya sadar pentingnya, verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Coba kemarin saya terima begitu saja informasi dari Abbas, saya pasti sudah mengabarkan berita yang tidak valid kepada publik.
Selesai dari Lapas Permisan, pas sekali, kami juga mendapat kabar bahwa rombongan Menkumham sudah mulai bergerak menuju Lapas Karanganyar. Saya, Priyombodo, dan Rika pun bergegas ke Lapas Karanganyar, sebuah lapas supermaksimum dengan sarana-prasarana berteknologi tinggi.
Baca Juga: Masih Ada Harapan di Nusakambangan
Keberadaan Lapas Karanganyar sangat terpencil. Dari delapan lapas yang ada di Nusakambangan, lokasi lapas ini paling jauh. Jarak dari Pelabuhan Sodong sekitar 18 km. Lokasinya berada di perbukitan dan dikelilingi hutan.
Beberapa petugas bahkan ada yang pernah melihat macan kumbang berkeliaran di sekitar lokasi lapas. Tak heran pula jika macan kumbang dijadikan maskot lapas ini.
Lapas seluas 25 hektar ini dihuni para napi dengan tingkat risiko tinggi. Selain bandar narkoba, kebanyakan adalah napi terorisme. Di Lapas Karanganyar, para napi dipenjara dengan sistem satu sel satu penghuni (one man one cell). Setiap kamar juga dipasangi CCTV.
Semua kegiatan para napi terpantau di ruang kontrol. Di ruangan itu terdapat layar besar yang menampilkan rekaman CCTV semua kamar. Saya melihat, bagaimana mereka terkungkung, meringkuk sendirian di ruang kecil yang di dalamnya hanya ada bak mandi kecil, kakus jongkok, dan tempat tidur beralaskan semen.
Dalam kesempatan itu, Menkumham juga mengajak saya ke sebuah ruangan di bawah tanah, yang telah disulap menjadi ruang eksekusi terpidana mati. Padahal, sebelumnya, ia agak ragu mengajak saya ke ruang eksekusi tersebut. Sebab, ia khawatir, jika situasi ruangan eksekusi itu dibuka ke media dan dibeberkan terlalu detail, orang-orang di luar dapat mempelajarinya.
”Ini tidak apa-apa kamu ceritakan saja, ya, ada ruangan dokter dan ada juga ruang pemulasaraan. Tetapi, jangan difoto, ya,” kata Yasonna.
Ruangan itu terlihat masih sangat baru dan memang baru dibangun sekitar dua tahun lalu. Ada dua ruangan kosong yang diperuntukkan, seperti kata Yasonna. Namun, yang paling membuat pikiran melayang ke mana-mana adalah adanya tembok berwarna kecoklatan seperti susunan batu alam.
Baca Juga: Merinding di Ruang Eksekusi Mati yang Baru di Nusakambangan
Di tembok itu tertempel beberapa kertas berbentuk lingkaran untuk sasaran tembak. Jika ruangan itu difungsikan, manusialah yang akan berada di depan tembok itu.
”Jangan sampai kau berdiri di situ. Kalau sudah berdiri, gawat,” kelakar Yasonna, sembari kami semua keluar dari ruangan lalu meninggalkan lapas tersebut.
Semua pengalaman yang saya alami di Nusakambangan tentu tak akan pernah terlupakan. Namun, ini semua belumlah seberapa. Masih banyak yang bisa dijelajah lebih jauh dari pulau itu. Semoga suatu saat nanti saya bisa meliput ke sana lagi. Tentu, bukan sebagai narapidana lho, ya.