Dari Susah Sinyal sampai Sandal yang Tertukar
Agaknya memori sandal tertukar di Muktamar NU akan selalu menjadi pengingat tak terlupakan bagi kami. Untungnya cuma sandal yang tertukar dan bukan hati yang tertukar. Kalau tertukar bisa bahaya.
Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung, 22-24 Desember 2021, niscaya akan menjadi momen tak terlupakan bagi kami. Di kegiatan itu, kami merasakan tidak enaknya bergantung pada sinyal internet, dan betapa tertawa bisa membuyarkan segala kegelisahan. Ya, hanya di Muktamar NU kami merasakannya.
Liputan acara puncak diawali dengan penuh kecemasan, Kamis (23/12/2021). Ini karena sedari pagi tak kunjung ada kejelasan tentang lokasi penyelenggaraan muktamar.
Informasi awal, pemilihan Ketua Umum PBNU dan Rais Aam PBNU akan digelar di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah, yang berjarak 1,5 jam perjalanan darat dari Kota Bandar Lampung, tempat kami menginap.
Sehari sebelumnya, Rabu (22/12), kami harus mruput atau datang pagi-pagi sekali ke Ponpes Darussa’adah guna mengikuti pembukaan Muktamar NU oleh Presiden RI Joko Widodo, yang juga dihadiri Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin.
Di kegiatan itu, kami merasakan tidak enaknya bergantung pada sinyal internet, dan betapa tertawa bisa membuyarkan segala kegelisahan.
Dua unsur pimpinan eksekutif negara berada dalam satu forum yang sama adalah sesuatu yang amat jarang. Pertimbangan keamanan kepala negara dan wakilnya menjadi alasan, mengapa ada aturan tidak tertulis dalam protokoler kepresidenan yang mengatur agar presiden dan wapres tidak hadir dalam satu acara secara bersamaan.
Akan tetapi, dalam pembukaan Muktamar NU, ketentuan itu ”dilanggar”. Sebagai antisipasi terhadap kejadian yang tidak diinginkan, pengamanan dilakukan sangat ketat.
Awak media massa tidak diperbolehkan masuk ke lokasi acara. Hanya tim media yang disiapkan panitia yang dapat mengakses ruangan tersebut. Ruangan yang dibentuk dari tenda itu juga hanya boleh diisi 500 orang.
Kendati sudah tahu tidak akan dibolehkan masuk, kami tetap datang lebih awal. Panitia menginformasikan, tiga jam sebelum pembukaan acara oleh Presiden, media sudah harus sampai di pesantren untuk menjaga sterilisasi lokasi acara. Berpegang pada informasi tersebut, kami berangkat pukul 05.00 dari penginapan dan tiba pukul 06.30.
Mata rasanya masih sepet dan enggan terbuka karena sehari sebelumnya kami datang ke lokasi yang sama untuk meliput persiapan muktamar sekaligus mengikuti pertemuan salah satu kandidat hingga tengah malam.
Karena itu, kami berharap acara puncak pemilihan Ketua Umum dan Rais Aam PBNU akan dilangsungkan di Bandar Lampung saja. Panitia yang banyak menginap di Bandar Lampung rupanya merasakan hal yang sama.
Sejak Kamis siang, beredar informasi lokasi pemilihan ketua umum dan rais aam dipindahkan ke Universitas Malahayati, Bandar Lampung. Kami girang bukan kepalang karena bisa lebih hemat tenaga untuk acara puncak.
Rupanya, menjelang sore terjadi perubahan lokasi acara. Panitia memutuskan pemilihan digelar di Gedung Serbaguna Universitas Lampung. Namun, tidak jadi masalah bagi kami karena lokasi tetap di Bandar Lampung. Satu kegelisahan kami teratasi.
Memasuki malam, tepatnya sekira pukul 19.00, kegelisahan muncul lagi. Apakah kami akan dibolehkan masuk ke dalam gedung serbaguna atau tidak. Pandemi Covid-19 membuat jumlah peserta yang boleh masuk ke dalam ruangan dibatasi. Selain itu, sejak awal dalam jadwal acara disebutkan bahwa pemilihan akan berlangsung tertutup.
Baca juga : Lima Jam yang Menentukan Seusai Erupsi Semeru
Duh, apa enaknya jauh-jauh meliput ke Lampung, tetapi tidak bisa melihat langsung pemilihan Ketua Umum PBNU? Gundahlah kami. Berkali-kali kami merayu panitia agar wartawan diperbolehkan meliput langsung di ruangan acara. Atau paling tidak bisa menyaksikan siaran langsungnya di kanal resmi muktamar. Namun, tak kunjung ada jawaban pasti.
Karena lapar, kami putuskan pergi ke warung mahasiswa di belakang media center. Sambil menunggu informasi, kami menyantap bakso di warung itu. Orang bilang Bakso Soni di Lampung enak. Sayangnya, yang kami lahap saat itu bukan bakso Soni. Ah, tidak apalah, masih sama-sama bakso.
Sembari mengunyah pentol bakso, pikiran kami mengelana akan nasib liputan kami malam hari nanti. Editor di ujung telepon sudah beberapa kali menanyakan kepastian tentang siapa calon kuat ketua, bagaimana peta kekuatan masing-masing, hingga siapa yang menang.
Peta bisa kami jelaskan. Demikian juga potensi calon kuat ketua. Yang jadi masalah, bagaimana nanti kami menuliskannya kalau pemilihan berlangsung tertutup. Kondisi itu membuat kami tidak bisa sepenuhnya menikmati bakso di hadapan.
Akhirnya, kami putuskan untuk membuat dummy atau konsep berita yang nantinya tinggal kami lengkapi dengan informasi Rais Aam dan Ketua Umum PBNU terpilih.
Masalahnya, jam berapa akan ada kepastian tentang siapa yang terpilih, dan apakah tenggat waktu untuk berita esok hari bisa terkejar? Saat itu sudah pukul 19.00, dan Gedung Serbaguna Unila masih tertutup karena terlebih dulu dilakukan pemilihan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA). AHWA adalah formatur yang terdiri atas sembilan kiai sepuh yang akan menentukan siapa rais aam terpilih.
Baca juga : Jeritan Para Budak di Lautan
Menjelang pukul 20.00, keluar nama sembilan kiai anggota AHWA terpilih. Ah, akhirnya ada juga materi yang bisa kami tuliskan. Namun, siapa rais aam terpilih masih belum diketahui.
Di tengah kegundahan, muncul juga kabar baik bahwa media bisa meliput langsung ke dalam ruang gedung serbaguna. Syaratnya, harus terlebih dulu tes antigen. Sebenarnya, dua hari sebelumnya kami sudah antigen, yakni saat registrasi muktamar. Kali ini kami harus tes antigen lagi. Apa boleh buat kalau memang itu persyaratannya.
Panitia menyediakan tes antigen gratis di halaman samping Gedung Serbaguna Unila. Kami dan rombongan muktamirin antre tes di sana. Celakanya, sinyal internet buruk sekali karena diacak lantaran Wapres akan hadir dalam pemilihan rais aam. Kami pun harus pontang-panting mencari sinyal. Karena untuk mendapatkan kode batang (barcode) registrasi antigen memerlukan sinyal. Sayangnya, justru di lokasi tes antigen susah sinyal.
Kami makin gelisah. Jangan sampai koran terlambat terbit gegara kami kesulitan sinyal. Kami kemudian saling berbagi akses dan koneksi internet. Biasanya, jika salah satu dari kami gagal, yang lainnya berhasil. Dengan begitu, kami bisa saling bergantian berbagi sinyal dan koneksi internet. Mana yang bisa itulah yang dipakai.
Selama 30 menit kami deg-degan dibuatnya. Bagaimanapun kami harus bisa tes antigen agar bisa masuk ruangan. Jika tidak, apa gunanya ke Lampung. Liputan streaming online juga dari Jakarta. Begitulah kira-kira kelana pikiran kami.
Setelah deg-degan yang seolah tak berkesudahan, akhirnya kami beroleh sinyal dan dapat mengakses internet untuk mendaftar tes antigen. Setelah keluar hasil negatif, kami segera menuju pintu masuk gedung serbaguna.
Baca juga : Melawan Ragu di Kerawanan Semeru
Rupanya, perjuangan belum boleh berakhir. Panitia mengabaikan hasil tes antigen kami dan lebih berfokus pada kartu pers, ”Media mana?” Kami jawab, ”Kompas”. Dia jawab balik, ”Oh, tunggu dulu, yang boleh masuk hanya media NU saja.”
Kami geleng-geleng kepala. Sebelumnya, panitia telah mengumumkan bahwa media boleh masuk dengan syarat tes antigen. Ini petugas jaga pintu malah melarang masuk. Tak ingin gagal masuk, kami berusaha mengontak panitia yang menangani media. Kembali kami harus berjibaku dengan keterbatasan sinyal.
Setelah beberapa kali kegagalan, kami berhasil menghubungi Mas Savic, panitia yang mengurusi media. Ia keluar ruangan dan mencari-cari kami. Dengan hak prerogratifnya, dia bawa kami masuk ke dalam.
Namun, tepat di depan pintu masuk kembali kami dihadang. Dia tarik kami ke dalam sambil mengatakan kepada penjaga pintu bahwa sudah ada izin dari panitia muktamar.
Kami berhasil masuk dan duduk di tribune media. Tidak banyak media arus utama di sana. Sebagian besar media yang masuk adalah yang khusus disewa panitia muktamar untuk merekam dan mengabadikan semua kegiatan muktamar tersebut.
Usut punya usut, ternyata media arus utama banyak yang tidak bisa masuk. Mereka harus puas dengan siaran langsung yang diputar di pusat informasi media.
Praktis hanya kami media cetak dan daring arus utama yang ada di ruangan itu. Rupanya tidak sia-sia berburu sinyal.
Di dalam gedung, jam demi jam kami lewati dengan menyaksikan dinamika muktamar. Pukul 00.15, KH Miftachul Akhyar diumumkan sebagai Rais Aam PBNU terpilih. Satu teka-teki berhasil dipecahkan.
Setelah pemilihan rais aam, agenda selanjutnya pemilihan Ketua Umum PBNU. Sempat ada muktamirin yang protes adanya ”penyusup” yang dikhawatirkan mengganggu pemilihan Ketum PBNU.
Protes sempat menimbulkan perselisihan kecil. Pimpinan rapat memutuskan untuk mensterilkan lokasi. Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul 01.00. Hari telah berganti. Namun, belum juga ada nama Ketum PBNU terpilih.
Mata sudah berat sekali. Punggung seperti dihinggapi beban puluhan kilogram. Kami lalu ndlosor di lantai tribune. Sinyal internet redup. Media sosial, YouTube, dan video-video lucu lainnya tak bisa kami akses untuk menghibur kami.
Apa daya, kami pun harus nrimo dengan internet yang super lambat. Beruntung, fotografer andalan kami, Hendra A Setyawan (HAS), lancar mengakses internet. Rupanya, sinyal penyedia layanan internet tertentu jauh lebih baik daripada sinyal dari penyedia layanan yang kami pakai. Untuk mengirim pesan dan informasi penting kepada editor sesekali kami menitip lewat HAS.
Tak terasa sudah pukul 03.00. Pemilihan akhirnya dimulai juga setelah skorsing untuk sterilisasi gedung. Satu per satu muktamirin pemilik suara dipanggil ke panggung untuk memberikan suaranya.
Selama beberapa menit kami sempat memejamkan mata dan meratakan punggung di lantai tribune. Beruntung ada satu kursi yang bisa diduduki.
Hingga azan Subuh terdengar, pemilihan masih berlangsung. Satu demi satu suara dari 557 pemilik hak suara dihitung. Acara sempat diskors sejenak pada pukul 04.30 agar peserta bisa menjalankan shalat Subuh.
Area kecil di kanan panggung muktamar, dimanfaatkan muktamirin untuk tempat shalat. Selepas Subuh, di tengah penghitungan suara yang kembali dimulai, tiba-tiba panitia mengumumkan sesuatu.
”Izin para kiai, yang tadi shalat Subuh di sebelah kiri, mohon sandalnya yang tertukar mungkin sebelah. Sekali lagi, mungkin Pak Kiai yang shalat Subuh sebelah kiri sandalnya ada yang tertukar,” ujar panitia melalui pengeras suara.
Gelak tawa pun menyeruak di antara muktamirin, sejenak menghilangkan rasa kantuk yang amat berat karena belum tidur semalaman. Kami pun ikut tertawa. Bahkan, dalam situasi serius sekali pun, ada kelucuan yang ditunjukkan warga NU. Agaknya baru kali ini ada sandal tertukar diumumkan di tengah-tengah pelaksanaan muktamar.
Setelah peristiwa sandal tertukar, mata kami jadi lebih awas. Kantuk pun pelan-pelan pupus. Menjelang pukul 10.00, tanda-tanda kemenangan KH Yahya Cholil Staquf kian kuat. Ia unggul 100 suara lebih.
Kami berencana meminta wawancara khusus dengan Gus Yahya saat itu juga. Karena kalau menunggu pemilihan usai, Gus Yahya pasti akan langsung menghadiri penutupan, dan kami harus menunggu berjam-jam lagi. Selepas penutupan, bukan tak mungkin Gus Yahya akan langsung bertolak ke Jakarta atau bahkan ke Rembang, Jawa Tengah.
Kami lalu mengantre di depan ruang tunggu dan bertemu Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, salah satu tim pemenangan Gus Yahya. Kami meminta Kompas diberi kesempatan wawancara khusus. Sebenarnya sejak beberapa hari sebelumnya, kami sudah memesan waktu untuk wawancara khusus lewat panitia. Namun, dengan situasi pemilihan yang tidak terduga semacam itu, agaknya panitia kesulitan mengalokasikan waktu.
Baca juga : Hikayat Sandal yang Tertukar di Muktamar NU
Gus Ipul menyanggupi dan langsung menuju ruang tunggu untuk menemui Gus Yahya. Sayangnya, permintaan kami belum bisa dikabulkan saat itu karena Gus Yahya ingin menunggu selesainya penghitungan suara. Karena ingin tetap dapat wawancara, kami tetap menanti di depan ruang tunggu.
Di seberang ruangan tunggu Gus Yahya ada ruang tunggu KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU terpilih. Kami mengontak Mas Nur Hidayat, asisten KH Miftachul. Rupanya ia di ruangan, lalu keluar dan menyapa. ”Kok tahu saja, sih, aku ada di sini,” katanya terkekeh.
Kami pun menyampaikan permintaan wawancara. Mas Dayat tidak bisa menjanjikan. Sudah menjadi rahasia umum, Rais Aam PBNU harus hati-hati kalau berbicara. Bahkan, sudah bukan pada tempatnya lagi untuk wawancara atau bicara untuk kepentingan publikasi.
Rais Aam sangat sakral. Kami mengetahui situasi itu, tetapi ingin tetap mencoba untuk wawancara. Mas Dayat pun hanya tertawa. ”Saya coba matur dulu ya, tapi tidak janji. Saya mengerti keperluan sampeyan, tapi sampeyan juga harus mengerti situasi dan posisi beliau,” katanya.
Tak berapa lama, Mas Dayat muncul kembali dari balik pintu. ”Belum bisa Mbak. Lintune mawon (lainnya saja yang diwawancara),” katanya.
Jawaban itu sudah kami duga, tetapi tidak apa-apa karena masih ada kesempatan untuk wawancara Gus Yahya. Soal kapan dan di mananya yang masih jadi rahasia ilahi.
Pukul 10.30, sorak-sorai pendukung Gus Yahya membahana di Gdung Serbaguna Unila. Ia dinyatakan unggul dan memenangi kursi Ketua Umum PBNU. Setelah pidato dari pimpinan sidang, M Nuh, yang dilanjutkan dengan pidato KH Said Aqil Siroj, barulah Gus Yahya berpidato. Di Jakarta, editor gencar bertanya hasil perolehan suara dan mengejar-ngejar berita terbaru dari ruang muktamar.
Kami minta diberi waktu sedikit lagi karena masih ingin mewawancarai Gus Yahya dan tidak ingin melewatkan momen ini. Momentum akan lewat begitu saja jika kami tidak merekamnya dalam memori dan benak kami.
Di tengah tuntutan kecepatan, momentum yang kami saksikan dan refleksikan di lapangan adalah makanan rohani juga bagi kami, yang membuat pekerjaan jauh lebih bermakna.
Seusai pidato demi pidato, Kiai Said dan Gus Yahya turun panggung. Nah, inilah momen kami. Keduanya kemudian berjalan berurutan. Kiai Said di depan dengan kawalan ketat petugas Banser dan Pagar Nusa. Pemimpin pengawalnya, Gus Nabil Haroen, terlihat berteriak lantang, ”Buka! Buka!”
Kiai Said menerobos kerumunan orang yang mengerubutinya. Tim Banser dan Pagar Nusa berderet seperti pagar yang oleng dihantam gelombang, meliuk-liuk terdorong desakan muktamirin.
Gus Yahya mengikuti di belakang rombongan Kiai Said. Kami menerobos masuk ke gelombang muktamirin, lalu berteriak sekencang-kencangnya. ”Gus Yahya! Kompas mau wawancara, Gus. Kompas mau wawancara,” kata kami.
Entah karena mendengar teriakan kami yang keras atau mungkin karena kasihan, dia menoleh sembari tangannya melambai. ”Ya, ya. Nanti malam, ya,” katanya singkat sambil terus berjalan di tengah shalawat yang dilantunkan pendukungnya.
Kami keluar dari impitan iringan muktamirin. Ada kelegaan karena Gus Yahya sendiri yang mengiyakan untuk wawancara. Kami berpeluang dapat wawancara eksklusif Gus Yahya. Hanya saja, pukul berapa dan di mana masih menjadi PR karena Gus Yahya cuma bilang nanti malam.
Kami lalu kembali ke penginapan karena hampir pukul 12.00. Kami harus segera keluar dari hotel karena pesanan kamar hanya untuk empat malam. Di luar dugaan, kami perlu menginap satu malam lagi di Lampung untuk menuntaskan wawancara dan tulisan.
Sayangnya, kamar hotel sudah tidak dapat diperpanjang lagi karena sudah dipesan oleh orang lain. Kami harus pindah ke penginapan lain. Di perjalanan menuju penginapan baru, kami menuliskan berita terbaru. Lega rasanya bisa setoran.
Urusan penginapan selesai, kembali kami mengontak Gus Ipul untuk memastikan kapan dan di mana mewawancarai Gus Yahya. Lama tidak ada jawaban sampai akhirnya kami lelap tertidur di kamar masing-masing.
Jelang Maghrib kami terbangun dan panik karena belum ada kepastian wawancara. Kami kontak kembali Gus Ipul, selain juga menghubungi asisten Gus Yahya, dan bahkan kontak langsung ke Gus Yahya.
Jawaban datang dari asisten Gus Yahya. Kami diminta datang ke hotel Novotel, Bandar Lampung. ”Baiknya sampeyan datang antara jam 18.00 sampai jam 19.30, karena di jam itu beliau akan turun (dari kamar) menuju restoran untuk menemui PWNU-PWNU. Nanti sampeyan tunggu di lift, pas beliau turun bisa sambil jalan wawancara, dan nanti bisa sambil makan,” kata asisten Gus Yahya, Ra Ahmad Ghufron Siradj, yang biasa disapa Gus Gopong.
Kami mandi cepat-cepat. Setelah itu berangkat ke Novotel. Tiba di sana pukul 18.45 WIB, suasana masih sepi. Seperti yang dipesankan, kami menunggu di depan lift.
Setiap ada orang turun memakai sarung dan berpeci, kami amati betul, jangan sampai Gus Yahya terlewat. Beruntung, ada semacam booth di seberang lorong lift yang memiliki meja dan kursi. Karena belum ada tanda-tanda Gus Yahya akan turun, kami duduk menunggu di booth itu.
Menjelang pukul 20.30, Gus Gopong mengabari bahwa Gus Yahya akan turun. Kami pun bersiap-siap di depan lift. Ketika Gus Yahya muncul, kami sodorkan alat perekam dan langsung nyerocos bertanya. Gus Yahya melirik kami. Mungkin sambil membatin, ”Anak ini main sambar saja.”
Ah, peduli amat. Kami pun terus bertanya. Gus Yahya menjawab sambil berkeliling dari meja ke meja dan bersalaman dengan perwakilan dari PWNU-PWNU.
Kami terus mengikuti sambil menyodorkan perekam. Kadang dia berhenti menjawab karena harus berangkulan atau cipika-cipiki dengan kiai-kiai dari daerah. Barulah setelah itu, melanjutkan menjawab pertanyaan.
Ketika Gus Yahya duduk, kami ikut ndoprok di sisi kursinya karena kursi di depan Gus Yahya terlalu jauh. Suaranya lirih sekali, kalah oleh suara alunan musik dan shalawat di restoran yang cukup keras.
Baca juga : Tantangan NU Pasca-Muktamar
Kami pun setengah berjongkok di samping kursi Gus Yahya. Ia tetap menjawab dengan antusias meskipun dari sorot matanya terlihat sangat kelelahan. Maklum, seperti kami juga, Gus Yahya tidak tidur semalaman saat pemilihan.
Kami praktis hanya diladeni selama 10 menit karena MC keburu memanggil Gus Yahya untuk berbicara. Gus Yahya beranjak dari kursinya. Kami pun undur diri.
Walaupun kilat, kami lega berhasil mendapat wawancara khusus dengan Gus Yahya. Hasil wawancara semestinya akan dimuat di koran besok hari. Begitu juga di kanal digital Kompas.id. Lelah pun terbayar sudah. Kami langsung kembali untuk mencari makan malam. Tuntas sudah semua misi kami di Lampung.
Besok paginya, kami bangun sedikit lebih segar. Meskipun masih ada tugas menyelesaikan tulisan hasil wawancara dan membuat feature untuk edisi koran. Kami berbagi tugas, masing-masing menulis satu tulisan.
Soal feature, kami teringat momen sandal tertukar di tengah muktamar. Terbetik ide untuk mengangkat soal sandal yang tertukar dan pidato-pidato yang mengharukan dari Kiai Said dan Gus Yahya.
Soal sandal memang sudah banyak ditulis media lain, tetapi belum ada yang merangkainya menjadi narasi pesan kebersatuan NU, dan kedewasaan NU dalam berdemokrasi. Kami putuskan akan berangkat dari sudut pandang itu.
Soal sandal memang sudah banyak ditulis media lain, tetapi belum ada yang merangkainya menjadi narasi pesan kebersatuan NU, dan kedewasaan NU dalam berdemokrasi.
Hanya tersisa waktu dua jam untuk menyelesaikannya. Terpaksa kami kerjakan di atas kapal penyeberangan dari Bakauheni-Merak dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Sekitar pukul 15.00, tulisan telah kami rampungkan.
Agaknya memori sandal tertukar akan selalu menjadi pengingat tak terlupakan bagi kami. Untungnya cuma sandal yang tertukar dan bukan hati yang tertukar. Kalau tertukar bisa bahayaaaa.