Saat Matahari Lebih Berharga dari Emas di Nusakambangan
Narapidana kelas kakap di Nusakambangan harus menghabiskan sebagian besar waktunya di sel tertutup tanpa jendela atau lubang angin apa pun. Kesempatan menikmati paparan sinar matahari dirasa lebih berharga daripada emas.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Kurnia Yunita Rahayu
·7 menit baca
Sang surya baru tampak menyeruak dari balik tembok tinggi Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas Kelas IIA Permisan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, saat ”jam naik” tiba. Kesempatan berharga itu tak disia-siakan oleh Edi Setiono alias Abbas (61). Ia bergegas ke ruangan yang telah disulap jadi bengkel kerja di luar bangunan utama lapas tempat ia dan 463 warga binaan lainnya ditahan.
”Jam naik” merupakan sebutan untuk waktu yang diberikan pihak lapas bagi warga binaan untuk mengasah keterampilan diri. Setiap hari, ada dua sesi ”jam naik”. Sesi pertama dari pukul 07.30 hingga 11.30, kemudian sesi kedua pukul 13.00 hingga 15.00. Warga binaan bisa memilih berkegiatan di salah satu sesi, tetapi bisa pula mengambil dua sesi sekaligus. Setidaknya ada 11 jenis kegiatan yang bisa dipilih warga binaan, seperti membuat batik, menjahit, atau membuat sabun seperti dilakoni Abbas.
Sudah tiga tahun ia memanfaatkan ”jam naik” untuk mengenal tata cara pembuatan sabun. Ia pun kini telah piawai membuat beraneka ragam sabun, dari mulai sabun cuci piring, baju, hingga tangan. Kebanyakan sabun yang diproduksinya lantas dijual ke luar lapas dan ia memperoleh komisi dari hasil kerjanya. Sisanya untuk digunakan di lapas.
”Kita ikuti panduan saja (saat membuat sabun),” tuturnya.
Namun, bagi Abbas, ”jam naik” tak sebatas untuk mengasah keterampilan membuat sabun atau menghasilkan uang. Lebih dari itu, bisa ”hidup” di luar sel, bercakap dengan leluasa baik dengan warga binaan maupun petugas lapas, terlebih ada kesibukan, seolah menjadi berkah bagi narapidana kasus terorisme yang dihukum seumur hidup ini. Hal itu hanya terjadi saat ia ditahan di Lapas Permisan.
Lapas tertua di antara delapan lapas lain di Nusakambangan ini jadi perhentian Abbas yang keempat selama meringkuk di Nusakambangan.
Sebelumnya, narapidana kasus pengeboman Plaza Atrium, Senen, Jakarta, 23 September 2001, ini berturut-turut mendekam di Lapas Batu yang pengamanannya supermaksimum, kemudian dipindah ke Lapas Kembangkuning dan Lapas Besi yang keduanya merupakan lapas berpengamanan maksimum.
Perpindahan Abbas ke lapas dengan tingkat pengamanan yang lebih rendah menyusul sumpah ikrar setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinyatakannya pada Desember 2019.
Tak hanya narapidana terorisme, narapidana berisiko tinggi lain, seperti bandar narkoba atau kasus pembunuhan yang dihukum berat dan awalnya ditempatkan di lapas supermaksimum di Nusakambangan, dipindahkan ke lapas dengan pengamanan yang lebih rendah, mengikuti perubahan sikap dan perilaku mereka. Kian baik penilaian pihak lapas, warga binaan berisiko tinggi yang semula ditempatkan di lapas supermaksimum bisa bergeser ke maksimum, medium, hingga berujung di lapas dengan pengamanan minimum. Perlakuan kepada warga binaan di setiap lapas pun berbeda. Hanya di kelas medium dan minimum, warga binaan bisa membuat sabun seperti Abbas.
Adapun di lapas berpengamanan maksimum, apalagi supermaksimum, ruang gerak warga binaan sangat terbatas. Hendro Fernando (37), mantan narapidana terorisme yang pernah ditahan di Lapas Besi, masih ingat betul bagaimana dia menjalani dua tahun hukumannya sejak 2018 hingga 2020.
Ia mendekam dalam ruang tertutup dengan tiga narapidana lain. Bilik sel itu tanpa jendela ataupun lubang angin apa pun. Dari dalam, ia tak bisa melihat siapa pun yang melintas. Kehidupan di luar sel hanya bisa dideteksi dari suara-suara yang terdengar. Sementara sorot dari kamera pemantau tak henti mengawasi dari berbagai sudut sel.
Kesempatan untuk menikmati sinar matahari di luar sel sangat dibatasi. Hanya setiap pagi hari, itu pun hanya satu jam. Tak hanya itu, mereka hanya bisa menikmati paparan sinar matahari tersebut dalam tempat yang mirip kerangkeng di tengah lapangan di lingkungan lapas.
”Jadi, kalau disuruh pilih emas satu tas atau matahari, saya jelas pilih matahari,” kenangnya.
Untuk di lapas berpengamanan supermaksimum seperti di Lapas Karanganyar, kehidupan warga binaan jauh lebih berat lagi. Kepala Lapas Kelas IIA Karanganyar I Putu Murdiana mengatakan, setiap warga binaan ditempatkan sendirian di setiap sel tertutup. Tak bisa sama sekali menghabiskan waktu untuk sekadar mengobrol dengan warga binaan lain ataupun petugas lapas. Waktu untuk keluar sel guna ”berjemur” pun hanya diberikan seminggu sekali.
Waktu yang diberikan untuk bisa keluar sel ini betul-betul berharga bagi warga binaan. Karena itu, menurut Kepala Lapas Pasir Putih, lapas supermaksimum lainnya di Nusakambangan, Fajar Nur Cahyono, jika ada yang melanggar tata tertib lapas, salah satu sanksi yang cukup ditakuti adalah pengurangan waktu jemur.
”Itu biasanya mereka sudah pusing (dengan sanksi itu),” ujarnya.
Mencoba kabur
Menjalani kehidupan yang serba terbatas sebagai narapidana di Nusakambangan, pulau yang terisolasi dari daratan Jawa, dengan akses keluar-masuk hanya melalui penyeberangan feri, sudah berat, apalagi dengan harus menjalani kehidupan dalam lapas supermaksimum atau maksimum. Kondisi ini pula yang ditengarai mendorong sejumlah narapidana memutuskan untuk mencoba kabur meski kabur dari Nusakambangan tak seperti kabur dari lapas atau rumah tahanan lainnya.
Keluar dari lapas, warga binaan harus bisa menembus belantara hutan yang lebat dengan hewan buas masih hidup di dalamnya. Belum lagi banyaknya jurang atau tebing terjal tinggi di dalam hutan.
Kalaupun semua itu sudah bisa dilalui, mereka harus bisa menaklukkan ganasnya Samudra Hindia dan arus kencang Selat Segara Anakan yang mengelilingi Nusakambangan.
Johanes Hubertus Eijkenboom, gembong perampok yang tenar dipanggil Johnny Indo, bersama 34 narapidana lainnya pernah mencoba hal itu setelah berhasil merebut senjata dari gudang pihak lapas, 39 tahun lalu. Namun, tak sampai 12 hari, kisah pelarian itu berakhir. Mereka menyerahkan diri.
Menteri Kehakiman Ali Said kala itu menyebut, napi yang melarikan diri dari lapas di Nusakambangan adalah ”orang gila”. Sebab, mereka tidak akan bertahan lama tinggal di hutan. Para napi tersebut akan mati kelaparan atau tertangkap (Kompas, 1/6/1982).
Tak hanya Johnny, sejumlah narapidana lainnya, yakni Saman Hasan Zadeh Leili (2016) serta Hendra bin Amin dan Agus Triyadi (2017), juga memutuskan untuk kabur. Dari ketiganya, hanya Saman yang hingga kini masih belum jelas keberadaannya.
Kehidupan petugas lapas
Selain 2.349 narapidana di seluruh lapas di Nusakambangan, para petugas lapas pun harus merasakan tercerabut dari kehidupan normal. Sebagian besar harus hidup terpisah dari keluarga yang tinggal di daratan Jawa ataupun pulau lainnya di Indonesia.
Meski keluarga dibolehkan mendampingi, tak banyak yang mengambil pilihan ini karena keterbatasan fasilitas. Tak ada sekolah di pulau tersebut. Tak ada pula jaringan telekomunikasi, apalagi internet. Air bersih pun sulit.
Ditambah lagi, keangkeran Nusakambangan yang sudah sejak abad ke-17 menjadi tempat pembuangan orang-orang yang mbalelo (Kompas, 19/12/2021) dan berulang menjadi lokasi eksekusi hukuman mati (Kompas, 18/12/2021).
Bima Nugraha (27), salah satu sipir di Lapas Batu, mengisahkan, dirinya hanya diperbolehkan pulang bertemu keluarga setiap dua hingga tiga bulan sekali. Adapun untuk sekadar menelepon menanyakan kabar keluarganya di Madiun, Jawa Timur, ia harus menyeberang denganferi dari Nusakambangan ke Cilacap saat tiba hari libur. Itu pun jika cuaca mendukung. Jika lautan sedang ganas, niat untuk ”berjumpa” dengan keluarga harus diurungkannya.
”Jadi, biar gak stres, kami paling bercanda-canda, ngopi saja dengan teman (sipir) yang di sini (Nusakambangan),” ucap Bima.
Kebosanan pun kerap melanda. Ini terutama saat mengawasi ruang kontrol yang berisi tampilan layar sel-sel para napi di Lapas Batu. Ia harus mencatat detail kegiatan-kegiatan napi yang dikurung one man one cell tersebut. Sebab, catatan itu sangat berguna menjadi bahan asesmen dari napi itu jika ingin turun ke level maksimum dan seterusnya.
Waktu yang paling membosankan terutama saat jaga malam. Biasanya, jika ia mendapat giliran jaga sore hari pada pukul 17.00-19.00, maka giliran waktu selanjutnya adalah jaga dini hari pukul 01.00-03.00. ”Dibilang bosen, ya, bosen, tetapi ya mau gimana, ini, kan, tanggung jawab,” kata Bima.
Bagi para kepala lapas (kalapas) di Nusakambangan, ada cara lain untuk mengikis kepenatan. Koordinator Kalapas Se-Nusakambangan dan Cilacap Jalu Yuswa Panjang mengungkapkan, para kalapas mencari hiburan dengan menunggangi motor trail untuk berkeliling daratan Nusakambangan. Rasa penat itu biasa paling dirasakan oleh para kalapas yang menangani lapas dengan tingkat pengamanan supermaksimum, seperti Lapas Batu, Karanganyar, dan Pasir Putih.
”Sebenarnya tidak hanya untuk cari hiburan, tetapi juga kami sambil patroli he-he-he. Kan, karena kawasan ini banyak hutan, jadi ada saja warga yang melakukan pembalakan liar atau memburu burung di sini,” ucap Jalu.
Sependapat dengan Jalu, Kepala Lapas Permisan Sopian mengatakan, jika sudah berkumpul, kebanyakan topik yang diceritakan sudah di luar tugas. Sebab, semua sudah saling mengerti pekerjaan satu sama lain. ”Kami lebih banyak ngobrol tentang keseharian saja, kehidupan lucu-lucu di sini,” ujarnya.
Tugas berat memastikan keamanan Nusakambangan sekaligus mengawal warga binaan agar mau berubah menjadi tanggung jawab yang tak bisa ditinggalkan segenap petugas pemasyarakatan di Nusakambangan. Di luar mereka, keterkungkungan para narapidana di Nusakambangan hendaknya jadi pelajaran. Jangan sampai berbuat kesalahan seperti yang mereka lakukan. Tak hanya di Nusakambangan, kehidupan dalam penjara lainnya tak kalah menyiksa. Harus hidup berjejalan dalam sel, jamak di banyak lapas dan rumah tahanan negeri ini.