Lima Jam yang Menentukan Usai Erupsi Semeru
Esoknya, saya baru sadar tidak membekali diri dengan maksimal untuk menghadapi liputan erupsi Semeru. Saya hanya berbekal jaket seadanya, sandal karet, dan kaus oblong yang saya tarik sekenanya dari lemari.
Hujan deras mengiringi perjalanan ke Semeru yang baru saja erupsi. Membuat jalanan yang berkelok-kelok penuh tanjakan dan turunan menjadi licin. Belum lagi malam yang mulai turun. Semua itu tetap ditempuh demi merekam peristiwa dan melaporkannya kepada pembaca.
Pada Sabtu (4/12/2021) sore, mendung menggantung di langit Surabaya. Hari itu jatah saya libur yang saya gunakan untuk bersepeda keliling kota sepagian. Siangnya saya habiskan di kantor Kompas Biro Surabaya seusai menyimpan sepeda di sana. Karena tidak ada pekerjaan khusus, siang itu saya gunakan untuk berbincang ringan dengan rekan sekuriti.
Pukul 15.41, masuk sebuah video ke grup Whatsapp Desk Foto Kompas. Isinya, potongan gambar Gunung Semeru yang erupsi. Saya semula skeptis. Sempat tak percaya karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, erupsi akan didahului dengan pengumuman kenaikan status kegunungapian dari lembaga terkait.
Erupsi Semeru terakhir yang saya liput terjadi 1 Desember 2020. Meski saat itu luncuran awan panas mencapai 11 km, tidak ada yang sampai menyentuh permukiman warga. Dampak erupsi hanya mengubur sejumlah alat berat dan truk petambang pasir di aliran sungai.
Sikap skeptis saya runtuh juga setelah satu demi satu video amatir masuk ke grup Whatsapp. Salah satunya memperlihatkan sejumlah anak yang berhamburan meninggalkan masjid dengan latar belakang awan panas yang bergulung-gulung.
Belum lagi jawaban Whatsapp seorang kenalan yang anggota Koramil setempat. ”Kalau bisa meluncur Mas karena kami sibuk evakuasi warga. Banyak rumah yang roboh,” katanya.
Tiba-tiba saya panik karena saat itu sudah sore, sementara jarak ke lokasi kejadian sekitar 160 kilometer. Jika ingin tiba dalam tiga jam, berarti kecepatan berkendara saya minimal 60 km per jam. Pertanyaannya, apakah mungkin tercapai mengingat medan yang bergunung-gunung dan kondisi mulai gelap?
Namun, tidak ingin mengulur waktu, saya segera pulang ke rumah. Di perjalanan, pikiran saya sibuk menyusun kebutuhan apa saja yang perlu dibawa. Dalam 20 menit, saya sudah sampai di rumah dan langsung menuju lemari. Tidak ingin terbebani oleh pakaian, saya hanya membawa dua celana panjang dan tiga kaus, termasuk yang saya pakai.
Karena tergesa-gesa, saya tidak bisa menemukan tripod, alat yang begitu dibutuhkan untuk memotret gunung pada malam hari. Terpaksa saya berangkat tanpa tripod. Setelah 15 menit berkemas, saya langsung tancap gas menuju lokasi dengan sepeda motor.
Baca juga : Mitigasi Erupsi Semeru Perlu Didetailkan dan Ditata Ulang
Nasib rupanya sedang kurang berpihak karena tidak lama hujan deras turun. Saya pun merutuk dalam hati. Bersepeda motor dalam kondisi hujan dalam kondisi gelap adalah dua hal yang sangat saya hindari. Mata yang minus mengurangi ketajaman penglihatan, apalagi pada malam hari. Hujan memperburuk kondisi itu.
Untuk menuju lokasi, ada dua rute yang bisa diambil, yaitu melalui Kabupaten Malang atau Probolinggo. Keduanya sama-sama jauh. Saya putuskan mengambil rute yang melewati Kabupaten Malang. Saya pernah berkali-kali melewatinya sehingga harapannya perjalanan lebih lancar karena relatif hafal kondisi medan. Tujuan pertama adalah lokasi pengungsian.
Hujan deras menyebabkan saya hanya berani memacu motor matik saya di kecepatan 30 km per jam. Ada sedikit ”bonus” saat tiba di daerah Pandaan, Pasuruan, karena hujan mereda. Kacamata bisa bebas dari basah atau berembun. Saya pun dapat melaju hingga kecepatan 80 km per jam.
Baca juga : Kenangan Berada 104 Meter di Bawah Permukaan Tanah
Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama. Hujan kembali deras, seperti dicurahkan dari langit. Jalanan yang licin membuat saya harus mengurangi kecepatan. Angin yang menerpa dari kiri dan kanan meruntuhkan pertahanan jas hujan. Belum lagi tetesan air melalui kerah yang perlahan membuat kaus basah.
Semua saya abaikan dan tetap melaju mengingat waktu yang mendesak. Empat jam sejak keluar rumah menjadi penentu apakah saya berhasil menyelesaikan tugas dan mengirim gambar sebelum batas tenggat waktu naik cetak koran.
Barulah ketika tiba di Singosari, Kabupaten Malang, saya putuskan berhenti. Kaus dan celana yang basah kuyup merepotkan dan membuat saya kedinginan. Di sana saya sempatkan membeli celana sebagai pengganti celana yang basah.
Melewati Kota Malang, hujan sempat berhenti. Hanya tersisa jalanan yang basah. Namun, begitu memasuki wilayah Dampit, Kabupaten Malang, hujan kembali menggila.
Baca juga : Jeritan Para Budak di Lautan
Keinginan untuk berhenti kembali menggoda. Kacamata yang selalu basah oleh air hujan membuat pandangan tidak jelas, apalagi gelap mulai turun. Sorot lampu kendaraan dari arah berlawanan terasa begitu menyilaukan dan mengganggu.
”Kalo lo berhenti, lo gak bisa sampai tepat waktu, Bro,” suara-suara di kepala terus mengganggu.
Sambil berusaha menjinakkan jalanan yang licin dan berkelok-kelok dengan tanjakan dan turunan khas pegunungan, pikiran jelek pun melintas.
Baca juga : Melawan Ragu di Keraguan Semeru
”Baterai laptop full gak, ya? Di lokasi ada sinyal gak? listik padam atau gak?” Tiba-tiba saya merasa seolah maju perang, tapi tidak paham kondisi senjata yang saya bawa.
Saya semakin dekat dengan tujuan. Namun, salah satu kekhawatiran saya terbukti. Listrik padam. Memasuki Kecamatan Pronojiwo di Kabupaten Lumajang, suasana gelap total. Hanya terlihat satu bangunan yang terang, yaitu Kepolisian Sektor (Polsek) Pronojiwo.
Dengan menggigil kedinginan, saya pun terus menuju pengungsian, kira-kira 20 menit dari Polsek Pronojiwo. Ada empat lokasi yang dijadikan tempat pengungsian, salah satunya SD Negeri Supiturang 4. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.15. Artinya, sudah melewati batas waktu ideal saya untuk bekerja, yaitu pukul 22.00.
Selain listrik yang padam, kekhawatiran kedua pun terbukti, sinyal telekomunikasi pun menghilang. Jangankan jaringan internet, jaringan telepon pun ikut ”mengungsi” entah ke mana. Hanya ada tanda x di pojok kanan telepon seluler.
”Fokus Bahana! Pembaca menunggu fotomu esok hari!” kata suara yang berisik di kepala, bak lebah yang berdengung berulang-ulang.
”Kompas harus dapat foto,” kata saya menjawab suara di dalam kepala.
Ini wilayah kerja saya. Masih ada waktu meskipun mungkin tidak banyak yang tersisa untuk membuktikan bahwa Kompas selalu mengabarkan segala peristiwa melalui berita dan foto karya wartawannya sendiri.
Baca juga : Meliput Bencana Semeru, Membaca Pertanda di Lapangan
Beruntung saya sempat membawa head lamp sebagai antisipasi mati lampu. Di lokasi, suasana hampir gelap total. Hanya di beberapa rumah yang listriknya menyala. Itu pun dengan bantuan genset diesel. Suara mesinnya terdengar meraung menyayat hati, seolah turut menangisi bencana yang baru terjadi.
Di sebuah warung di pertigaan Supiturang, saya memarkir sepeda motor. Dengan bantuan penerangan lampu di kepala, saya berjalan menuju SD Negeri Supiturang 4 yang ”disulap” menjadi lokasi pengungsian.
Meski sudah mulai larut, kebanyakan pengungsi belum tidur. Tidak sedikit yang masih terjaga di luar ruang kelas sambil meratapi rumahnya yang rusak oleh terjangan material vulkanik Gunung Semeru.
Tidak lebih dari 10 frame yang saya buat saat itu. Sebelum meninggalkan lokasi dan mencari titik bagus untuk mengirim foto, saya sempat melirik jam di ponsel. Waktu menunjukkan pukul 22.40, yang sebenarnya berarti saya sudah kehabisan waktu. Sementara sinyal ponsel berikut koneksi internet putus.
Saya segera memacu sepeda motor menuju pusat Kecamatan Pronojiwo. Akhirnya saya berhasil menemukan tempat yang tidak terganggu hujan.
Di samping mesin ATM yang berada di depan Kantor Bank BRI, saya mengeluarkan laptop dan menyadari kekhawatiran ketiga saya terbukti. Walau masih mampu bekerja, tenaga yang dimiliki laptop tinggal 5 persen. Di logo baterai tergambar daun, yang artinya laptop bekerja dalam mode ekonomis.
Baca juga : Tersentuh Saat Dievakuasi oleh Warga Korban Longsor
Tidak ingin kehilangan waktu sebelum akhirnya laptop benar-benar mati, saya segera mengedit foto dan memindahkan hasilnya ke ponsel. Di tengah berbagai kekhawatiran yang menjadi kenyataan, saya masih merasa beruntung.
Laptop operasional yang baru dikirimkan kantor bulan Mei lalu bekerja dengan cepat. Jaringan internet dan sinyal telepon pun tiba-tiba hadir walaupun bukan 4G, melainkan H yang sedikit lebih cepat dari 3G.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Tiga gambar terbaik saya kirimkan lewat Whatsapp ke editor foto yang saat itu bertugas, yaitu Mas Yuniadhi Agung. Namun, prosesnya tak kunjung usai yang ditunjukkan oleh simbol pengiriman yang berputar-putar saja hingga melewati batas akhir waktu pengiriman.
Untunglah, pada pukul 23.05 terdengar suara notifikasi file terkirim. Tidak hanya satu, tetapi tiga, yang menjadi tanda Kompas hadir di lokasi pada hari peristiwa.
Saya pun terkulai lemas. Ada rasa haru dan bangga bisa berkontribusi untuk pembaca Kompas esok hari. Barulah, rasa lelah usai lima jam mengendarai sepeda motor nyaris tanpa henti perlahan mulai terasa.
Namun, keberhasilan memperoleh dan mengirim foto malam itu agaknya menjadi obat capek yang mujarab. Setelah merapikan alat kerja, saya menuju kantor Polsek Pronojiwo untuk numpang beristirahat.
Di tengah dominasi media daring di mana kecepatan bak harga mati, perjuangan lima jam yang saya tempuh untuk mendapatkan tiga foto adalah proses yang sulit dibandingkan dengan apa pun.
Sempat tebersit untuk menyerah, tetapi urung saya lakukan karena tiba-tiba teringat wejangan ayah saat saya hendak merantau bekerja sebagai wartawan foto Kompas.
Sempat tebersit untuk menyerah, tetapi urung saya lakukan karena tiba-tiba teringat wejangan ayah.
”Lakukan sebaik-baiknya hingga tuntas, seberat apa pun kondisinya. Hasil nomor sekian, yang penting perjuangkan,” katanya.
Perjalanan yang dimulai pukul 17.00 hari itu sudah saya lakukan sebaik-baiknya hingga tuntas. Foto yang saya buat akhirnya mendapat ganjaran dimuat halaman depan.
Esoknya saat hari mulai terang, saya baru sadar tidak membekali diri dengan maksimal. Saya hanya membawa jaket seadanya, sandal karet, dan kaus oblong yang saya tarik dari lemari sekenanya.
Saya hanya bisa menambahnya dengan modal ”bismillah” yang saya ucapkan sesaat sebelum meneruskan perjalanan menuju lokasi liputan berikutnya di daerah paling terdampak erupsi Gunung Semeru.